Remaja pacaran (tidak semua) itu...:
saling tergila-gila, dan suka mojok berdua, cenderung tak tahu malu, cuek terhadap orang di sekelilingnya. Jadi sensitif, mudah merasa dimusuhi; jadi agresif, gemar musuhi siapa saja yang dianggap penghalang kisah cinta mereka (termasuk keluarga!); bahkan jadi gelap mata, siap membunuh karena cemburu buta, demi membuktikan cinta.
Radikalis agama (ada di semua agama, hanya oknum, tentunya):
Ada yang cenderung asketis-eksklusif, mengasingkan diri, menikmati kesalehan pribadi, cuek terhadap masalah-masalah dunia. tergila-gila pada Tuhannya dan kitab sucinya, tapi tutup mata terhadap kondisi dunia/ bangsa yang dicipta dan dikasihi Tuhannya.
Ada yang cenderung sensitif-agresif, doyan anarkis, sulit hargai komunitas lain, tapi wajibkan semua hargai mereka bahkan siap meniadakan kelompok lain, yang sesungguhnya adalah saudara-saudara sekandung mereka dari ibu pertiwi yang sama, atas nama cemburu suci, demi membela Tuhan.
Dua tipe radikalis agama ini berbagi kesamaan: gagal mengkontekstualisasikan pokok-pokok imannya dengan realitas bangsanya yang plural dan sarat problematika sosial.
Apa pelajarannya?
“Kegilaan asmara” remaja ini bersifat sementara, temporer. Tapi radikalisme agama cenderung permanen, sarat bahaya laten! Maka detoksifikasi bukan solusi terbaik, perlu langkah preventif. Deradikalisasi itu efektif dilakukan sedini mungkin, sejak anak-anak bangsa masih kecil. Pendidikan agama dan edukasi nilai-nilai kebangsaan wajib sinergi!
Selalu penting dan mendesak untuk kita ajukan pada diri kita dan pada institusi-institusi agama kita masing-masing:
“Di tengah banyaknya balita kurang gizi, pekerja anak, human trafficking, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi di berbagai instansi, korupsi, anarki, kerusakan lingkungan, bencana alam, kecelakaan transportasi yang tinggi, dll: Apa sumbangsih agama kita? Apa yang sudah dan harus terus dilakukan lembaga agama yang mewakili kita? Dan apa yang sudah dan harus terus aku lalukan sebagai wakil agamaku, wakil Tuhanku di lingkunganku, di profesiku, di tengah bangsaku??.
Semoga tiap kita mendapat jawaban pertanyaan tersebut dari komunitas/ulama/kitab suci agama kita masing-masing..
Salam Optimisme Perubahan Indonesia!!
***
Makassar, 10 Mei 2017
Pasca pilkada ibu kota terbiadab yang pernah ada, buah kebodohan radikalisme yang dibiarkan merajalela baik di sosial media maupun di jalanan kota-kota kita
Catatan:
- Sebuah cermin: ada 2 kategori definisi orang gila; 1. Jika dunia yang ada dalam pikirannya tidak ‘nyambung ‘ dengan dunia realitas di sekelilingnya, 2. Jika perilakunya berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan orang-orang di dekatnya.
- Berdoa agar banyak lembaga / ormas agama (dari semua agama) yang ‘anti dunia,’ berubah jadi lembaga agama yang terlibat jadi solusi persoalan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H