Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cintaku Jauh di Pulau

13 Maret 2017   14:44 Diperbarui: 14 Maret 2017   02:00 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi tiba tanpa tergesa. Selapis kabut menempel di jendela. Jauh di langit, awan pekat membentang seperti tinta raksasa yang siap dilepaskan ke bumi. Tak ada celah untuk seberkas sinar mampir ke bumi. Sepertinya hari akan berakhir hujan, saya menduga. Tapi banyak hal terjadi di luar dugaan. Labuan Bajo masih sepi pada pagi hari. Hanya terlihat beberapa pelancong di jalanan, menenteng perlengkapan snorkeling. Mereka hendak bergegas menuju pulau. Kota kecil itu bagi mereka nampaknya hanya merupakan sebuah persinggahan. Seperti halnya mereka, saya pun begitu. Sebab cintaku jauh di pulau. Bersama tujuh kawan yang lain, kami hendak melawat pulau-puau yang kemasyurannya telah sampai ke ujung benua. Ada banyak intensi yang disertakan dalam perjalanan, seperti mensyukuri kehidupan, memestakan imamat, merayakan persaudaraan, atau juga meneguhkan liburan. Diam-diam, saya selipkan sebuah perayaan kecil, untuk hidup yang sudah dua puluh enam tahun; terima kasih alam semesta. 

Lautan masih merupakan sahabat yang teduh. Sebuah spead boat berselancar cepat di atas lautan yang ombaknya seperti air mendidih. Boat itu melaju cepat, seperti seorang penari yang sudah hafal bagaimana caranya menguasai panggung. Kapten tampil seperti agen 007. Tatapannya jauh, menebak-nebak jalur yang pantas ditempuh. Sepintas lautan kelihatan sebagai sebuah jalan yang lapang, tetapi sebetulnya meyimpan banyak ranjau di kedalamannya. Gelombang dan arus berpadu. Di titik itu, di tengah lautan yang mahaluas, di mana daratan begitu jauh terlihat, kami sungguh merasa amat rapuh. Matahari seakan vakum untuk satu hari, dan posisinya digantikan kabut dan mendung di langit. 

Saya tertegun menatap lautan yang bergelora. Mendadak teringat akan cinta yang diterima cuma-cuma selama lebih separuh abad dari mereka yang beranjak renta atau juga dari orang asing yang ditemui dalam perjalanan kehidupan. Saya teringat akan cinta yang tak sanggup tinggal atau juga kasih yang dihadiahi pemilik semesta. Ada banyak hal baik dalam hidup ini, ada banyak kisah. Lautan yang mahaluas seakan sebuah isyarat lain, separuh abad lewat bukanlah hal istimewa. Masih panjang jalan yang harus ditempuh sesudahnya. Pada langit yang gelap, saya melihat harapan yang pekat. Hidup separuh abad, belumlah cukup. Tahun-tahun mendatang, jika masih mungkin, hidup perlu dipersembahkan untuk membiakkan kebaikan!

whatsapp-image-2017-01-22-at-11-40-51-58c64aea3397739e6b73f8f0.jpeg
whatsapp-image-2017-01-22-at-11-40-51-58c64aea3397739e6b73f8f0.jpeg
Kadang, lautan memang tempat terbaik untuk merefleksikan hidup. Mungkin itu sebab mengapa banyak penyair menuliskan sajak selepas duduk di tepi pantai, seakan di kedalaman samudera Tuhan pernah menyimpan ribuan misteri perihal kehidupan, yang hanya sanggup dipecahkan para penyair. Pertanyaan tentang kehidupan itulah yang membuat saya tak hirau dengan gelora lautan, hingga spead boat yang kami tumpangi tiba di sebuah dermaga yang sepi. Di pulau itu, lautan begitu teduh. Boat disandarkan pada ujung dermaga kayu, sebelum satu-satu dari kami bergegas meninggalkannya dan menapakan kaki di pulau itu, tempat satwa raksasa bertahan hidup setelah berabad-abad. Pulau Rinca.

Sejak kami menginjakkan kaki di atas Rinca, gerimis turun merayu seperti sebuah ucapan selamat datang. Tiada yang hirau. Basah adalah sebuah resiko yang tak perlu menjadi alasan gerutu. Saya sungguh penasaran seperti apa rupa hewan purba itu. Tetapi, nyali saya pun ciut untuk bergegas sendirian.Kami serempak melangkah, sedang mata jelalatan memerhatikan komodo ke semua arah penjuru. Persis di dekat rumah tamu, seekor komodo bermalas-malasan dengan tatapan yang tajam, sedang lidahnya yang bercabang menjulur ke luar bersamaan lelehan liur. Konon, air liur komodo mengandung ribuan bakteri yang sanggup membunuh mangsa, termasuk manusia, dalam sekejap mata. Tapi, kami diteguhkan oleh kata-kata pemandu bahwa hewan-hewan raksasa itu tak sembarangan mengumbar kebencian. Kami percaya. Untuk membunuh ciptaan lain memang harus selalu dibutuhkan alasan, tidak sekadar insting atau nafsu!

Apa yang menarik dari menyaksikan hewan raksasa itu? Entahlah. Yang terlintas di benak saya ketika itu adalah cerita pendek cerpenis SGA yang judulnya saya jadikan judul catatan ini. Cerita perihal seorang kekasih yang mencari kekasihnya di pulau Komodo. Konon, dalam sebuah kelahiran kembali, kekasihnya bereinkarnasi menjadi seekor komodo. Tapi, apa yang membuat hewan purba itu bisa tidak punah setelah ribuan abad? Entahlah. Saya kira bukan hanya cinta yang menahan ciptaan hidup lebih lama, tetapi juga gairah. Gairah untuk hidup dan mencintai hidup adalah paket kompilt untuk ciptaan yang ingin hidup lebih lama. Ketika jarak kami dan komodo hanya lima depa jauhnya, saya dibuat heran. Manusia dan komodo masing-masing memiliki kemampuan untuk membunuh satu dengan yang lainnya. Tapi, dalam lima depa hal itu tidak terjadi. Mengapa? Selain bahwa membunuh selalu membutuhkan alasan/sebab, saya kira Tuhan pernah menanam kedamaian abadi dalam diri semua ciptaan. Hanya keangkuhan yang merusaknya.

bersama Pohon Jomblo
bersama Pohon Jomblo
Selepas menyaksikan komodo dari jarak yang terjaga, kami bergegas menuju puncak sebuah bukit. Di sana tumbuh sebatang pohon, yang bertahun-tahun bertahan hidup hanya oleh kabar yang di bawah angin dari pohonn-pohon lain di kejauhan. Itu pohon jomblo, kata pemandu. Jangan-jangan kekasih saya telah berenikarnasi menjadi sebatang pohon, kata saya dalam hati. Entahlah. Hujan dan angin semakin menghebat. Kami lekas bergegas, meninggalkan komodo dan pulau, kembali ke bibir dermaga untuk melanjutkan perjalanan ke pualu yang lain, berlabuh ke lain sunyi; menuju Pulau Padar!

Jarak antara dua pulau ini cukup jauh, tiga jam perjalanan saat cerah. Saat itu, kami mendapat bagian terbaik dari perjalanan. Lautan mengamuk. Hujan, badai, gelombang dan arus seakan telah bersepakat untuk membunuh kami. Spead boat yang mungil itu mendadak gugup. Tak ada suara yang keluar selain bunyi deru mesin dan suara ombak yang pecah di dinding boat. Mulut kami yang latah mengucap serapah mendadak fasih melafalkan doa. Kepada siapa kami harus mengadu? Hanya ada kepasrahan. Saya toh tahu, lautan merupakan kuburan masal yang telah menampung jutaan manusia yang mati tanpa pernah kembali melihat daratan. Hal seperti itu bisa terjadi pada siapapun, juga pada kami. Sebagian dari kami mulai sujud ke arah lautan yang mengamuk, memelas pada semesta untuk sejenak berdamai. Jawabannya hanyalah hujan deras, jarak pandang yang dipangkas, dan mendadak boat itu berhenti dan sunyi sekali. Tuhan di mana? Entahlah.

Ada di batas hidup dan mati, merupakan pengalaman yang aneh. Kita siap melangkah ke kehidupan yang lain atau justru dikembalikan ke kehidupan saat ini. Tidak ada jaminan. Yang ada hanya harapan yang terus dilemparkan ke langit, semoga yang terjadi adalah hal-hal baik. Hidup mungkin akan selalu begitu, tak akan pernah luput dari badai. Tapi, selepas badai, kau akan melihat lautan teduh dan alam yang menakjubkan. Kau mungkin cuma perlu bersandar pada siapa yang layak dan berdoa pada siapa yang pantas. Badai pasti akan reda. Semua perihal itu terjadi begitu ringkas, sebelum akhirnya badai tiba-tiba reda dan kami melihat puncak Padar di kejauahan. 

Selepas badai, boat melaju di atas lautan dengan ombaknya yang seperti lekukkan goyang penyanyi dangdut. Perjalanan yang menantang itu akhirnya tiba di sebuah pantai dengan hamparan pasir putihny yang bergairah. Di puncaknya tertinggi, kami melihat keajaiban lain dari dunia yang pernah diciptakan Tuhan. Padar, namanya. Sebuah keindahan yang bisa menahanmu lebih lama di sana. Sayangnya, cara manusia merayakan ciptaan Tuhan tak sebaik cara Tuhan memelihara. Sampah berserakkan di mana-mana. Yah, walau begitu, keindahan yang istimewa itu kami cicipi dan syukuri di puncak tertinggi. Hujan kembali turun, tapi siapa yang peduli. Basah bukan alasan menjadi gerutu. Kami tak lagi hirau pada apa yang telah terjadi, dan menyerahkan semua yang bakal terjadi dalam bingkai harapan. 

p-20161221-102105-58c64bb3539773761642e815.jpg
p-20161221-102105-58c64bb3539773761642e815.jpg
Saat hari makin senja, kami kembali ke pelabuhan di pinggir kota Labuan Bajo. Lautan telah menjadi sahabat yang sangat karib. Tak ada badai. Senyum ceria menempel di wajah kami, sebuah kebahagiaan yang tak terkatakan.  Sebentar singgah di Pulau Kelor, menikmati indahnya pulau itu dari puncaknya yang paling tinggi. Kemudian berenang seakan hendak membersihkan diri dari semua rasa takut dan masa lalu. Suatu waktu pasti akan kembali ke pulau-pulau ini. Ahhh, di pulau-pulau itu, cinta akan selalu menunggu!

p-20161221-125045-58c64c35ae7e61324694c32b.jpg
p-20161221-125045-58c64c35ae7e61324694c32b.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun