Organisasi hidup seperti organisme. Lahir, tumbuh, dan berkembang. Ada organisasi yang panjang umur ada pula yang pendek umur. Ada pula yang layu sebelum berkembang. Penyebabnya amat sangat beragam. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor berkembang tidaknya sebuah organisasi adalah regenerasi.
Regenerasi adalah hampir selalu menjadi tantangan di semua organisasi. Dari level terendah hingga tertinggi. Seberapapun ukurannya. Apapun  bentuk organisasinya. Yang berbentuk maupun tanpa bentuk. Masalah regenerasi pun menjadi isu besar di banyak negara di dunia. Â
Meski kita tahu kalau pergantian generasi adalah sebuah keniscayaan, tapi tak semua pimpinan organisasi mampu mengelola peralihan generasi dengan mulus. Mari kita menengok dunia olah raga. Bidang yang didalamnya sangat kental dengan urusan regenerasi. Pemain datang silih berganti untuk mencapai prestasi puncaknya. Pemain-pemain yang menua akan kalah cepat, kuat dan tenaga dengan pemain yang lebih muda. Dan hasilnya kelihatan jelas. Begitulah siklusnya.
Kasus SEA GAMES yang dilaksanakan bulan Desember tahun lalu bisa kita jadikan contoh. Untuk pertama kali, sepanjang ingatan saya, baru kemarin Indonesia mengirim lebih dari 60 persen anggota kontingen adalah atlet muda. Muda dalam dua arti. Usia dan pengalaman. Hasilnya, kita semua sudah tahu.
Ada lagi contoh yang lebih segar. Kali ini di sepak bola. FC Barcelona, tim raksasa asal Spanyol yang berkuasa selama lebih dari satu dekade -- di liga domestik, Eropa maupun dunia -- pun mulai kedodoran ketika dibantai  Bayern Munich 8-2 di  perempat final Liga Champions bulan lalu. Pemain-pemain yang menua mulai kehilangan rasa lapar akan gelar juara. Manajemen klub nampak terlambat mengelola proses regenerasi pemainnya.
Lantas apa yang membuat regenerasi menjadi sulit dikelola di sebuah organisasi? Paling tidak ada 5 faktor penyebabnya.
Pertama, trust. Kepercayaan. Dari siapa ke siapa? Mungkin secara kasat mata kita menganggap bahwa urusan trust dari pemimpin kepada para anak buahnya. Dari atasan ke bawahannya. Namun sebenarnya urusan trust ini adalah berlaku timbal balik. Dua arah. Bukan saja satu arah dan top down.
Jadi rasa saling percaya itu harus tumbuh, berkembang dan mengalir di seluruh sendi sebuah organisasi. Vertikal dan juga horizontal. Adanya saling percaya akan membuka ruang-ruang untuk saling mengenal potensi setiap individu dalam organisasi tersebut.
Kedua, tidak adanya sistem pengkaderan dalam organisasi tersebut. Pada banyak organisasi jarang kita jumpai pola atau sistem pengkaderan yang baik. Organisasi bisnis atau korporasi berskala besar sekalipun masih sering mengabaikan sistem kaderisasi di dalamnya. Lebih-lebih bila kita mencermati partai politik. Ketiadaan sistem kaderarisasi yang baik sering memunculkan fenomena "dia lagi dia lagi" yang menempati jabatan tertentu dalam organisasi.
Ketiga, adanya ketergantungan pada satu orang 'kuat' dalam organisasi tersebut. Sangat wajar bila di dalam setiap organisasi hadir sosok orang 'kuat'. Apapun statusnya dalam organisasi tersebut. 'Kekuatan' ini bisa memberikan dampak positif namun bisa juga justru sebaliknya. Struktur organisasi akan melemah akibat semua unsur dalam organisasi tersebut punya ketergantungan yang terlalu tinggi pada orang 'kuat' tersebut.
Keempat, result oriented. Berorientasi pada hasil. Tepatnya terlalu berorientasi pada hasil. Bukan proses. Ini menyebabkan banyak pemimpin dalam organisasi yang ingin menikmati apa-apa yang mereka tanam sendiri. Sehingga memaksakan diri untuk bertahan dalam organisasi tersebut sampai hasil dari yang ditanamnya nampak jelas dan dapat dinikmatinya. Terlalu banyak contoh pemimpin seperti ini akan mempertahankan posisinya dengan cara apapun.
Kelima, quick result. Ingin hasil yang cepat. Ini sangat erat berhubungan dengan orientasi pada hasil di poin empat di atas. Karena yang dikejar adalah hasil, maka banyak pemimpin organisasi yang kemudian terjebak pada nafsu mengejar hasil dengan cepat. Di saat inilah maka tak jarang organisasi mengabaikan proses regenerasi yang memang memakan waktu yang tidak sebentar.
Dari banyak organisasi yang saya amati, saat kelima faktor tersebut dominan maka bisa dipastikan pertumbuhan dan perkembangan sebuah organisasi akan terhambat. Lantas bagaimana cara supaya organisasi tidak terjebak pada kelima faktor tersebut? Langkah apa yang harus ditempuh? Bagaimana peran pemimpin untuk mencegah persoalan regenerasi dalam organisasi? Saya akan bahas dalam tulisan berikutnya.
Selamat belajar!
Mohamad Kurniawan, pemilik Sekolah Alkautsar Temanggung, Jawa Tengah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI