Memasuki perbatasan Sumatera Barat, alam mulai menyuguhkan keindahannya. Kita disambut dengan pemandangan alam dan tepi jurang yang berdiri melakukan penghormatan kepada kita dari sebelah kiri dan kanan. Layaknya penyambutan seorang tamu dari tuan rumahnya dalam acara resmi.
Tapi, ada satu hal unik yang saya saksikan ketika melintasi jalan lintas biasa. Karena medannya yang berada di pegunungan membuat daerah ini sangat rawan longsor. Bahkan ada beberapa titik jalan yang sedang dilakukan perbaikan, dengan menambah jembatan darurat sebagai tempat perlintasan sementara.
Bagi orang “dataran rendah” seperti saya, pasti ini merupakan hal yang jarang saya lihat. Layaknya orang kota yang sangat “norak” ketika melihat pemandangan indah di pedesaan. Masih untung saya nggak jingkrak-jingkrak ketika melihat hal itu.
Nasi Kapau Bukittinggi
Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam, akhirnya saya pun tiba di kota Bukittinggi. Sesuai dengan namanya, kota ini tidak mungkin terdapat di dataran rendah (bisa-bisa namanya bukit rendah).
Sudah menjadi ciri khas bagi suatu daerah di dataran tinggi, bahwa mendadak ada AC alami yang mengisi seluruh sudut daerah tersebut. Alias, daerahnya lebih sejuk dan dingin dibandingkan dataran rendah yang panas bedengkang.
Belum ke Bukittinggi kalau belum ke jam gadang! Seakan, ini menjadi hal yang wajib dilakukan sebagai “pengesahan” kalau kita sudah pernah ke kota ini. Yaa kalo cuman omon aja tanpa ada foto sebagai bukti, mana ada yang mau percaya ya kan.
Oh iya ada satu funfact unik dari bangunan ini. Kita tau bahwa angka di jam tersebut tertulis dengan angka romawi. Nah, angka 4 yang tertulis bukanlah IV seperti pada umumnya, melainkan IIII. Itulah salah satu keunikan dari jam tersebut!
Nggak jauh dari jam gadang, ada pasar yang bernama Los Lambuang. Pasar ini bisa didatangi dengan cukup berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit melewati Pasar Ateh Bukittinggi dan menuruni tangga.