Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abah di Simpang Jalan

17 November 2022   09:44 Diperbarui: 17 November 2022   09:50 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Abah lebih baik pensiun saja",  pintaku pada abah.

"Tidak bisa" jawab abah.

"Kalau aku nganggur, siapa yang ngasih Noneng dan Yoyo uang jajan?"

Selalu hal itu yang diutarakan Abah. Setiap kami memintanya berhenti dua bocah itu yang ia pertimbangkan. Dua cucu yang begitu Abah sayangi. Orang tua mereka berpisah. Bapak mereka, Danang, pergi entah ke mana. Sementara ibu mereka, Lastri, bekerja serabutan. Menjadi buruh cuci atau menjualkan kue-kue milik orang lain.

Aku tak habis pikir, bila Abah hanya memikirkan dirinya kami dapat memenuhi keperluannya. Biarlah anak-anak itu menjadi tanggungan ibu dan neneknya yang terbilang orang berada. Lagi pula, Lastri adalah anak angkat. Ia diurus Abah sejak kecil saat Abah dan Emak belum dikarunia anak. Namun, Abah tak bisa lepas dari memikirkan mereka.

Ada saja yang Abah lakukan untuk menambah penghasilan. Uang pensiunnya sebagai tentara masih untung bila cukup dipakai setengah bulan. Biasanya belum sepuluh hari uang itu sudah habis. Abah pernah berjualan gulali keliling kampung. Itu ia lakukan pada awal masa pensiunnya. Ketika itu badan Abah masih tampak kekar.

Setiap hari berkeliling membawa pikulan berisi kompor, wajan dan perkakas lain. Abah menyambangi anak-anak yang berkerumun di setiap kampung. Usaha Abah tak bertahan lama. Abah tak tegaan melihat anak-anak. Ia sering memberikan permen gulali secara cuma-cuma. Abah memandangnya sebagai cucu sendiri.

Selepas berjualan gulali Abah menjual mainan yang dibuatnya. Abah memanfaatkan limbah plastik bekas klise photo yang ia pungut dari kios-kios pencetak photo. Abah menjadikannya terompet, pesawat, atau kincir angin. Tangan abah begitu trampil menciptakan aneka bentuk mainan. Usaha ini pun tak bertahan lama. Abah selalu terenyuh melihat anak yang tak mampu membeli. Abah memberikannya tanpa harus dibeli.

Abah yang renta lantas mengisi hari-harinya di persimpangan jalan itu. Ia tak betah berdiam diri. Meski tak banyak rupiah yang didapatnya, Abah tak pernah mengeluh. Abah selalu ingin membahagiakan anak-anak. Menyenangkan lima cucu yang diantara mereka adalah anak-anakku.

"Waktu berkunjung talah habis", demikian peringatan yang keluar dari pelantang suara. Membangunkan aku dari lamunan. Istriku Wanti menyudahi ceritanya. Ia bergegas keluar dari ruangan. Meninggalkan aku di bilik penjara. Kedatangannya membawa kabar duka yang menumbuhkan rasa sesal. Perasaan bersalahku pada Abah yang selama ini aku abaikan.

Aku menatap goresan di dinding sel yang kubuat. Barisan angka yang jadi penanda waktu kepulanganku. Aku mesti menunggu lima tahun untuk menghirup udara bebas. Selama itu aku harus menanti saat untuk menuntaskan rasa sesal ini. Sesal telah mengabaikan abah yang kini telah tiada.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun