Â
Gerimis di awal bulan November menambah dingin pagi itu. Melbourne, kota yang dikenal memiliki 4 musim dalam sehari (ya Anda tidak salah baca, 4 musim dalam sehari!) terasa makin kelabu. Mata yang masih berat, setelah menempuh penerbangan malam selama 4 jam dari Darwin, Australia Utara, membuat saya ingin segera menikmati secangkir kopi hangat sembari menunggu sahabat saya Muhammad Nur Rizal, penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menjemput saya. Hari itu, dia berjanji untuk mengajak saya berkunjung ke sebuah sekolah dasar yang berlokasi di suburb Clayton, 23 km sebelah tenggara kota Melbourne.
Clayton North Primary School begitu nama sekolah tersebut. Sekolah yang telah berusia 150 tahun lebih ini, menjadi istimewa buat Rizal dan keluarganya. Tak hanya karena anak-anak mereka menempuh pendidikan di sana selama mereka tinggal di Melbourne, namun bersama istrinya, Novi  Chandra, mereka berdua memulai dan mengembangkan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) karena terinspirasi praktek-praktek belajar mengajar yang ada di sekolah tersebut.
Sekolah-sekolah di Australia saat ini mulai mengembangkan konsep pendidikan berbasis individual (personalised based learning). Konsep ini menekankan adanya student ownership. Siswa diajak untuk menjadi aktor utama dalam proses belajar mengajar di sekolah. Alih-alih berlaku pasif dengan sekedar mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu guru di depan kelas, anak-anak diajak aktif berpikir, bergerak, bereksperimen dan berdiskusi untuk menemukan jawaban atas materi-materi yang mereka pelajari.
Meskipun hampir semua tugas dilakukan berkelompok, namun setiap anak tetap akan diberi target atau goal sendiri terhadap satu subject atau mata pelajaran. Sesuai dengan tingkat kemampuan mereka masing-masing. Dengan tetap ada standar minimal yang diberlakukan.
Seperti tulisan pada sebuah kartu milik seorang murid bernama Sa'if. Â "Sa'if Writing Goal : To write using correct spelling for words he knows". Kartu target belajar Sa'if ini tersimpan rapi di folder pelajaran menulis bersama dengan kartu teman-teman sekelasnya. Biasanya target ini berlaku selama satu term (4 bulan). Target individual ini akan dicapai melalui penugasan-penugasan yang diberikan guru kepada Sa'if di kelas.
Selain konsep personalised based learning ini, dikembangkan juga praktek penanaman karakter kepada murid-murid. Â Nilai-nilai sekolah yang menjadi prioritas untuk diajarkan pada anak-anak dimasukkan dalam semua kegiatan di sekolah. Tak hanya di dalam kelas, namun juga di luar kelas. Tak hanya di guru yang bertanggung jawab pada program ini, namun semua siswa pun dilibatkan. Melalui program yang disebut buddy programme, kakak kelas menjadi semacam mentor bagi adik-adik kelasnya untuk mengajarkan nilai-nilai positif yang sudah mereka terima dan pahami dari para guru.
Pesan-pesan positif pun banyak tertempel dan tertulis di dinding baik di dalam maupun di luar  ruang kelas dalam beragam bentuk dan warna. Seperti yang menarik perhatian saya adalah terpampangnya golden rules yang berlaku di sekolah tersebut di tembok bagian luar salah satu kelas. Isinya ada 4 poin, yakni selamat datang kepada semua siswa dan guru di kelas, halaman, dan gedung sekolah (welcome all students and teachers to class, the playground and the school).
Menerima latar belakang dan budaya setiap orang di sekolah tersebut (embrace everybody's background and culture). Menghargai teman, guru dan seluruh fasilitas sekolah (respect each other, your teachers and school property). Terakhir, selalu peduli, berbagi dan jujur sepanjang waktu (be caring, sharing and honest at all times).
Dimulai dari menjadi anggota jejaring sekolah GSM hingga sekarang sebagai sekolah model, SD ini dibimbing dan didampingi untuk melakukan perubahan-perubahan seperti yang ada di Clayton North Primary School. Tujuannya membuat kelas menjadi lebih hidup dan menyenangkan sehingga murid-murid pun tak hanya mampu memahami konsep pelajaran dengan lebih mudah namun juga mampu mengembangkan seluruh potensi dirinya.
Susunan bangku di setiap kelas dibuat tak seragam. Tak ada lagi kelas yang bangkunya disusun rapi dari depan ke belakang. Semuanya diubah secara periodik. Dampaknya tak ada lagi siswa yang bosan karena duduknya tak pernah berubah selama satu tahun. Dinding-dinding kelas pun dipenuhi dengan berbagai karya siswa dan kata-kata positif yang memotivasi. Nyaris tak ada bagian dinding kelas yang dibiarkan kosong.
Demikian pula dalam cara anak-anak belajar. Tak jarang kita lihat anak-anak mengerjakan tugas dan berdiskusi sembari duduk bersila di lantai. Menariknya, meskipun anak-anak menjadi lebih terkesan bermain dibandingkan belajar namun mereka tetap fokus dan antusias dalam memahami materi demi materi yang disampaikan guru-gurunya.
Belajar dalam suasana menyenangkan bak bermain di taman adalah cita-cita yang sudah sejak tahun 1930an dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam bukunya berjudul 'Tutwuri Handayani'. Pendiri Perguruan Taman Siswa ini mempunyai misi menjadikan sekolah sebagai taman belajar dan bermain yang menyenangkan untuk semuanya. Anak menjadi senang belajar karena guru tak sekedar menjadi pengajar tetapi bisa memberikan motivasi dan inspirasi bagi anak-anak didiknya.
Sekolah bukan tempat yang menakutkan dan bikin stres. Gagasan pendidikan model taman siswa inilah yang sebenarnya diadopsi dan kini diimplementasikan oleh Finlandia dan negara-negara maju lainnya, termasuk Australia. Menjadi sebuah ironi bila kitalah -- bangsa pemilik konsep tersebut -- yang sekarang justru harus belajar dari mereka. Dan, SD Karangmloko 2 pun sudah membuktikan hasil belajar mereka.
Selamat belajar dengan cara menyenangkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H