Refleksi @ayah_rayya 10
https://cdn.pixabay.com/photo/2014/09/06/15/21/writing-436993_960_720.jpg
Beberapa waktu setelah ditinggal pergi oleh Ibu Ainun, Pak Habibie mengalami apa yang dalam dunia kedokteran disebut dengan psikosomatik malignant. Sebuah penyakit yang timbul akibat stress, kuatir dan kecemasan yang berlebihan. Untuk kasus Pak Habibie sudah di level akut.
Untuk pengobatannya tim dokter pun mengajukan 4 pilihan. Pertama, masuk rumah sakit jiwa. Kedua, tetap tinggal di rumah dengan jadwal kunjungan dokter yang ketat. Ketiga, curhat ke rekan-rekan yang dokter, curhat kepada teman-teman bu Ainun, dokter, atau siapa saja termasuk keluarga atau sahabat. Keempat, menyelesaikan masalah ini secara mandiri dengan cara curhat kepada jiwa dan diri sendiri melalui menulis. “Saya ambil opsi keempat. Saya menulis!”, tegas beliau saat menceritakan kisah ini dalam berbagai kesempatan.
Cerita selanjutnya kita telah ketahui bersama. Buku ‘Habibie dan Ainun’, tulisan hasil terapi Pak Habibie, menjadi best seller. Ketika diangkat ke layar lebar pada tahun 2012 pun, filmnya menjadi salah satu film Indonesia terlaris dengan 4,5 juta penonton.
Menurut James Pannebaker PhD, guru besar psikologi dari University of Texas Austin USA, mengatakan bahwa menulis ternyata mampu menjadi terapi kejiwaan bagi seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1990an dan ditulis dalam buku “Opening Up: The Healing Power of Expression Emotions” menyimpulkan bahwa menulis menjernihkan pikiran, menulis itu mampu mengatasi trauma, menulis itu membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, menulis membantu memecahkan masalah dan menulis bebas akan membantu kita ketika terpaksa harus menulis.
Menjadi pertanyaan adalah tulisan seperti apakah yang bisa menjadi terapi bagi jiwa kita? Tulisan yang ekspresif. Tulisan yang bebas. Tulisan yang tidak dibebani dengan berbagai hal-hal teknis penulisan, seperti penggunaan tata bahasa baku misalnya. Dalam studi lanjutan yang dimuat dalam “Journal of The American Medical Association” tanggal 14 April 1999, memperlihatkan bahwa menulis secara ekspresif mampu meringankan gejala asma dan rheumatoid arthritis (penyakit yang menyebabkan radang dan mengakibatkan nyeri, kaku dan bengkak pada persendian).
Dari pengalaman Pak Habibie disertai dukungan hasil-hasil riset di atas, maka membangun kebiasaan menulis sudah sepantasnya untuk tidak dipandang sebelah mata. Anak-anak kita perlu diberikan media dan sarana untuk mampu mengekspresikan emosinya melalui tulisan-tulisan yang bebas. Dan untuk membangun kebiasaan baik ini, bukan hanya tugas guru di sekolah namun juga tugas kita para orang tua sebagai pendidik pertama dan utama.
Selamat menulis!
#30DWC #DAY1
(ayah biasa dari 2 putri yang luar biasa)