Di pagi hari Lebaran suasana begitu meriah. Gema takbir terdengar dari pelantang suara mesjid. Suara takbir seperti bersahutan. Bergema dari mesjid yang satu berbalas dari mesjid yang lain.Â
Gang rumah kami dilalui para jemaah yang berjalan beriringan menuju mesjid terdekat. Meski tak seramai tahun yang lalu suara prcakapan dan langkah kaki mereka membawa suasana khas Lebaran.
Masyarakat di tempat kami tak seragam dalam menjalankan protokol penanggulangan wabah Covid-19. Warga menjalaninya dengan pemahaman masing-masing.Â
Beberapa tetangga kami tetap menjalankan peribadatannya di mesjid seperti dalam keadaan normal. Sebagian yang lain menjalankan instruksi pemerintah dengan ketat. Dalam beribadah, kelompok warga ini menjalaninya di rumah.
Meski berbeda dalam pelaksanaan beribadah, kedua kelompok ini tetap akur. Kami tidak saling menyalahkan sikap masing-masing. Kami menghormati pilihan yang diambil.Â
Saat pelaksanaan shalat sunah Idul Fitri pun, perbedaan sikap itu terlihat. Ada warga yang menjalaninya di mesjid, ada pula yang mendirikan shalat di rumah.
Saya melakukan Shalat Ied di rumah. Bersama anak-anak dan istri saya menyulap ruang tamu kami menjadi tempat shalat. Shalat pun didirikan. Lafaz takbir berkali-kali dalam shalat ini memecah keheningan suasana rumah.Â
Suasana yang tercipta benar-benar baru. Untuk yang pertama ruang tamu kami menjadi tempat dilaksanakannya shalat yang dilakukan setahun sekali ini.
Usai memimpin shalat saya memberi sedikit ceramah. Bila dijalani secara kolosal, besar-besaran, di mesjid atau tanah lapang ceramah ini disebut khotbah.Â
Khotbah adalah salah satu rukun pelaksanaan shalat Ied. Para penceramah atau khotib biasanya mengupas keutamaan hari Lebaran dengan menekankan pada makna bersilaturahmi.