Keriangan memancar dari ruang makan yang letaknya bersebelahan dengan ruang guru itu. Gelak tawa terdengar hampir sepanjang waktu. Guru yang keluar-masuk ruangan menambah meriah suasana. Mereka yang baru masuk menjadi bulan-bulanan guru yang lain. Mereka, siap atau tidak, mesti rela jadi objek penderita, jadi bahan candaan.
Siang itu seorang rekan berulang tahun. Ia memesan mie tektek "Cak Nasrul" untuk meredam rekan-rekan yang minta ditraktir makan. Cak Nasrul adalah merek dagang mie buatan Pak Nasrullah, guru agama di sekolah kami.
Berdagang mie dijalaninya saban sore. Di teras bilik kontrakannya ia membuka kios kecil. Dibantu Nurdin keponakannya, Pak Nasrullah menjalankan usaha sampingan. "Lumayan, buat nambah-nambah ongkos naik haji", begitu tekadnya. Ia memang guru yang lurus. Berbudi luhur dan sangat religius.
**
Datang seorang diri dari tanah Madura, Cak Nasrul memulai pengembaraannya di tatar Pasundan. Berbekal pengetahuan yang didapat di Pesantren ia melamar menjadi marbot pada sebuah masjid. Gayung bersambut, sebuah masjid cukup megah di komplek perumahan yang mentereng menerima lamarannya. Ia pun bekerja sebagai penjaga mesjid.
Kegiatan harian dijalani Cak Nasrul di tempat ini. Bangun menjelang waktu subuh dan mengumandangkan adzan pada setiap waktu shalat. Saat pagi menjelang, ia melakukan bersih-bersih, menyapu dan mengepel lantai masjid yang lega. Selepas shalat ashar, ia mengajar mengaji anak-anak. Murid-muridnya banyak pula yang datang dari luar lingkungan sekitar masjid.
Cak Nasrul bekerja dengan giat. Pengurus masjid merasa puas dengan apa yang selama ini ia jalankan. Hingga suatu hari, keadaan itu berubah.
"Coba terangkan kepada kami, asal mula Ustad" tanya Haji Asikin, ketua DKM.
"Seperti yang telah saya utarakan berkali-kali. Saya berasal dari sebuah Pondok di Madura".
"Bohong!" sela H. Sholehuddin.
"Ustad lama mondok di Yayasan Bahtera yang beraliran sesat!"