Tak lama berselang, speaker-speaker mesjid menyiarkan takbir. Suaranya demikian bergemuruh memenuhi angkasa. Mengumandangkan lantunan wirid mengagungkan Tuhan sang pencipta alam semesta. Sepanjang malam suara takbir tak pernah selesai. Anak-anak, remaja, dan orang tua silih berganti menyumbang suara. Takbir bergema memenuhi tiap sudut langit yang temaram disinari cahaya rembulan.
"Aa bisa kita bicara berdua?"
"Tentu Juwita, apa yang ingin kau utarakan?"
"Ini tentang rahasia. Masa laluku yang belum terang benar Aa ketahui".
Tari menarik tanganku ke teras rumah. Langkah kaki ia atur lembut. Ia tak ingin orang lain mengetahui keberadaan kami. Dua manusia, yang tak lagi muda, bertingkah seperti anak baru gede. Risih, namun aku menikmatinya juga. Siapa yang bisa menolak, bila Tari sudah berkehendak, gumamku.
"Lelaki yang berjalan bulak-balik itu adalah ayah", kata Tari. Nafasnya tersengal, suaranya seperti menahan amarah. Luapan emosi yang sekian lama ia simpan rapi.
"Ia kembali di awal bulan puasa. Aa Ridwan yang membawanya. Ia tinggal di kamar kontrakan yang Aa sewa. Keadaan ayah seperti itu, tampak tua oleh himpitan kesusahan hidup, dan penyakit yang ia derita".
"Maafkan Tari ya A. Sekian lama Tari membohongi Aa dan anak-anak. Tari mengatakan selama ini bila ayah meninggal sejak Tari dalam landungan ibu. Padahal tidak demikian. Ayah pergi meninggalkan kami saat Tari berusia sepuluh tahun".
"Ke mana ayah pergi?"
"Ke tempat istri barunya, entah di mana".
"Sejak itu ibu membesarkan kami seorang diri. Kebutuhan harian ibu banyak dibantu Kakek. Lama-lama kakek mengajak kami tinggal bersamanya karena tak tega melihat ibu bekerja mencuci baju para tetangga. Kakek sempat berucap bila ia tak akan menerima lagi kehadiran ayah di rumahnya".