Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Observasi Rumpun", Study Banding ala SMA Plus Muthahhari

19 Januari 2023   13:13 Diperbarui: 19 Januari 2023   13:15 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo dokumentasi pribadi

Adzan Maghrib belum lama berkumandang. Shalat berjamaah baru saja didirikan. Tak membuang-buang tempo, para santri Madrasatul Quran, Jombang membenamkan diri dalam kegiatan pesantren. Mereka duduk berbaris, di bawah sinar lampu yang terang. Busana bernuansa putih yang dikenakan seolah memancarkan cahaya keilmuan. Gairah mereka mempelajari Al Quran yang berkobar.

Para santri tingkat menengah ini mengikuti dengan penuh kesungguhan apa yang dilafalkan Ustadz pembimbing. Mereka melatih lisan dan melafalkan ujaran sesuai kaidah ilmu Tajwid. Mereka berlatih makhrajul huruf , tata cara melapalkan huruf, bersama-sama. Riuh suara yang tercipta menghiasi malam sehingga terasa lebih indah.

Para siswa SMA Plus Muthahhari melarutkan diri bersama mereka. Mencoba menjalani rutinitas yang, dalam tingkatan berbeda, mereka amalkan juga di sekolah. Mereka melebur, menjadi santri di tempat  berkunjung. Air muka cerah memancar, menyemburatkan rasa dan semangat yang sama. Mempelajari Al Quran adalah sebaik-baik amalan. Mereka seakan tak ingin tertinggal dalam meraih keutamaan itu.

Demikian gambaran kegiatan sekolah kami, SMA Plus Muthahhari, saat melaksanakan kegiatan "Observasi Rumpun". Selama empat hari kami melaksanakan pembelajaran di luar kelas. Kami memilih lokasi di wilayah Jawa Timur, tepatnya di Jombang, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Blitar dan berakhir di Madura.

Persinggahan pertama kami adalah Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Di tempat yang telah meluluskan ribuan santri ini kami beraudiensi dengan jajaran pengurus. Kental terasa suasana pesantren modern di sini. Para guru yang disebut ustadz mengenakan sarung dan kemeja tanpa kerah yang disebut kemeja koko. 

Begitu pula dengan para santri. Tergambar satu budaya memuliakan tamu, orang yang lebih tua, serta para ustadz di sini. Setiap santri yang kami temui senantiasa menundukan pandangan, dengan tubuh yang merendah sebgai pertanda sikap tawadhu atau rendah hati.

Di tempat ini pula kami berkesempatan menziarahi kompleks pemakaman Presiden ke 4, Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Bersanding dengan makam tokoh yang menyandang sebutan sebagai pejuang kemanusiaan ini terdapat pusara Pahlawan Nasional K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahid, K.H. Abdul Wahid Hasyim, K.H. Yusuf Hasyim, Gus Solah, dan beberapa yang lain.

photo: dokumentasi pribadi
photo: dokumentasi pribadi

Pada hari ke dua, kami menginjakan kaki di "Tanah para Carok" Madura. Dalam perjalanan, kami melintasi jembatan laut yang panjang. Bis yang kami tumpangi menggelinding di jalan Tol yang membentang di atas laut. Di atas jembatan Surabaya -- Madura atau Suramadu yang membanggakan itu. 

Saat itu perasaan kami dag, dig, dug. Senang bercampur cemas. Kami tak ingin karam di dasar selat antara pulau Jawa dan pulau Madura. Kami mendengar cerita hoax bila mur dan baut-baut pengikat jembatan itu telah dipreteli tangan-tangan jahil, dijarah, dan dilebur untuk dijadikan celurit. Namun, tentu saja kabar ini sekadar isapan jempol. Jembatan sepanjang 5.800 meter itu baik-baik saja sampai kini.

Tiba di tempat tujuan, kami menginap di rumah penduduk tak jauh dari makam Syechuna Muhammad Kholil. Kami berbagi tempat tidur di ruangan sederhana namun penuh kehangatan. Kami pun berbagi waktu, mengantri giliran untuk membersihkan diri di kamar kecil. Tentu hal-hal seperti ini memperkaya pengalaman kami.

photo: dokumen pribadi
photo: dokumen pribadi

Tersebutlah seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun. Seger namanya. Ia berasal dari satu pelosok desa di provinsi Jawa Timur. Suatu hari, ia bekerja membantu orang tuanya. Mengolah tanah di sawah mereka yang sempit. Seger giat bekerja. Membalik-balik tanah, mencabuti tanaman pengganggu.

Mata cangkul sang bocah tiba-tiba beradu dengan benda keras. Bukan, bukan batu atau bongkah tanah yang mengeras. Cangkul yang ia ayun menghantam sekeping logam berbalut lempung tanah yang tebal. Peristiwa ini segera tersebar. Para tetangga membincangkannya di halaman rumah, di gardu ronda, atau di warung-warung sayuran. Berita penemuan segera meluas ke seantero desa. Hingga akhirnya menjadi berita Nasional. Seger jadi buah bibir.

Akhir cerita penemuan di ladang garapan orang tua Seger itu menjadi koleksi Museum. Terdata sebagai benda yang sangat bernilai. Benda yang tercatat sebagai hiasan kalung peninggalan Kerajaan Kediri. Terbuat dari logam mulia Emas 22 karat, dengan taburan batu-batu mulia safir, pyrus, myrah di atas permukaannya.

Kini benda temuan itu tersimpan di ruangan yang aman. Ruangan berkunci ganda dengan pintu besi berlapis. Saya dan para siswa SMA Plus Muthahhari berkesempatan melihat dari dekat benda koleksi unggulan Museum Mpu Tantular seberat lebih dari 1 Kg, di Kota Sidoarjo tersebut.

Berkunjung ke museum membawa kita menyelami kehidupan di masa lalu. Mengenali kebudayaan di masa silam. Menyadari keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaanNya yang mendekati sempurna.

photo: koleksi pribadi
photo: koleksi pribadi

Potret sebuah keriangan tersaji malam itu meski dinaungi langit malam yang pekat. Sebelum malam datang, hujan tipis menyirami kota. Langit dihiasi awan mendung. Kabut menggantung di pucuk barisan gunung. Rasa was-was sempat hinggap. Kami khawatir agenda malam ini terkendala. Bersyukur kami kepadaNya. Kekhawatiran kami ini tak terjadi. Acara rekreasi pun berlangsung.

Selepas shalat Maghrib, kami meluncur ke pusat kota. Kami menuju wahana bermain Batu Night Spectacular. Keriangan seketika tercipta begitu bis yang kami tumpangi memasuki pelataran parkir. Sorak sorai menggema, memecah malam yang dingin. Para siswa berkaus hijau berhamburan dari pintu bis. Mereka beradu cepat menghampiri aneka wahana bermain.

Ada yang menuju arena ketangkasan tumbukan mobil. Ada yang menuju wahana anting-anting yang melayang-layang di udara. Ada pula yang memilih tantangan menaiki menara yang tinggi. Di sini, mereka duduk melingkar di atas kursi bersabuk pengaman. Mereka dikerek naik seperti sedang berada di dalam lift. Namun, begitu sampai di pucuk menara, "lift" seketika terhenti. Tak hanya itu, lift meluncur bebas. Mereka pun terhempas ke dasar menara. Sorak gembira bercampur jeritan seketika meluncur dari wahana ini.

**

Dalam menjalani kegiatan marathon selama lima malam dan empat hari ini, sepertiganya kami lalui dalam perjalanan. Kami duduk di kursi bis dan kereta. Rasa bosan tak terhindarkan. Jenuh juga pasti ada. Guna mengusir dua hal yang mendatangkan bad mood ini kami menyiasatinya dengan acara hiburan. Kami memutar musik di layar TV bis. Para siswa bergantian memutar lagu kesukaan mereka. Berkaraoke menyumbangkan suara merdu. Selain bernyanyi, kami pun mengadakan acara kuiz kecil-kecilan. Soal-soal yang ditanyakan dalam kuiz diantaranya hapalan ayat-ayat suci Al Quran. Kami berikan penggalan ayat dan para siswa meneruskannya. Langkah ini membawa setiap penumpang bis dan kereta mengukir senyuman.  

Agenda sekolah yang berlangsung setiap tiga tahun ini pun berakhir. Sejumlah hikmah kami dapatkan. Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas curahan rahmat-Nya sehigga acara ini dapat terlaksana dengan lancar. Kekhawatiran terkait pandemi yang belum bisa dikatakan telah berakhir ini tidak kami temui. Kami menerapkan protocol kesehatan sesuai peraturan, dan sebagai buahnya segenap anggota rombongan sehat wal afiat sampai kembali ke rumah.

Hikmah berikutnya yang kami rasa, kekerabatan di antara warga sekolah semakin erat. Antara siswa, guru, dan karyawan sekolah bekerja sama dalam mewujudkan keberhasilan kegiatan. Witing tresno jalaran soko kulino, rasa saling menyayangi di antara kami semakin terasah berkat kerapnya kami bertemu dalam kegiatan ini.

Dan hikmah berikutnya, kami tak henti bersyukur atas nikmat dari Nya. Kegiatan ini membawa kami menjelajahi tanah Nusantara dan melestarikan khazanah budaya Indonesia.

 

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun