Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menyapa Alam dengan Berkemah

31 Mei 2023   10:32 Diperbarui: 31 Mei 2023   10:56 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menerima materi pelajaran (dokpri)

Sumedang tempat nan cantik. Berpuluh gunung, besar dan kecil mengepungnya. Gunung-gunung yang kokoh berdiri, mewarnai alam dengan keindahan, kesejukan, dan kesuburan. Tanah Sumedang yang subur menumbuhkan ragam pohon komoditas pertanian. Alam demikian murah hati di sini.

Kami bertandang ke Sumedang. Mencoba menyapa alam yang ramah itu. Dalam balutan kegiatan sekolah bertajuk Scouts Adventure Camp, saya beserta empat rekan guru menemani para siswa. Kami bermalam di tenda, mengecap suasana desa yang berada di ketinggian.

Mobil sewaan yang kami tumpangi melaju di jalan desa yang rata dan tidak cukup lebar. Kami susuri kelokan demi kelokan yang boleh disebut tajam. Raungan klakson acap terdengar dari kejauhan. Pertanda datangnya kendaraan dari arah depan. Saat berpapasan kendaraan saling menepi, saling memberi kelapangan dan kesempatan untuk melaju.

Di sisi kanan jalan, kami lihat dapuran pohon bambu. Atau bukit-bukit yang tampak menghijau. Sementara di sisi kiri kami menyaksikan lukisan alam yang menakjubkan. Lembah yang permai membentang sepanjang jalan. Di dasar lembah menghampar sawah dengan pohon padi berkelir kuning. Lanskap tanah yang tidak rata menjadikan deretan sawah membentuk tangga yang bertingkat. Hamparan yang menguning terpotong garis keperakan. Itulah liukan sungai yang mengalirkan airnya di setiap jengkal sawah.  

Belum usai pemandangan alam yang sambung menyambung menyodorkan keindahan kami nikmati, kami telah sampai di tujuan. Desa Genteng, Kecamatan Tanjungsari, Kota Sumedang demikian nama lokasi yang kami datangi. Di sini kami mengisi hari selama tiga hari ke depan. Kami hendak berkemah dalam satu kegiatan Pramuka.

Mendirikan Tenda

Tiit, tiit, tiiiiiit. Peluit menjerit panjang ditiup Kak Mulyadi. Pertanda yang ia kirim agar setiap peserta menuju tanah lapang. Kami berlarian menuju titik kumpul, mengelilingi bendera Pramuka, Kitri, yang berkibar-kibar ditiup angin.

"Salam Pramuka. Adik-adik diberi waktu 10 menit untuk mendirikan tenda!"

Berhamburan peserta meninggalkan kumpulan, menuju tepi-tepi lapangan. Mereka berkelompok, masing-masing tiga orang, untuk mendirikan tenda. Menyiapkan ruang yang akan mereka tempati. Melindungi diri dari terpaan angin, panas, dan air saat hujan turun.

"Gua bingung, gimana merangkainya!" kata Bassel.

"Lo pikir, gua kagak?" jawab Athaya.

Terdengar mereka tertawa riang. Kemeriahan tercipta dari setiap sisi lapang. Setiap kelompok dihinggapi rasa ragu. Mereka tak percaya diri saat merangkai batang-batang plastik bakal penopang tenda. Meski membangun tenda bukan pengalaman pertama, mereka dihinggapi perasaan gugup kala bekerja dalam tekanan. Mendirikan tenda dengan bayang-bayang peluit dari Kakak Pembina dan ancaman sanksi bila tak sesuai dengan ketentuan.

Dokpri
Dokpri

"Kak... batang plastiknya tak lengkap!" teriakan yang terdengar dari peserta putri.

"Patok gua hilang, lu yang ngambil ya?" terdengar teriakan dari sisi lapangan yang lain.

Meski dipenuhi interupsi, acara perdana kegiatan kemah berjalan sesuai dengan rencana. Delapan buah tenda telah berdiri. Berwarna seragam, orange dan biru. Masing-masing kelompok membanggakan diri sebagai yang tercepat, terbaik, terapi dalam membangun tempat berteduh.

Tiiit, tiit, tiiiit,.... Kembali peluit panjang menjerit. Para peserta behamburan, keluar dari tenda masing-masing. Mereka bergegas menuju arah datangnya suara, di dekat bendera Kitri yang berwarna coklat-kuning.

"Salam Pramuka! Adik-adik, kakak saksikan telah berhasil mendirikan tenda dengan baik. Namun itu belum selesai. Kalian dipersilakan mengemasi bawaan dari tenda, dan memindahkan tenda ke sisi sebelah utara, dekat sawah!"

"Huuuh, penonton kecewa!" kata Elvira.

Pernyataannya diamini oleh seluruh peserta. Mereka merasa tak dihargai. Pekerjaan yang dijalani dengan sepenuh jiwa mesti hancur dalam sekejap. Mereka belum memahami makna perintah, aba-aba terakhir dari kakak Pembina. Satu hal yang sengaja dilakukan para Pembina.

"Tiit,tiit, tiiiiit. Adik-adik diminta secepatnya berpindah. Dalam hitungan sepuluh semua harus sudah selesai!"

Seperti disapu angin Tornado, sisi barat lapangan, termpat semula tenda-tenda didirikan telah kosong. Rata dengan tanah. Semua penghuni tak bersisa. Kini para penghuni telah berpindah ke wilayah yang lain. Ke sisi yang berbeda dari lapangan yang sama.

"Adik-adik, terima kasih. Kalian telah melakukan evakuasi dengan baik. Hal yang baru saja kalian lakukan adalah simulasi bencana alam berupa gempa bumi. Kalian diarahkan berpindah ke lokasi yang aman. Sekali lagi, kalian telah melakukan pekerjaan dengan baik!"

Baris Berbaris

Seorang anggota Pramuka adalah kesatria dan patriot yang tegap. Begitu antara lain pesan yang tersirat dalam Dasa Darma Pramuka. Untuk mewujudkan jiwa kesatria dan patriot itu setiap anggota dilatih keterampilan baris berbaris.

Sore itu, setiap kelompok berbaris di tanah lapang. Semuanya tekun mengikuti latihan baris-berbaris yang dipimpin Kak Iis. Mereka serempak menjalankan setiap aba-aba yang diberikan kakak Pembina.

"Hadap kanan, hadap kiri, serong kanan, maju jalan!"

Setiap kelompok yang berjumlah tiga orang itu bergabung membentuk dua kelompok besar, kelompok putra dan kelompok putri. Kelompok putra dikomandani oleh Athaya dan Kelompok putri oleh Elvira. Kedua kelompok ingin tampil sebagai kelompok juara. Kelompok yang tampil kompak, rapi dan paling sedikit melakukan kesalahan.

Menjalankan aba-aba dari Kak Iis, kedua kelompok tampil sama bagusnya. Terhadap aba-aba jamak yang diberikan, Athaya mampu memimpin rekan-rekannya dengan tenang dan mulus. Begitu pula dengan kelompok putri, dengan komandannya Elvira. Skor 1 -- 1.

Pada kesempatan ke dua, instruktur memberi aba-aba, "hadap kanan, hadap kiri, balik kanan, balik kiri, maju jalan!"

Ke dua regu menjalankan aba-aba dengan serempak. Bersama-sama membentuk formasi barisan sesuai instruksi. Kelompok putri mulus melalui tahap ini dengan kompak. Namun tidak begitu dengan para putra. Mereka kurang konsentrasi, membaca jebakan dalam aba-aba itu. Mereka terkecoh dengan aba-aba "balik kiri". Dalam aturan baris-berbaris tidak dikenal aba-aba tersebut. Skor berubah 2 -- 1 untuk keunggulan tim putri.

Kesempatan ke tiga jadi penentuan. Kak iis menginstruksikan ke dua tim untuk menutup mata dengan kain penutup. Mereka memainkan peran "blind parade", berbaris dalam kegelapan. Kesesuaian gerak barisan menjadi inti penilaian. Kekompakan setiap anggota dalam menjalankan gerakan aba-aba sangat ditekankan.

Athaya menginstruksikan agar jalan di tempat. Namun Andy, yang berdiri di baris terdepan, mengayunkan kakinya ke depan. Ia melangkah dengan tegap. Gelak tawa seketika pecah dari para instruktur yang menyaksikan adegan "lucu" tersebut. Kelompok putri menambah keunggulan menjadi 3 -- 1.

Lomba Memasak

Gerakan Pramuka menekankan sikap mandiri. Anggota Pramuka dituntut untuk dapat melayani diri sendiri. Setelah itu membantu melayani orang lain. Sikap mandiri terwujud dalam kegiatan memasak. Menyediakan persediaan makanan bagi anggota kelompok masing-masing.

Selepas menjalankan shalat Maghrib, Hasan telah siap di arena lomba memasak. Begitu pula dengan Hanna dan Nargis di kelompok putri. Ikut berlomba pula Rico. Lomba memasak diadakan menjelang waktu makan. Setiap kelompok menunjuk anggotanya, bergantian menjadi wakil mereka jadi juru masak. Diharapkan dengan lomba ini, mereka menyajikan makanan yang memenuhi unsur kecukupan gizi. Keseimbangan antara sayur dan lauk lainnya. Serta tingkat kematangan sajian. Para instruktur ingin memastikan setiap peserta kemah mendapat ransum makanan yang tak sekadar "asal matang".

menerima materi pelajaran (dokpri)
menerima materi pelajaran (dokpri)

Mereka bersiap mengolah menu tumis kangkung, dadar telor, dan goreng tempe. Waktu yang disediakan selama tiga puluh menit. Masing-masing peserta mengambil ancang-ancang, dan go.. Lomba dimulai.  

Hasan terlihat tenang. Ia seperti telah terbiasa dengan menu empat sehat lima sempurna minus susu itu. Ia meracik bumbu di atas talenan darurat berupa piring yang di balik. Ia mengiris bawang merah, bawang putih, tomat, dan seruas jari jahe. Potongan kangkung ia sisishkan dalam piring yang lain. Dan sreng...sreng.., ia menumpahkan potongan bumbu ke dalam wajan kecil. Semerbak harum memenuhi pelataran tenda besar para Pembina, tempat lomba dilangsungkan.

Di samping Hasan, terlihat Andy memotong-motong tempe dengan sendok. Ia mengaku kelompoknya lupa membawa pisau. Sementara untuk meminjam, peranti itu sedang dipakai oleh kelompok-kelompok lain. Jadilah ia memotong tempe ala manusia purba, yang menjadikan serpihan tulang sebagai alat pemotong.  

Dua perwakilan kelompok putri, Hanna dan Nargis kompak memasak olahan telur terlebih dahulu. Tanpa kesulitan Hanna memecahkan kulit telur dan menuangkannya dalam mangkuk kecil. Irisan bawang, garam, dan penyedap rasa ia tabur dalam mangkuk itu.  Segera ia menuang racikan telur ke atas wajan di atas kompor. Ia tersenyum, masakan siap untuk disajikan. Namun alamak, dadar telur buatannya kelewat matang. Satu sisi permukaannya berwarna hitam. Ia meletakkan sisi hitam itu di bagian bawah piring. Sekadar menyamarkan kelalaian kecil yang ia lakukan.

Tibalah waktu bersantap. Setelah melewati tahap penilaian, semua sajian dinikmati bersama. Hasan terlihat sumringah. Masakan buatannya dinikmati rekan satu kelompok dengan lahap. Basel yang berselera makan di atas rata-rata, makan dengan kekuatan penuh. Ia mengeduk tumis kangkung, tempe goring, dan dadar telur sampai tandas. Namun sebelum maksudnya terlaksana, Alif keburu mencegah, "Itu jatah gue. Woi!"

Suasana makan berlangsung tertib. Setiap kelompok mengawalinya dengan berdoa bersama. Tak sepatah kata keluar dari mulut mereka. Semua menikmati suasana. Menikmati makanan yang disajikan, betapa pun sederhana makanan itu. Mereka meresapi arti bersyukur pada Tuhan YME. Sungguh anugerah yang tak terkira dianugerahi badan yang sehat, raga yang kuat, sehingga dapat merasakan nikmatnya suap demi suap makanan yang tersaji.

menikmati sajian (dokpri)
menikmati sajian (dokpri)

Demikian ceritaku kawan, menemani para siswa berkemah. Sekolah kami, SMA Plus Muthahhari Bandung, memberi kepercayaan pada kami untuk terlibat dalam kegiatan Pramuka ini. Menyenangkan mengikuti kegiatan ini. Seperti mengulang kembali masa kecil. Saat usia sekolah hamper semua dari kita pernah menjadi anggota Pramuka. Pernah menjalani kegiatan kemah serta mengonsumsi makanan seadanya.

Nilai-nilai yang ingin diraih dalam kegiatan ini diantaranya menumbuhkan semangat bekerja sama antar siswa. Selain itu melatih jiwa mandiri dan memantik jiwa kreatif. Berada di satu tempat yang sama sekali berbeda dengan keseharian mereka tentu menimbulkan sensasi yang berbeda. Dalam keadaan yang serba terbatas, nilai-nilai luhur itu muncul.

Rasa persaudaraan mereka mengemuka. Empati perlahan terbangun dan keriangan serta kegembiraan mereka seakan mendapat saluran tambahan untuk diluapkan. Begitulah sejatinya setiap acara berkemah. Dalam keheningan suasana lingkungan. Dalam ruang tenda yang terbatas, menyeruak kehangatan dari hati masing-masing. Saling memahami dan menghormati antar teman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun