Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cara Sekolah Kami Menanamkan Rasa Empati

8 Juni 2023   14:07 Diperbarui: 8 Juni 2023   14:14 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah warga Dusun Sukamanah (dok. Smuth official)

Andai aku menjadi seorang dokter aku akan menolong orang dengan ilmu yang kumiliki. Mengobati orang sakit agar segera sembuh. Membantu memberi pertolongan dengan pikiran, tenaga, bahkan harta yang kumiliki.

Andai aku menjadi seorang pengusaha kaya, aku akan membangun banyak pabrik untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat luas. Menciptakan kesempatan kerja agar para pengangguran dapat segera memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Andai aku menjadi kepala daerah aku akan membangun daerah yang kupimpin dengan amanah, dengan sebaik-baiknya. Membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan warga. Menciptakan tingkat kemakmuran dengan menyediakan iklim bekerja dan berusaha yang baik. Membantu, menyantuni warga yang berkekurangan.

Masih banyak pengandaian yang lain. Pemisalan yang sekiranya hal itu menimpa kita, kita akan melakukannya dengan segenap kemampuan yang ada. Pernahkah pengandaian itu kita tujukan pada satu dunia yang di luar keinginan? Menjadi orang miskin misalnya. Menjadi kaum terpinggirkan yang bahkan selalu merasa berat menatap hari esok? Kaum yang tak memiliki kepastian tuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari?

Kami, SMA Plus Muthahhari Bandung, mencoba membawa para murid menjalani "dunia" yang lain. Satu dunia yang jauh dari ingar bingar kehidupan kota. Kehidupan di satu desa yang terletak di punggung perbukitan. Kami ingin membawa mereka menjalani peran yang sama sekali berbeda. Kami mencoba menggiring mereka menjalani hari-hari pada satu pengandaian yang jauh "di luar keinginan 'itu.


Tujuan besar kami ingin menumbuhkan jiwa empati pada diri para murid. Melatih mereka berbagi rasa. Turut merasakan kebahagaian yang dialami orang lain, juga kesedihan. Merasakan rasa lelah saat bekerja, kecemasan saat menunggu hasil pekerjaan itu. Kami ingin para murid mencoba menjalani kehidupan orang lain, keseharian warga desa.

Untuk maksud itu kami melangsungkan kegiatan Spiritual Work Camp (SWC).  Kegiatan kamping yang menggabungkan pendekatan religi dan perkhidmatan dalam wujud bekerja. Meski mengusung nama kamping, kami tidak menempati tenda untuk bermalam. Sebagai gantinya, kami tinggal "menumpang" di rumah-rumah warga desa.

Disambut Warga

Menuju tempat kegiatan berlangsung di Dusun Sukamaju RW 12, Desa Sukawangi, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, , kami disuguhi pemandangan yang indah. Jalan mendaki kami lalui begitu mobil memasuki sabuah gapura di persimpangan. Jalan tak lebar dengan permukaan yang rata selanjutnya kami susuri.

Banyak kelokan sepanjang jalan yang terbilang mulus itu. Pak Sopir membawa kendaraannya dengan hati-hati, khawatir bertemu kendaraan lain di sana. Karenanya ia rajin membunyikan klakson sebagai penanda kehadiran mobilnya. Berkebalikan dengan keadaan "mencemaskan" itu, kami lihat persawahan dengan tanaman padi yang menguning . Sawah yang berderet seperti hamparan permadani.

Tak lama kami sampai di tujuan. Kami tiba di "serambi" kampung. Sejenak kami singgah di rumah warga yang dituakan, rumah Pak RW. Kami diterima dengan hangat. Beberapa warga yang kami titipi murid turut hadir. Kami berbincang dan beramah-tamah. Hidangan jagung rebus dan kacang tanah disuguhkan beserta kopi hangat yang begitu legit.

Berpose bersama
Berpose bersama "orang tua angkat" (dok. Smuth official)

Dalam kesempatan itu kami memperkenalkan para murid yang akan ikut menginap di rumah-rumah warga. Kami pertemukan sejumlah tiga puluh murid dengan bakal orang tua angkat mereka. Mereka saling memperkenalkan diri. Sebagian warga tidak begitu lancar berbicara dalam Bahasa Indonesia, namun hal ini tidak menjadi hambatan. Murid-murid kami tampaknya dapat memahami komunikasi diantara mereka walau diselipi kata-kata Bahasa Sunda.

Setelah pertemuan itu, para murid pergi menuju tempatnya masing-masing. Mereka berjalan bersama para orang tua angkat. Dengan menjinjing tas besar atau ransel mereka mengikuti langkah ibu atau bapak. Letak rumah yang dituju berpencar-pencar. Beberapa rumah terletak tak jauh dari rumah Pak RW, sebagian besar yang lain sedikit jauh. Ada di antara rumah itu yang berdiri di tengah sawah. Menuju ke sana harus melewati pematang sawah yang cukup panjang.

Sebagai orang baru yang datang bertandang tak pelak kehadiran kami mengundang perhatian. Warga yang kami temui menyapa ramah dengan raut muka mengandung tanya. Siapa gerangan kami yang berbondong-bondong memasuki lingkungan tempat tinggal mereka. Para orang tua angkat memahami hal ini, mereka tak bosan-bosan memperkenalkan kami.

Di tempat tinggal baru, kami disambut embik suara kambing dan domba. Beberapa rumah memelihara hewan peliharaan ini. Mereka menjadikannya sebagai asset kekayaan yang sewaktu-waktu dijual bila harganya bagus. Atau dielus-elus sebagai jagoan dan diikutkan dalam kontes adu domba atau domba hias yang didakan secara berkala.

Ada pula yang disambut dengan lenguhan suara sapi. Kampung Sukamaju juga dikenal sebagai penghasil susu sapi bermutu tinggi. Banyak warga yang memelihara sapi perah di belakang rumah mereka. Dari yang memelihara satu atau dua ekor sampai belasan. Aroma pakan serta limbah kotoran ternak seketika telah akrab dengan indra penciuman kami.

Turun ke Sawah

Udara pagi yang bersih terasa dingin bagi kami. Kami betah berlama-lama berdiam diri dekat dapur. Di sana terdapat tungku kayu bakar yang hangat. Bapak dan ibu berkali-kali melarang para murid mendekati tempat memasak itu, namun kami berkeras untuk turun ke dapur. Mempersiapkan makanan untuk sarapan semua anggota keluarga. Berada di dapur sejenak mengusir hawa dingin yang memeluk tubuh.

Usai sarapan bapak dan ibu pergi ke ladang, sawah atau kebun. Mengenakan sepatu boot, topi caping, dan baju berlapis sebagai pelindung terpaan angin dan sinar matahari . Ada yang berjalan kaki memanggul cangkul serta perabot berkebun yang lain. Ada pula yang mengendarai sepeda motor menuju tanah garapan. Banyak warga yang memiliki tempat mencari nafkah itu di kampung atau desa tetangga.

Menuju ladang (dok. Smuth official)
Menuju ladang (dok. Smuth official)


Dua murid kami, Reza dan Rido, berjalan mengikuti langkah Pak Ade, orang tua angkat mereka. Bertiga menuju kebun di ujung desa. Mereka berencana menyiangi ladang yang ditanami jagung. Tiba di tempat, keduanya langsung mengayunkan arit serta golok. Mereka membabat "semak-semak" pengganggu. Sebelum berlanjut, Pak Ade berkata, "Kalian berdua cukup membabat rumput. Tanaman yang merambat itu pohon kacang panjang, bukan semak belukar." Keduanya bertatapan dan tersenyum. Mereka memohon maaf karena ketidak tahuan mereka akan jenis tanaman yang ada di kebun milik Pak Ade.

Lain lagi pengalaman Maulana Ali. Pada hari ke dua kegiatan ia bermandi (maaf) kotoran ternak. Saat itu ia berniat menjalankan arahan Pak Wahdi, orang tua angkatnya. Sebelum pergi mencari rumput, bapak menugasinya untuk membersihkan kandang domba. Kandang itu mesti sering dibersihkan agar ternak mereka terhindar dari penyakit mulut dan kuku, penyakit yang sangat ditakuti oleh para peternak.

Maulana bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia menggerakan pacul bergagang panjang menyisir seluruh sisi kandang. Ia mengumpulkannya di belakang kandang. Menyatukannya dengan gunungan kotoran yang telah ada. Usai urusan kandang, ia beralih membersihkan kotoran berupa sampah dan rumput kering di kolong rumah Pak Wahdi. Di tengah keasyikannya bekerja, bapak datang dengan memikul rumput yang masih segar.

Menanam ubi (dok. Smuth official)
Menanam ubi (dok. Smuth official)

"Sudah cukup, Nak Maul. Biar bapak dan Ujang yang membersihkan kolong rumah!"

"Enggak apa-apa, Pak. Nanggung, mumpung badan penuh kotoran, hehehe."

Menghibur Warga

Kegiatan berkhidmat, membantu meringankan pekerjaan orang tua angkat dijalani setiap hari. Diawali saat matahari baru menyingsing di pagi hari. Berakhir tepat di tengah hari, saat sang surya berada tepat di atas ubun-ubun. Pemilihan waktu bekerja ini jamak dijalani warga desa secara turun temurun.

Saat adzan dzuhur berkumandang dari pengeras suara masjid, mereka menyudahi pekerjaannya. Warga desa menepi dari kebun, ladang, dan sawah. Mereka membuka bekal makan siang yang dipersiapkan dari rumah. Makan siang bersama di atas saung atau di bawah pohon yang rindang. Usai bersantap, mereka kembali ke rumah.

Jam kerja setengah hari terasa tak biasa bagi kita yang biasa bekerja penuh sampai sore. Namun warga merasa ritme kerja mereka memang demikian. Mereka telah menemukan kenyamanan dan keseimbangan. Setengah hari yang tersisa, mereka isi di tempat tinggal, bersama warga yang lain. Mereka jalani dengan kegiatan olah raga atau kegiatan usaha yang lain semisal membuka warung makanan kecil.

Keriangan sore hari (dok. Smuth official)
Keriangan sore hari (dok. Smuth official)

Para murid kami memanfaatkan waktu luang ini dengan mengadakan beragam lomba untuk anak-anak. Maka berkumpulah mereka di lapangan voli. Mereka membentangkan tali, menyusun lintasan lomba, serta menyediakan sarana lomba yang lain. Tak lama berselang berduyun-duyun warga desa dating ke tempat lomba. Mereka menuntun anak-anak dengan wajah gembira. Derai tawa serta suara percakapan seketika pecah, terdengar meriah di sekeliling arena.

Pada lomba balap kerupuk, telah bersiap Btari dan Syifa. Mereka kebagian tugas sebagai fasilitator lomba. Keduanya mengarahkan empat anak yang menjadi peserta. Agung yang berbadan gemuk kalah lincah dari Aang di sebelahnya. Ia kesulitan menyambar kerupuk yang menggantung pada bentangan tali. Setiap mulutnya mendekati kerupuk, Syifa mengayun tali sehingga kerupuk tak kunjung ia gigit. Dua peserta yang lain, Iim dan Dian mengalami kesulitan yang sama. Lomba dimenangi oleh Aang.  

Lomba yang lebih meriah berlangsung di arena estafet sarung. Lomba ini diikuti kelompok usia remaja, dan digawangi oleh Nayla dan Sylvia. Empat regu peserta telah bersiap, menunggu aba-aba dari panitia. Engkus kebagian peran sebagai starter. Ia memasukan kain sarung melewati badan jangkungnya dan berhasil. Rekannya, Yadi menyambung dengan gerakan tak kalah cepat. Namun ia sedikit kesulitan karena ke dua tangannya tak boleh terlepas dari genggaman dua rekannya. Keringat bercucuran, ia pun berhasil menyeberangkan kain sarung melewati tubuhnya. Namun sebelum ia menyarungi rekannya yang lain, Agus, tiba-tiba terdengar sorakan meriah dan lengkingan peluit. Rupanya, regu yang lain telah lebih dulu berhasil menyelesaikan lomba.

Yang tak kalah seru adalah lomba berburu harta karun. Harta yang diburu berupa koin-koin uang yang ditimbun tepung terigu. Peserta diharuskan mengumpulkan koin sebanyak mungkin, adapun "alat" yang mesti mereka pergunakan adalah mulut. Mereka mesti memungut koin dengan mulut, tidak boleh sama sekali menggunakan tangan.

Maka pecahlah tawa warga desa menyaksikan anak-anak mereka beraksi. Wajah kanak-kanak yang polos dipenuhi tepung. Wajah-wajah mereka seperti tak lagi dikenali. Hanya tersisa bulatan dua bola mata dan mulut penuh tepung dari wajah itu.

Setelah berlangsung tiga hari, kegiatan kami berakhir. Kami pun berpamitan kepada para orang tua angkat. Rasa haru mengiringi perpisahan kami. Para orang tua angkat pun mengalami hal yang sama. Mereka berusaha menutupi kesedihan. Membendung linangan air yang menyelinap pada indra penglihatan mereka.

Kegiatan ini membawa kesan yang dalam bagi kami. Menjadi sosok yang berbeda memang tidak mudah. Hal ini mengajari kami untuk senantiasa menumbuhkan empati pada diri kami. Menghargai orang lain dengan kerendahan hati.
     

 
 
 

 
 

 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun