Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Komika Memperpanjang Tawa Kita

6 Oktober 2021   10:50 Diperbarui: 6 Oktober 2021   10:54 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Mengenakan kemeja hitam dan berdasi kupu-kupu ia berdiri. Tampil di atas panggung yang megah. Tak ada rekan atau set property yang menyertainya. Hanya mikropon dan sorot lampu yang menemani.

Penampil itu, Bintang Emon namanya. Seorang komedian yang bintangnya sedang bersinar. Dari atas panggung Ia bercerita beraneka hal. Cerita-cerita ringan dan pendek. Namun, itu telah cukup mengundang tawa penonton yang duduk berderet.    

Ia mengangkat cerita tentang harta orang-orang berpunya negeri ini yang jumlahnya fantastis. Konon, kekayaan mereka melebihi harta orang sekampong. 

Ia juga mengangkat keberadaan manusia perak. Mereka mengais rezeki dengan cara yang tak biasa. Mengamen, mempertontonkan sekujur tubuh yang dilumuri cat, dari rambut hingga mata kaki.

Dua fenomena itu dijadikan materi lawakan pemuda itu. Caranya menyampaikan materi terlihat luwes. Idenya seperti tak pernah habis. Otaknya dengan cepat menangkap setiap peluang untuk menjaring tawa. 

Bahasanya enak didengar dengan logat Betawi yang kental. Sayang, Bintang kurang pandai menyaring kata-kata kasar dan kotor. Mungkin hal ini menjadi bumbu dalam meracik kelucuan.

Bintang Emon adalah satu diantara sederet nama komedian yang meroket namanya setelah jadi pemenang ajang kontes "melawak solo" di televisi. Mereka menyandang sebutan komika setelah mengikuti ajang yang bernama Stand Up Comedy.

Gaya melawak Stand Up Comedy relative baru bagi kita. Menampilkan kelucuan dengan bermonolog; satu cara yang jauh dari kesan lucu. Seperti yang ditampilkan Bintang, saat beraksi mereka hanya  berdiri memegang mikropon. Berpidato sendiri, menggali dan mengembangkan ide di tengah panggung.

Para komika menjadikan kesempatan manggung untuk menyampaikan banyak hal. Mereka meramu materi lawakan dengan sangat lentur. Di hadapan para politisi mereka berbicara tentang ideologi. Sindiran-sindiran politis mengemuka dengan segar, tanpa khawatir menyinggung pihak-pihak tertentu. Namanya juga banyolan.   

Kesempatan open mic para komikus selalu dinantikan. Masyarakat luas tak saja menunggu penampilan mereka yang dandy , enak dilihat,  namun juga joke-joke segar atas permasalahan hidup. Masalah perbedaan etnis yang sedikit "tabu" diperbincangkan, terasa ringan bila disampaikan dengan cara Stand Up Comedy.

Hadirnya para komika yang rata-rata berusia muda jadi penerus tongkat estafet dunia hiburan, terkhusus seni melawak. Pada putaran masa yang telah lalu,  kita disuguhi pertunjukan lawak dengan "pakem" lama. 

Melawak dilakukan beramai-ramai, dengan tiga atau empat personil. Sebuah grup lawak terkenal bahkan melibatkan pemain yang lebih banyak dari bilangan jari tangan.

Sekedar menyebut, kita mengenal Ateng dan kawan-kawan, Jayakarta grup yang digawangi Jojon, Uuk, dan Cahyono dan Grup Aneka Ria Srimulat. Yang terakhir tampil dengan gaya seni ludruk yang kemudian melahirkan pelawak-pelawak andal.

Seni lawak pada era Jayakarta Grup menyajikan lawakan dengan plot yang telah baku. Tampil dengan kostum yang sedikit ganjil. Jojon, misalnya, selalu mengenakan celana selutut yang dikenakan di atas pinggang. Selain itu, kumis ala Charlie Chaplin, comedian klasik dari belahan dunia lain, jadi trade mark  dirinya.

Dengan penampilan demikian, para pelawak ingin mencitrakan diri sebagai orang aneh atau nyeleneh, yang berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan senang hati mereka mencitrakan diri sebagai orang bodoh yang kerap diperlakukan "seenaknya". Orang sial yang tak henti "dikerjai" teman-teman dekat.

Maka menjadi biasa pada masa itu pelawak terjatuh akibat didorong teman. Menjadi lumrah pelawak terjatuh saat hendak duduk karena kursinya keburu ditarik kawan. 

Dan terpingkal-pingkal orang melihat adegan itu. Lawak menjadi panggung yang memutar balik kenyataan. "Musibah" alih-alih ditangisi, ditertawakan dengan suka cita.

Stand Up Comedy tampil sebagai kebalikan dari lawakan sejenis itu. Dengan personel yang hanya satu orang, mana mungkin "kekerasan" akan tercipta. 

Dan lagi, dengan penampilan pelawaknya yang rapi, tidak mungkin bila Ia mencitrakan diri sebagai orang dungu, sial, atau agak ganjil. Komedian jenis ini seakan mengusung misi menyampaikan pesan bila pelawak itu bermartabat.

Tak sebatas penampilan, misi mereka ditunjang pula dengan materi lawakan yang berbobot. Pesan-pesan yang disampaikan tak sebatas mengundang tawa, namun juga sarat nilai. 

Bintang Emon, dengan cerita manusia silver-nya tak hanya mengocok perut kita dengan kelucuan. Ia mengajak kita peduli pada sesama. Bahwa di sekeliling kita terdapat orang-orang  kurang beruntung. 

Mereka, yang ketika makan mie ayam pun, dihujani tatapan penuh curiga. Sang penjual khawatir, bila konsumennya yang berkilauan itu meninggalkan "jejak" pada bangku yang ia miliki. Ia tak ingin bangku itu berubah menjadi silver, akibat cat sang manusia perak belum kering benar saat duduk.

Bintang Emon dan kawan-kawan telah hadir untuk kita. Mereka pun tak sulit kita temui di media-media yang ada. Jadi, mari memperpanjang tawa bersama mereka 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun