Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Datang Tak Dijemput, Pulang Diantar

29 Oktober 2021   13:48 Diperbarui: 3 November 2021   02:45 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hantu. (sumber: pixabay.com/Alexas_Fotos)

Malam itu kami pulang dari acara wisuda sekolah tempatku mengajar. Aku ditemani istri dan anak kami yang masih batita (bayi dibawah usia tiga tahun). 

Kami menyusuri jalan tak terlalu lebar menuju rumah. Sebuah komplek perumahan yang belum lama kami tinggali. Tempat tinggal kami  sedikit menjorok dari jalan besar. Perlu waktu sekitar lima belas menit dari jalan raya menuju rumah.

Sebelum sampai di permukiman, kami mesti melewati pekuburan yang cukup luas. Pemakaman Cikadut namanya, terletak tak jauh dari terminal bis Cicaheum Bandung. 

Pekuburan ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Yang dikuburkan di sini kebanyakan warga keturunan Cina. Suasana makam begitu dingin membeku dan gelap gulita saat malam datang. Tak tampak lampu penerangan di sepanjang jalan.

Tak ada kejadian aneh saat kami melintas. Aku mengendarai motor bebek hitam kesayangan membonceng istri dan si kecil. Suara Cengkerik terdengar sekali-sekali, seperti menimpali zikir yang kami gumamkan. Putra kami terlelap dalam gendongan. Kami pun tiba di halaman rumah.

Saat mesin motor dimatikan, si kecil terbangun. Ia menangis begitu keras. Suaranya meraung-raung. Terdengar sedikit aneh, lain dari biasa. Ia pun meronta-ronta ketika dibawa masuk. 

Berbagai upaya kami lakukan agar ia berhenti menangis dan gerakannya tenang. Namun upaya kami tak membuahkan hasil. Suara tangisnya tak berkurang kencang.

Dalam keadaan bingung tak tahu harus berbuat apa, aku memutuskan untuk kembali. Kami kembali menunggangi motor menyusuri jalan di pinggiran pekuburan. Sepanjang jalan aku berbicara sendiri. Bermonolog sambil berharap didengar oleh "makhluk" dari alam gaib.  "Sekiranya ada yang menempel, terbawa ke rumah, sudilah untuk kembali ke tempat semula", begitu yang aku katakan. Beruntung  monolog yang aku lakukan lancar tanpa terganggu suara tangisan. Si kecil kami terlelap sepanjang jalan.

Setelah "ritual" itu kami lakukan, kami kembali ke rumah. Kami telah "mengantarkan ia" ke tempatnya. Atas pertolongan-Nya jua, kami terbebas dari kesusahan. 

Si kecil kami tenang kembali. Ia masih terlelap sampai kami letakan di atas ranjang. Tidurnya pulas sampai pagi. Ia bangun dengan segar dan ceria seperti biasa.      

Kejadian "mistis" itu kami alami lebih dua puluh tahun yang lalu. Si kecil kami pun kini telah tumbuh menjadi mahasiswa tingkat akhir. Namun kami masih mengingatnya dengan baik. Menjadi "hiburan" ringan yang mengundang tawa. 

Putaran waktu telah mengubah segalanya. Tak hanya mengubah si kecil yang kini dewasa, namun mengubah kesan kami pada kejadian yang sama. Semula kami mengalami kesan yang "horror". Kini, saat kami menceritakannya kami merasakan kesan "komedi".

Setiap mengalami kejadian berbau horror, saya merasakan kesan yang agak "samar-samar". Saat menjalaninya saya tak yakin kejadian itu memang seperti itu adanya. 

Namun setelah kejadiannya lewat, saya memberi penafsiran atas kejadian tersebut. Seperti peristiwa di atas, saya tak yakin ada makhluk tak kasat mata yang "membonceng". Lantas saya memberi penafsiran atas kejadian itu.

Kejadian-kejadian demikian kerap kita alami. Kita seakan-akan melayang, berada di dua alam: nyata atau gaib. Peristiwa yang dialami istri saya memberi kita gambaran akan kesan melayang itu.

Dulu, saat bekerja istri saya dapat giliran shif malam. Suasana pabrik elektronik tempatnya berada begitu sepi. Kafasitas ruangan mungkin hanya terisi setengahnya. 

Para pekerja malam lebih sedikit ketimbang pekerja siang. Dalam suasana sepi,  hal-hal di luar nalar kerap muncul. Peristiwa yang menumbuhkan rasa penasaran ada kalanya timbul ke permukaan .

Certinya saat itu istri terlihat pergi ke kamar kecil di lantai dua. Ia berpapasan dengan salah seorang rekannya. Lantas, saat rekan tersebut kembali ke tempat semula, ia menjumpai istri saya. 

Istri mengatakan bila dirinya tak ke mana-mana. Tidak juga pergi ke toilet di lantai dua. Kaget dong, rekan kerja istri saya?

Hal seperti itu mungkin juga pernah kita alami. Kita merasa yakin melihat sesuatu sementara realitas mengatakan sebaliknya. 

Pandangan kita terbelah diantara dua realita, yang sungguhan dan yang "bayangan". Menghadapi hal seperti ini, umumnya orang mengaitkan dengan alam gaib. Kita menyenderkan peristiwa yang tak dapat dijelaskan ke "dunia lain".

Peristiwa yang tak kalah membuat bulu kuduk berdiri dialami anak kedua saya. Saat itu, ia mengikuti kegiatan pramuka yang mengharuskannya menginap di sekolah. 

Malam itu telah larut. Ia mengambil air wudlu di kamar mandi. Ia membelakangi pintu yang dibiarkannya terbuka. Dan ia merasa bila kupingnya disentuh seseorang. Serasa ada "tangan" yang mengusik indra pendengarannya. Padahal ia yakin, tak seorang pun berada di sana.

Peristiwa aneh ini lantas diceritakannya. Dan berubahlah acara yang semula dirancang sebagai ajang uji keberanian dan kemandirian itu menjadi acara kemah anak SMP. 

Ke mana pun pergi mereka bergerombol. Tak ada yang mau berjalan sendiri. Bahkan pergi ke toilet pun jadinya diantar kakak pembimbing.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun