"Ayo Nduk, kita pulang", ajak Mamih.Â
Selembar kertas tisue tak lepas dari genggamannya. Dengan kertas penyeka itu sesekali Mamih mengusap air matanya. Tak banyak kata terucap. Mamih duduk mematung di kursi depan mobil abu yg kubawa.Â
"Sudahlah Mih, tak baik larut dlm kesedihan", candaku.Â
Mamih tak menjawab. Ia tak acuh padaku yangg memendam banyak tanya. Pandangan Mamih terarah pada sisi kaca jendela. Memandang takjub tiap sisi kota Bandung yang kami lewati.Â
"Brian orang yang baik", bisik Mamih.Â
"Ia juga orang yang sangat setia".Â
Mamih memantik percakapaan dengannku. Sepertinya ia sudah menguasai dirinya. Sama seperti yang kurasa, Mamih seperti hendak menumpahkan perasaan yg selama ini ia pendam.Â
"Mamih sepertinya mengenal Opa, lebih dalam dari yang Puspa kira".Â
"Tentu saja Nduk, sangat dalam".Â
"Ia masa lalu Mamih" kata ibu yang tengah lara itu. Ia melanjutkan kisahnya, "Semasa SMA, Mamih bersekolah di Bandung. Eyangmu menitipkan Mamih pada Pakde Salim. Mamih menumpang di rumah Pakdemu yang berjualan Mie Jogja di samping rumahnya. Tiap sore Mamih membantu Pakde dan Bude di kios itu. Jualan mereka laris manis. Pembeli berdatangan dari tempat yang dekat sampai jauh. Apalagi di malam Minggu, pembelinya lebih banyak lagi".Â
"Waah seumur-umur tinggal di Bandung, blm pernah Puspa mencicipi Bakminya Bude".Â