Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Dear Kampung Halaman

30 April 2023   12:06 Diperbarui: 30 April 2023   12:13 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear kampungku,

Satu ruas jalan layang yang melintas di atas rel kereta cukup membuatku kagum. Betapa pesat perkembangan yang terjadi padamu, kampungku. Teringat aku pada satu masa, di pinggiran rel itu aku bermain air. Pada parit kecil berair jernih.

Saat si ular besi melintas, aku dan beberapa teman  berlarian. Tak ingin kalah cepat menepi menghindari terpaan angin kereta. Saat kereta menjauh kami mendekati rel kembali, mencari butiran paku yang tadi dilekatkan agar tergilas roda besi kereta.

Pada tanahmu di sisi yang lain kampungku, aku melihat hal yang lebih bebat lagi. Di sana membentang rel kereta yang prestisius. Rangkaian rel berkonstruksi beton yang melayang puluhan meter di atas tanah. Memandangnya membuat kagumku padamu bertambah lekat.

Itulah rel Kereta Cepat Bandung-Jakarta. Kelak, rangkaian gerbong kereta yang melintas di atasnya melesat bak peluru. Melaju cepat menembus angin dengan suara bergemuruh. Jarak dan waktu dapat dipangkas. Bepergian dari Bandung menuju Jakarta atau sebaliknya, hanya menghabiskan waktu tak lebih dari satu jam.

Kemajuan adalah hal yang kau alami. Sebagaimana terjadi di mana pun, kemajuan itu pasti ada. Bila tak ikuti perkembangan zaman maka kita akan tergilas oleh roda kemajuan. Aku senang melihat sikapmu kampungku. Kau hadapi perkembangan zaman. Kau ikuti kemajuan yang dibawanya.

Izinkan aku berkisah kampungku. Sudilah kau dengar ceritaku ini. Aku adalah anak yang tumbuh dan berkembang di tanahmu. Dalam darahku terdapat udara yang kuhirup dalam kesejukan alam desamu. Bila aku memiliki kematangan dalam sikap, aku akui hal itu berkatmu jua. Karena seringnya aku berinteraksi denganmu.

Saat kendaraanku melintasi sebuah sekolahan seketika lajunya aku hentikan. Aku mencoba melangkah memasuki tempat yang mengenalkan aku pada apa yang dikenal dengan pendidikan. Di tempat ini untuk pertama kali aku mengenal huruf dan angka. Mengenal bacaan sebagai kunci yang akan membawaku mengarungi kehidupan.

Aku kenang para guru yang bijaksana. Kusampaikan doa sebagai ungkapan syukur dan terima kasih pada mereka. Tak dapat kusembunyikan kebanggaan dan syukurku. Masa-masa sekolah yang kuhatamkan di tanahmu ini kampungku, aku lalui dengan gilang gemilang. Lulus Sekolah Dasar sebagai lulusan terbaik, dengan perolehan nilai di atas rata-rata teman-teman.

Jangan marah pada kesombonganku berikut ini, kampungku. Di tanahmu jua aku masuki Sekolah Lanjutan Pertama terbaik. Aku mengukir prestasi dengan ciamik. Hal yang sama pada jenjang SMA. Aku melenggang memasuki sekolah dengan sebutan terbaik.

Dan pada akhirnya, waktu perpisahan itu datang. Keadaan membuat tembok tinggi yang memisahkan kita. Langkah yang ku pilih membuat tembok itu berdiri kian kokoh. Aku memilih melanjutkan sekolah di kota lain. Satu tempat yang jaraknya dua puluh lima kilo darimu. Bukan jarak yang cukup jauh memang, namun kurasa ia telah menjauhkan aku dari hangat suasana desamu.

Sejak itu aku semakin menjauh darimu. Maafkan aku atas hal ini. Semua ini kutempuh demi meraih derajat penghidupan yang lebih baik. Aku percaya engkau tak akan keberatan. Aku percaya engkau akan mendukung setiap langkah yang menuju pada hal-hal yang lebih baik.

Lebaran kali ini aku tumpahkan segala kerinduan padamu. Kususuri permukiman penduduk yang menghampar di tepi jalan. Tempat yang sama puluhan tahun lalu adalah pematang sawah tempat memandikan kerbau. Aku ikut kawanan penggembala seusiaku yang tinggal di seputar tempat tinggal aku dan orang tua.

Tak jauh dari tempat ini berdiri mesjid Nurul Falah yang megah. Tempat dimana aku belajar mengaji dan bermain. Kenakalan-kenakalan bocah mewarnai masa itu. Jadi bumbu yang mengundang senyum bila dikenang. Aku dan kawan-kawan berebut menabuh bedug. Padahal waktu shalat belum lagi datang. Warga sekitar memarahi kami yang tunggang langgang berlari melompati pagar.

Maafkan aku sekali lagi untuk cerita beraroma unjuk gigi ini. Tak bisa dinafikan hal ini terjadi saat kita mengenang kampung halaman. Romantisme masa kecil tak kenal kata usang untuk dikenang dan dikisahkan berulang kali.

Dear kampungku,

Aku tak pernah menyesal tinggal di tanahmu. Mengisi masa-masa dalam kehidupan ini di tempatmu. Malahan aku merasa bangga dan bersyukur menjalaninya. Menjadi bagian dari dinamika hidup yang berlangsung.

Aku bersyukur melihat perkembangan pesat yang sedari awal surat ini kusinggung. Aku tak akan pernah lupa mutiara-mutiara kehidupan yang kupetik di tempatmu. Untaian hikmah yang kujumpai dari orang-orang yang pernah kutemui. Dari keseharian yang kujalani. Suka duka yang menemani aku tumbuh.

Darimu aku menyadari dan akan senantiasa menyadari sepanjang usia. Bahwa hidup ini adalah karunia Tuhan yang begitu indah.

Terima kasih kampungku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun