Barangkali Anda akrab dengan cerita seperti ini: "Dulu saya adalah orang yang paling takut berbicara di depan umum. Saat pelajaran yang menuntut murid maju dan berbicara di depan kelas, maka mendadak perut saya mules, kepala saya pening dan mata saya berkunang-kunang. Jangan ditanya  kaki dan tangan saya. Gemetar semua. Kini, sekian belas tahun kemudian, keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Saya menjadi orang yang sangat percaya diri untuk tampil dan berbicara di depan banyak orang."
Tak jarang para pembicara publik yang saat ini dikenal sebagai singa podium, dulunya punya kisah yang sama dengan seseorang dalam cerita di atas. Pun demikian dengan seorang sahabat saya. Beliau adalah dosen dan ahli di bidang kecerdasan mesin pada sebuah universitas negeri papan atas di Indonesia. Siapa sangka, beliau yang saat ini jam terbang bicaranya relatif tinggi, bahkan hingga SMA, tampil di depan kelas menjadi momok yang sangat menakutkan baginya.Â
Lantas kapan titik balik itu datang? "Saat saya bertekad dalam hati untuk melawan rasa takut itu!" Demikian mantap kata-katanya yang terucap ketika menjawab pertanyaan saya.
Momentum pertama yang dijadikan ajang pembuktian tekad tadi adalah ketika beliau menjadi mahasiswa baru di sebuah PTN di Jogja. Saat mengikuti penataran P4 (program pembekalan bagi mahasiswa baru di jaman Orde Baru), sahabat saya ini selalu tunjuk jari saat sesi tanya jawab. Tak selalu terpilih, namun cara ini rupanya menjadi sebuah kebiasaan baru. Kebiasaan berani bicara di depan orang banyak.
Cerita selanjutnya adalah cerita kesuksesan beliau menaklukkan dirinya. Hingga kesuksesan pun beliau gapai saat ini.
Bicara membangun kebiasaan baru menjadi  sangat relevan dengan kondisi saat ini.  Pandemi Covid 19 memaksa kita untuk beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru yang tak pernah ada sebelumnya.Â
Pakai masker, selalu menjaga jarak dan sesering mungkin cuci tangan pakai sabun adalah beberapa aktivitas yang harus kita kerjakan. Contoh ekstrim adalah tak terbayang dalam pikiran kita yang paling liar sekalipun, kalau ibadah haji tahun ini hanya dibatasi untuk 10.000 jamaah saja. Itupun mereka yang sudah tinggal di Arab Saudi sekurangnya 2 tahun.Â
Berkaca dari pengalaman sahabat saya tadi, berubah tak pernah mudah. Perlu langkah bertahap. Beliau pun memberikan 5 kunci  yang bisa kita praktekkan dalam menghadapi era new normal ini. Jaman saat kita harus beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Kunci ini sudah dijelaskan di buku karya beliau, The Model.
Pertama, high emotional intensity. Peristiwa atau pengalaman luar biasa yang sangat menguras emosi seseorang bisa menjadi pemicu bagi perubahan dirinya. Baik pengalaman baik maupun buruk.Â
Kita banyak temui penderita kanker, diabetes melitus, obesitas, HIV AIDS dan penyakit berat lainnya, yang berubah menjadi sosok yang gencar mengkampanyekan pola hidup lebih sehat. Semakin tinggi intensitas emosi yang terlibat maka semakin cepat perubahan dalam diri kita akan terjadi.
Kedua, authority atau otoritas. Sering kita jumpai sebuah rumah makan, dindingnya dipenuhi dengan foto pemilik rumah makan bersama orang terkenal - bisa artis, pejabat, atlet - bersama dengan pemilik rumah makan tersebut. Tak jarang ditambah dengan pesan testimonial dari para pesohor ini. Sekarang, pemilik rumah makan pun bisa juga memasang  foto atau video pendek di berbagai sosial media untuk mendapatkan testimoni dari orang-orang terkenal. Otoritas dari public figure inilah yang akan memberikan perubahan bagi pemilik rumah makan tersebut. Pergeseran otoritas ini mampu membuat pola hidup seseorang berubah.Â
Ketiga, repetition atau pengulangan. Kebiasaan akan membentuk perilaku seseorang. Semakin sering sebuah tindakan dilakukan maka pola hidup seseorang akan berubah, akan menghasilkan  sebuah kebiasaan baru yang relevan dengan situasi dan kondisi saat itu.Â
Aristoteles, seorang filsuf asal Yunani mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Karena itu keunggulan bukanlah sebuah perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan.
Pengulangan adalah kunci kita untuk menguasai suatu bidang atau ketrampilan tertentu. Pola kebiasaan baru yang berkualitas dalam pikiran dan tindakan kita bisa dilakukan dengan cara ini.
Keempat, learning & knowledge (belajar dan pengetahuan). Kita tentu sepakat apabila pengetahuan seseorang akan menentukan kapasitas dan kualitas orang tersebut.Â
Pengetahuan hanya bisa diperoleh dengan proses belajar (learning). Tingkah laku seseorang pun amat ditentukan oleh bagaimana dia belajar. Semakin intens seseorang belajar maka kebiasaan-kebiasaan baru pun akan lebih mudah diterimanya.Â
Kelima, imagination & visualization (imajinasi dan visualisasi). Albert Einstein pernah mengatakan bahwa imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan dibatasi oleh semua yang kita ketahui dan pahami sekarang.Â
Sementara imajinasi meliputi seluruh dunia dan semua yang akan pernah ada untuk diketahui dan dipahami. Kita bisa saksikan dunia saat ini. Serba terhubung, cepat dan live. Teknologi informasi yang saat ini kita gunakan sehari-hari banyak dipengaruhi daya imajinasi dan pengetahuan para penemunya. Dengan ilmu dan imajinasi maka kita pun bisa membuat adaptasi kita terhadap kebiasaan baru lebih cepat terbentuk.
Apapun yang sedang kita alami sekarang atau esok, sesungguhnya adalah  sebuah proses perubahan yang tidak akan pernah berhenti. Setiap perubahan pasti mempunyai konsekuensi munculnya kebiasaan-kebiasaan baru yang harus kita jalani. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dan siap tidak siap. Bukankan tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri.
Selamat datang perubahan. Selamat belajar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI