Jadwal harian Haru, sebut saja ia demikian, seolah sudah baku. Pukul setengah enam pagi tetangga saya ini, memanaskan mesin motor tuanya. Tak lama berselang, ia melaju di atas motor itu, mengantar anak keduanya ke sekolah. Satu jam kemudian ia tiba kembali di rumah. Di teras rumah telah menunggu anak ketiga yang telah berseragam rapi. Haru pun melaju untuk perjalanan yang ke dua, mengantar si buyung menuntut ilmu.
Tiba di rumah satu jam kemudian. Haru belum mau melepas jaket, helm serta sarung tangannya. Ada si bungsu yang juga menunggunya untuk diantar ke Taman Kanak-Kanak. Maka, Haru pun segera nyemplak  kembali di atas jok si gesit, motornya. Mereka berdua lantas melaju di atas roda dengan wajah ceria diiringi senandung kecil si upik.
Ke tiga anak Haru bersekolah di tempat yang berjauhan. Lokasi sekolah mereka pun tidak terletak pada jalur yang searah. Pantas bila Haru pergi-pulang sebanyak tiga kali setiap pagi. Untuk tiga kali perjalanan pergi  ditambah tiga kali saat mereka pulang sekolah, Haru mengaku mengeluarkan dana sebesar dua puluh ribu rupiah. Biaya yang ia keluarkan untuk menebus dua setengah liter BBM bagi si gesit.
Dengan harga BBM yang baru, Haru mesti menambah biaya operasionalnya sebesar enam ribu rupiah. Jumlah ini merupakan penyesuaian atas kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang mulai berlaku siang hari pada 3 September yang baru lalu. Besaran kenaikan sekitar 30 persen ini, menurut saya, tidak terlalu besar. Jumlah ini bagi Haru, yang seorang seniman gambar, pun tidaklah memberatkan.
Tidak memberatkan rakyat.  Inilah tujuan yang melatari kenaikan harga BBM saat ini, juga pada waktu-waktu  yang telah lalu. Pemerintah tentu memiliki hitung-hitungan yang cermat dalam meluncurkan keputusan yang tak jarang diwarnai aksi demonstrasi penolakan ini. Sejumlah penjelasan pun diberikan oleh menteri-menteri terkait.
Mengutip Kompas (3/9/2022), kenaikan harga BBM dilatari oleh gejolak harga minyak di pasar global. Disamping itu, subsidi BBM yang berlaku saat ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang mampu. Ditemukan fakta bahwa lebih dari 70 persen konsumen BBM bersubsidi adalah pemilik kendaraan pribadi. Satu kelompok yang jauh dari sebutan miskin.
Penjelasan pemerintah tentu kita pahami. Dan sudah bukan rahasia lagi bila subsidi energi yang digulirkan  selama ini kurang tepat sasaran. Betapa banyak keluarga, tetangga, bahkan mungkin kita sendiri yang "menikmati" program pemerintah yang ditujukan bagi rakyat miskin.  Kaum alit (kecil) yang belum meraih sebutan makmur. Â
Subsidi sejatinya ditujukan bagi rakyat kecil. Maka tidaklah tepat bila warga yang telah memiliki kendaraan juga menikmatinya dalam keseharian. Memilih kemasan tabung "melon" saat membeli  gas LPG, misalnya. Ikut antri pertalite bersama barisan pemotor di SPBU, contoh lainnya.
Mekanisme penyaluran subsidi ditata ulang. Mata rantai penyelewengan harus diputus. Dan kaum kecil sebagai pemilik hak atas kebijakan subsidi dipastikan memperoleh haknya. Kiranya, langkah ini yang melatari kenaikan BBM di negeri yang baru saja merayakan hari kemerdekaannya ini.
Tidak Melupakan Rakyat
Bagai memakan buah simalakama. Tak ada langkah yang dianggap benar. Beginilah narasi yang muncul menyertai penetapan kenaikan harga BBM yang baru. Bila dinaikan akan membawa dampak yang menyeluruh bagi kehidupan berbangsa terutama dalam sektor ekonomi. Bila tidak dinaikan maka beban yang ditanggung pemerintah dalam hal subsidi akan semakin berat.
Kita saksikan langkah pertama yang pada akhirnya diambil pemerintah. Menaikan harga BBM disertai dengan menggulirkan sejumlah kebijakan subsidi. Mengutip harian yang disebut di atas, sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan langsung tunai (BLT) BBM sebesar Rp. 12,4 triliun.Â
Bantuan ini akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga kurang mampu. Setiap keluarga yang masuk kategori ini akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp. 150.000 setiap bulan dan mulai diberikan pada bulan September hingga Desember mendatang.
Pemerintah juga menyiapkan bantuan subsidi upah bernilai Rp. 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp. 3,5 juta per bulan. Pada realisasinya, setiap pekerja dalam kategori ini akan mendapat bantuan sebesar Rp. 600.000. Bagi masyarakat yang tidak berpenghasilan tetap, subsidi yang akan digulirkan berupa bantuan sosial bagi 18,48 juta keluarga penerima manfaat melalui PT Pos Indonesia.
Saya lega. Sepertinya, deru mesin sepeda motor Haru masih akan terdengar. Senandung riang si Upik pun akan mewarnai suasana pagi. Kebijakan pemerintah yang tidak melupakan rakyatnya, yang memastikan keduanya terwujud. Â Â
Â
 Â
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H