"Itu tidak benar, Bapak-bapak"
"Kami sepakat menyudahi tugas Ustad di masjid kami", pungkas pak ketua DKM.
Kejadian malam itu bak tamparan keras di pelipis Cak Nasrul. Berita-berita yang belum tentu kebenarannya acap dikeluarkan oleh pihak yang tidak sepaham dengan pihak yang lain. Meski terpukul Cak Nasrul menyadari hal ini sepenuhnya. Ia mafhum, kebiasaannya menghadiri taklim dari Kyai Rahmat, yang berpandangan liberal dalam beragama, telah disalah pahami. Â
Sejak saat itu, Cak Nasrul mengemas koper. Ia bergegas menuju kota Bandung. Di sini ia menemui Hendar, karibnya semasa mondok sebagai santri. Hendar pula yang mempertemukannya dengan Kyai Fauzi, ulama terpandang yang memiliki lembaga pendidikan. Di salah satu sekolahnya, Cak Nasrul berkhidmat hingga kini.
**
Cak Nasrullah adalah sosok yang serba bisa. Di luar hal mengajar dan mengaji, ia piawai meracik makanan. Keterampilan mengolah makanan ia dapat secara otodidak. Hidup sederhana dan mandiri semasa mondok di pesantren telah mengasah kemampuannya dalam hal memasak. Prinsip yang ia pegang sebagai santri hingga kini, mengolah apa yang ada agar dapat dimakan.
Prinsip itu menjadikan para santri sebagai sosok yang kreatif. Dalam memenuhi kebutuhan makanan mereka tidak rewel. Hanya berbekal beras yang diberikan orang tua, mereka telah merasa cukup. Sebagai lauknya, mereka berusaha sendiri untuk mendapatkannya. Cara pintas yang popular di kalangan santri adalah berkhidmat pada kyai. Dengan cara ini mereka tak kesulitan mendapatkan jatah makan.
Mie tektek racikan Cak Nasrul tercipta setelah melewati jalan panjang ini. Tak heran bila cita rasa mie itu digemari banyak orang. Kios yang ia buka tak pernah sepi. Pembeli senantiasa datang. Terlebih saat akhir pekan atau di tanggal muda setelah gajian. Kiosnya ramai, seolah tak ada ruang bahkan untuk bernapas.
Para guru di sekolah kami pun tak lepas dari demam akan mie tek-tek ini. Dalam banyak kesempatan mie tek-tek Cak Nasrul kami borong. Ia kami undang untuk membuka lapak di satu sudut ruang makan yang hangat. Kepadanya kami lekatkan nama "Mie Delicioso". Sebutan yang kami berikan sebagai sebentuk terima kasih pada pengalaman kuliner yang istimewa.
Waktu berjalan, melesat cepat seperti anak panah. Tiga tahun sudah Cak Nasrul berkhidmat sebagai guru. Namun ia masih belum memiliki cara ampuh untuk mendekati Bu Hasya. Kepiawaiannya berbicara saat menyampaikan ajaran agama. Saat berdiri di podium, tak banyak membantu. Di hadapan ibu guru muda itu, Cak Nasrul lebih banyak tertunduk. Tak banyak bergerak, seakan-akan ada burung merpati bertengger di kepalanya. Hatinya yang selalu bergolak kala nama itu disebut, Hasya.
Â
 Â
Â
Â