Siang yang cukup terik. Sinar mentari menembus atap yang sebagiannya tembus pandang di ruang makan sekolah kami. Panasnya merambat pada kursi dan meja panjang serta lemari piring di sudut ruangan. Setiap yang datang mencari tempat yang sedikit terlindung. Mencoba menghindari panasnya sengat sang mentari.
Di samping pintu masuk ruangan terlihat kesibukan kecil. Seorang lelaki tak henti mengayunkan spatula di tangannya. Membolak-balik mie dan rajahan kol di atas wajan bergagang. Menaburkan racikan bumbu, potongan tomat, baso, dan irisan daging ayam. Sesekali pengaduk di tangannya ia pukulkan ke tepi wajan. Teng..teng..suara nyaring tercipta.
Seakan tak hirau pada panasnya udara. Tak mengindahkan keringat yang membasahi kaosnya. Wajahnya pun mengkilap disapu keringat. Lelaki ini, Cak Nasrul namanya, tak henti meracik mie di atas wajan.
"Cak, mana pesananku?" tanya Bu Hasya, guru muda yang berkulit putih.
"Sebentar bu, ini lagi digoreng"
"Gimana sih, udah sejam belum jadi-jadi!"
Cak Nasrul hanya tersenyum kecil. Mendapat omelan pelanggan yang notabene adalah rekannya sesama guru sudah biasa. Baginya, omelan lebih penting ketimbang pujian. Apalagi bila, omelan itu, disampaikan ibu guru berkulit bak batu pualam itu. Bu Hasya memang guru yang sempurna baginya.
"Teng...teng...teng, selesai" kata Cak Nasrul.
Serentak para guru yang duduk berjejer bangkit. Pak Aswin merangsek mendekati wajan yang baru diangkat. Ia menyiduk mie dengan centong nasi beberapa kali. "Jangan banyak-banyak, Bang" sela Pak Yoga. "Peduli amat, mumpung gratis kawan!" jawabnya dengan cuek.
Pak Yoga tak membuang kesempatan kedua yang diraihnya. Ia memenuhi piringnya dengan bersemangat. Berkaca dari pendahulunya, ia memasang roman tak perduli. Tak memberi kesempatan lebih pada rekan yang mendapat giliran berikutnya. "Kasihani temanmu, Kawan!" kata suara dari belakang. "Bodo amat, tinggal minta Cak Nasrul goreng lagi!" jawabnya. Â