Siapa yang belum kenal dengan daerah Sei Baung, Ogan Komering Ilir (OKI)? Sei Baung ialah salah satu desa terpencil di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Saking terpencilnya, daerah ini hanya bisa dicapai melalui transportasi air saja, dan transportasi darat yang sangat terbatas.
Akan tetapi, titel terpencil itu sekarang perlahan mulai memudar layaknya warna cat dinding yang terlalu lama terpapar panas dan hujan. Saat ini, Sei Baung mulai bergerak perlahan menjadi pusat ekonomi penting di daerah setempat.
Karena di sana telah berdiri pabrik pulp dan kertas terbesar se-Asia Tenggara, yaitu PT OKI Pulp and Paper. Dengan adanya pabrik ini, orang-orang perlahan mulai mengisi dan menempati wilayah terisolasi tersebut.
Di awal Agustus 2024, saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah ini dalam rangka perjalanan dinas dari kantor. Seperti apa kisah perjalan saya menembus hutan? Ayo simak artikel berikut ini.
Speedboat Pelintas Sungai Kecil
Untuk sampai ke lokasi, perusahaan telah menyiapkan kendaraan berupa speedboat. Speedboat ini khusus hanya boleh ditumpangi oleh karyawan ataupun pihak tertentu yang telah didata sebelumnya. Sehingga tidak perlu lagi khawatir masalah keamanan.
Dermaga berlokasi di depan Benteng Kuto Besak, persis di samping Tugu Belida. Saat itu kurang lebih jam 7:30 pagi, pantauan saya di lokasi saat itu sudah cukup banyak orang yang menunggu jemputan . Nggak cuma karyawan, ada juga anggota keluarganya yang akan menumpang.
Sembari menunggu kapal, saya mengisi waktu dengan mengambil beberapa foto dan mengeksplor lokasi sekitar.
Sungai Musi pada pagi itu sedang surut-surutnya, meninggalkan tepian sungai dalam keadaan berpasir layaknya sebuah pantai. Tanaman eceng gondok pun banyak yang terkapar di pantai dibuatnya.
Cuaca pagi itu sangat mendukung suasana “kepantaiannya”. Matahari bersinar cerah menyapa dunia di pagi hari.
Setelah beberapa menit berkenalan dengan sinar matahari pagi, akhirnya speedboat pun datang sekitar pukul 8:00 pagi.
Perlahan saya dan beberapa penumpang lain menaiki speedboat minimalis yang terbuat dari kayu ini. Dan tau nggak, inilah pengalaman saya pertama kalinya menyusuri Sungai Musi dengan speedboat.
Saat memasuki speedboat dan meletakkan koper, saya langsung mengambil tempat duduk di belakang. Lah, bukannya kebanyakan orang senang duduk di depan ya? Pengecualian untuk speedboat ukuran kecil ini.
Karena, posisi tempat duduk di depan sangat rawan terhadap guncangan akibat gelombang sungai. Sehingga, kita akan dengan mudah terhempas dan sedikit meloncat ketika speedboat nekat menerabas ombak yang dihasilkan oleh kapal lain di sekitarnya.
Pemandangan Perjalanan Khas Sumsel: Sungai, Hutan, dan Rawa
Tepat pukul 9 Pagi, speedboat kami mulai meninggalkan dermaga. Tak lama dari itu speedboat langsung bergerak ke tengah sungai seakan bergabung dengan perlombaan kejar-kejaran bersama kapal lain yang sudah lebih dulu berada di tengah.
Di sinilah part yang paling seru! Sepanjang perjalanan, kita dapat menyaksikan pemandangan alam khas Sumatera Selatan khususnya bagian timur hingga pesisir. Yaitu dengan menyaksikan sungai-sungai kecil yang seakan-akan saling tersambung, hutan bakau, hingga rawa.
Perjalanan dimulai dengan melintasi Sungai Musi. Di sini kita bisa melihat pemandangan kota Palembang dari sungai, mulai dari Jembatan Ampera, kawasan pasar 16 Ilir, Musi IV, Komplek Pusri, hingga Pulau Kemaro.
Satu hal lain yang baru saya liat adalah bahwa faktanya Sungai Musi sangatlah lebar jika dilihat dari tengah. Wajar jika orang-orang tua terdahulu di Palembang menyebutnya dengan “laut”.
Karena memang bentuknya bagaikan laut yang diarungi oleh banyak kapal yang memecah ombak dan riak. Mulai dari tongkang batubara, kapal pengangkut barang, hingga kapal kecil bernama getek ada di sini.
Setelah beberapa waktu, speedboat kami mulai menyimpang dari Sungai Musi dan masuk ke suatu sungai kecil. Di sini pemandangan cukup berbeda dari sebelumnya.
Tepian sungai ini dipenuhi oleh pohon bakau dengan akar napasnya yang menjulang seakan ingin mencapai langit. Pohon bakau inilah yang mampu menahan abrasi pada tepian sungai yang dipenuhi pasir layaknya sebuah perisai.
Dan sepengamatan saya, hutan-hutan bakau ini cukup terjaga dan jarang terjamah manusia.
Setelah menyusuri sungai kecil, speedboat mulai memasuki suatu kanal yang jalurnya lurus. Di sini berdiri Pusat Latihan Gajah yang dikelola oleh BKSDA Sumsel. Lokasi ini bisa diakses melalui transportasi air karena dilengkapi fasilitas dermaga.
Sayangnya, mungkin gajahnya sedang tidur saat itu sehingga saya tidak melihat satu ekor pun. Padahal kalau lagi beruntung, kita bisa melihat langsung dari speedboat gajah-gajah sedang bermain di lokasi tersebut.
Pemandangan Pemukiman Penduduk Lokal
Sumatera Selatan dipenuhi oleh banyak sungai yang kecil hingga lebar. Selain itu, struktur tanahnya pun didominasi oleh lahan gambut khususnya untuk bagian timur mendekati pantai.
Sehingga hal ini yang membuat penduduk untuk memutar otaknya bagaimana agar hunian yang mereka tempati bisa bebas banjir. Salah satunya ialah dengan membuat model rumah panggung.
Sepanjang jalan akan sering kita temui rumah dengan model seperti ini di tepian sungai. Rumah-rumah tersebut berdekatan satu sama lain dan membentuk semacam desa.
Karena letaknya yang cukup terisolir dan tidak adanya jalur darat ke kota, maka transportasi air menjadi andalan bagi penduduk lokal. Bahkan hampir di setiap rumah panggung terparkir perahu kecil di depannya.
Jika kita bandingkan dengan penduduk kota, kebanyakan dari mereka mengandalkan alat transportasi darat seperti motor dan mobil. Walaupun begitu, epeda motor masih diandalkan untuk transportasi antar rumah dan desa.
Untuk transportasi barang dan komoditas dari kota, mereka mengandalkan transportasi air. Bagaikan kota Venesia dari Italia. Wajarlah jika Palembang juga dijuluki dengan Venice of The East atau Venesia dari Timur!
Satu lagi hal unik yang saya temui. Saya juga dapat menemukan ada jembatan rangka berdiri melintasi sungai. Seakan-akan masih terdapat jalan raya sebagai akses darat di kawasan tersebut.
Yang saya pikirkan adalah, bagaimana dan darimana cara kita mengakses jalan tersebut? Jika memang ada jalur transportasi darat yang mendukung, patut kita jajal sama-sama nih.
Akhirnya Sampai Pun
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, akhirnya speedboat kami pun berhasil bersua dengan lapak berlabuhnya.
Di ujung perjalanan, speedboat saya disambut dengan berbagai tongkang kapal berisi potongan kayu. Tidak hanya itu, terlihat juga beberapa speedboat lain yang mengangkut warga lokal beserta komoditas berupa sayuran, ikan, kelapa sawit, dan lainnya.
Speedboat pun berlabuh di Dermaga Sei Baung milik perusahaan. Di sini juga tersandar beberapa speedboat resmi milik perusahaan.
Tetapi di sini saya belum sempat berfoto karena harus dihadapi dengan urusan administrasi. Selain itu, saya pun sudah dijemput oleh mobil sehingga tidak ingin membuatnya menunggu lama.
Dan akhirnya perjalanan ke Sei Baung pun selesai, dan dilanjutkan dengan mengemban tugas negara hehe. Akan kita bahas di artikel selanjutnya ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H