Imam Husein tampil ke depan. Beliau mengingatkan penguasa untuk segera kembali kepada ajaran Islam yang benar. Ajaran Islam sejati yang dibawa kakek, ibu dan ayahnya. Peringatan ini tak dihiraukan oleh Yazid dan rezimnya. Malah, sebagai gantinya, mereka meminta Imam Husein untuk berbaiat kepada Khalifah Yazid. Mengucapkan sumpah setia dan kesediaan untuk taat dan patuh kepada pemimpin korup itu.
Tentu Imam Husein menolak. Beliau tak selembar rambut pun setuju pada permintaan penguasa. Imam Husein menganggap bila penguasa tak bisa lagi diperingatkan. Beliau berketetapan hati untuk meluruskan segala penyimpangan dengan segenap daya dan kemampuan. Bahkan bila terpaksa, bertikai demi membela kesejatian ajaran yang dibawa kakeknya.Â
Maka berangkatlah Imam Husein disertai adik, anak, menantu, cucu dan pamannya. Ikut bergabung bersamanya para pengikut yang setia. Jumlah mereka sekitar tujuh puluh orang, berangkat menemui rezim Yazid. Namun di tengah perjalanan pasukan Yazid menggiring mereka ke satu tempat bernama Padang Karbala. Di tempat ini telah bersiaga tak kurang dari tujuh ribu pasukan Yazid. Pasukan berkuda dengan atribut berperang yang lengkap.
Imam Husein bertolak dengan misi damai. Tak ada keinginan untuk memerangi siapa pun. Imam Husein hendak membuka dialog, menyampaikan keinginan untuk memperingatkan bila penguasa telah jauh melangkah dari nilai-nilai kebenaran. Imam Husein hendak menyampaikan nasihat kebenaran sesuai dengan pesan yang tertulis dalam ayat suci Al Quran, tawasaw bil haq wa tawasaw bil shabri. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Gayung tidak bersambut di Padang Karbala. Ajakan Imam Husein untuk berunding dibalas pernyataan penuh kebencian. Uluran tangan penuh rasa persaudaraan disambut hunusan pedang. Maka pertikaian jadi satu kepastian. Pertempuran dengan komposisi pasukan yang tidak seimbang pun terjadi. Pertempuran yang lebih tepat disebut pembantaian.
Satu demi satu anggota rombongan Imam Husein maju menuju gelanggang perang. Satu demi satu syahid, gugur menghadapi pasukan Yazid yang bengis. Tak puas dengan hanya mengambil nyawa, pasukan yang sama menutup akses menuju sungai Furat, tak jauh dari gelanggang perang. Keluarga dan pengikut Imam bertarung dengan tenggorokan yang kering, dengan rasa haus yang mencekik leher.
Imam Husein maju ke tengah gelanggang. Putra pahlawan Perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib, itu pun mengerahkan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun, pasukan musuh yang licik memanahi raga suci itu dengan ratusan anak panah. Satu demi satu anak panah beracun menancap, mengeluarkan darah segar. Imam Husein syahid berhadapan dengan sejumlah pasukan yang kalap. Pada detik-detik terakhir, kibasan pedang Shimir mengenai lehernya. Imam Husein syahid di malam pertempuran itu.
Peristiwa yang mengoyak perasaan itu terjadi pada hari ke sepuluh di bulan Muharam, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hari gugurnya keturunan nabi ini dikenal sebagai hari Asyuro. Pada hari ini umat Islam yang mencintai keluarga nabi di seluruh penjuru dunia berduka. Memperingati hari duka cita dengan beragam kegiatan.
Ungkapan duka yang diekspresikan dengan media drama atau pementasan dilangsungkan. Riwayat kehidupan Imam yang dikenal dengan maqtal dibacakan. Doa-doa ziarah dihantarkan. Pada hari Asyuro umat Islam meratapi gugurnya Imam Husein dan pada saat yang sama mengutuk kebengisan yang dengan terang benderang dilakukan oleh penguasa ketika itu, Yazid dan rezimnya.