Segala kebohongan terkuak saat Munawir diciduk polisi. Ia dijerat dalam pasal penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Bersamanya diciduk pula komplotan itu. Komplotan yang merampas hari-harinya, juga cinta kepada ibu.
Sejak itu Munawir menghuni hotel prodeo. Ia mendekam di tahanan dalam kurun cukup lama. Selama di sana, hanya ibu yang rajin membesuknya. Kakak semata wayangnya entah ke mana. Tubuh ibu yang lemah hanya mampu membuatnya membesuk di hari-hari awal ia dipenjara. Setelah itu, tak ada yang biasa menemuinya.
Diletakannya bungkusan itu dengan rapi. Di keranjang sepeda itu hanya ada jaket dan botol air minum miliknya. Peluh yang bercucur tak dihiraukannya. Dikayuhnya sepeda tua sepenuh hati. Berkilo meter ia mengayuh. Beberapa tempat ia sambangi di malam takbiran itu.
Malam itu ia menuju alamat terakhir. Kayuhannya lebih bertenaga. Seakan ia baru keluar dari toko bunga di pagi hari, saat badannya masih segar dan tenaganya masih penuh. Dipandangnya bungkusan di keranjang sepeda itu. Diperlakukannya dengan hati-hati. Sepertinya, ia tak ingin terpaan angin atau goncangan roda sepeda mengusik bungkusan itu.
Tiba di tempat yang dituju. Ia memarkir sepedanya. Digenggamnya bungkusan itu. Perasaan ragu sedikit menahan. Namun ia terus melangkah menuju pintu.
Semerbak harum Bunga Sedap Malam keluar dari bungkusan dalam dekapannya. Perlahan pintu terbuka. Seorang ibu keluar dengan tersenyum.Â
"Masuklah, Nak."
"Ibu tahu kamu pasti kembali".
Munawir, sang pengantar bunga itu tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai. Ia bersimpuh di kaki ibu. Seketika perasaannya lega. Ibu yang dirindukan kini berada di hadapan. Sementara, gema takbir bersahutan. Menyongsong hari kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H