Saat itu, dunia dilanda pandemi. Virus ganas Corona, yang kemunculannya terbilang baru, menyerang dengan digdaya. Korban berjatuhan di tiap belahan dunia. Roda kehidupan tersendat. Banyak sektor dalam kehidupan mengalami goncangan. Lantas, tata kehidupan baru pun muncul. Satu upaya bertahan agar roda kehidupan terus bergelinding.
Dunia pendidikan jadi satu sektor yang terguncang. Praktik sistem pendidikan tatap muka yang telah berjalan sekian lama seketika terhenti. Sekolah-sekolah menutup pintu rapat-rapat dari kehadiran siswa, guru, dan siapa pun. Begitu pula dengan kampus dan kantor. Segala bentuk kegiatan pertemuan ditiadakan. Upaya agar virus tidak berkembang, bersimaharaja, menyerang korban tanpa belas kasihan.
Kegiatan pembelajaran dipindahkan ke rumah. Perangkat teknologi internet, yang kemunculannya jadi penanda era dunia yang baru serta merta jadi tumpuan. Menjadi jembatan yang menghubungkan jutaan siswa dengan guru-guru mereka. Mashasiswa dengan dosen. Â Dan para pekerja dengan lingkungan tempat mereka bekerja.
**
Aku mengusap lembut rambut Tiara. Di hadapannya menyala laptop tua, perangkat yang kuberi sejak ia  duduk di bangku SMA. Nyala layarnya tak lagi seterang dulu. Nyala yang begitu tergantung pada sumber listrik, tidak lagi pada baterai yang melekat di punggungnya.
"Bagaimana skripsimu, Neng?"
"Lagi persiapan sidang proposal, Pah. Bu Erna pembimbingku menyetujui tema yang kuajukan tempo hari. Ia mendorong agar Ara selekasnya mengajukan usulan untuk sidang proposal."
Aku menarik nafas lega. Gadis kecilku sepertinya tak mendapat kesulitan. Kegiatannya tampak baik-baik saja. Proposal skripsinya sudah disetujui dosen yang begitu lekat dengannya. Bukan sekali dua kali ia terlibat dalam pekerjaan bersama sang dosen.
Kedekatan itu bertambah dengan kehadiranku. Pada setiap awal semester, aku menghadap dosen baik hati itu guna mendapat rekomendasi keringanan biaya kuliah. Bu Erna adalah dosen wali bagi Ara.
Air mata selalu tak kuasa kutahan. Namun senantiasa kusembunyikan dari pandangan Ara. Aku tak tega melihatnya mondar-mandir pergi ke kampus, kantor kelurahan, dan kantor kecamatan. Mengurus segala persyaratan agar dihitung sebagai mahasiswa penerima keringanan biaya UKT, Uang Kuliah Tunggal di kampusnya. "Semestinya kau tidak melakukannya, anakku. Andai saja aku tergolong orang tua yang berkecukupan", batinku.