Mohon tunggu...
Iwal Falo
Iwal Falo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan siapa-siapa, hanya berusaha menjadi yang terbaik

Menjadi diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Politik dan Kebohongan Menjelang Pilkada Serentak 2020

15 September 2020   20:57 Diperbarui: 15 September 2020   21:09 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan. Sedangkan kebohongan sempurna adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja”. Ini adalah salah satu kutipan terkenal dari Paul Joseph Goebbels yang merupakan Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi dibawah kekuasaan Adolf Hitler. Goebbels juga dikenal sebagai bapak propaganda modern.

Sebagai seorang propagandis, Goebbels banyak disegani oleh para ilmuwan, bahkan hingga sekarang. Ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya diberi nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.

Lantas, Apakah proganda ala Goebbels masih hidup di zaman sekarang? Jawabannya ada dan lebih canggih, secanggih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terutama dirasakan menjelang hajatan politik, entah Pilpres, Pileg maupun Pilkada. 

Dalam dunia politik praktis, politik dan kebohongan bagaikan sepasang kekasih yang sulit untuk dipisahkan meskipun bertentangan dengan etika dan moral politik. Oleh karenanya, dewasa ini, ketika mendengar atau membaca istilah Politik, bayangan orang langsung tertuju pada kebohongan atau tipuan belaka. Padahal politik dan kebohongan merupakan dua kata yang memiliki makna dan tujuan yang berbeda.

Secara sederhana, Politik dapat didefinisikan sebagai 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan dan dasar-dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, 3) kebijakan atau cara bertindak dalam mengahadapi dan menangani suatu masalah. Kesimpulannya, politik menyasar kepada kebajikan umum atau bersama dalam sebuah negara.

Sedangkan kebohongan (juga disebut kepalsuan) adalah jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu orang lain, sering kali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau reputasi, perasaan melindungi seseorang atau untuk menghindari hukuman atau penolakan untuk melakukan satu tindakan. 

Berbohong adalah menyatakan benar terhadap sesuatu yang diketahui tidak benar atau bahwa orang tidak jujur meyakini suatu kebenaran. Yang salah dibenarkan, yang benar dibuat jadi salah. Yang baik dibuat jadi buruk, yang buruk dibuat jadi baik. Itulah dunia politik praktis.

Rasanya tidak berlebihan jika sering terdengar penyataan seperti ini di kampung saya: “Anda jangan main politik dengan saya”. Pengertian sesungguhnya dari pernyataan ini adalah “Anda jangan menipu saya”. Artinya di mata publik berpolitik berarti berbohong.

Hal ini bukan tanpa alasan. Sejak dahulu kala, politik diidentikan dengan perebutan kekuasaan, saling menjatuhkan dan menyerang lawan dengan berbagai cara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bahkan tidak jarang melanggengkan fitnah, intrik dan kebohongan untuk meraih kekuasaan. Dalam hal ini menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan demi pemenuhan hasrat pribadi dan kelompoknya.

Inilah yang disebut politik kebohongan sehingga berdampak sistemik pada ranah apatisme politik warga negara. Wajar bila warga negara sebagai bagian dari praktek pemerintahan memunculkan sikap acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan politik.

 Hal ini disebabkan karena sekarang yang terlihat ialah kegaduhan. Seakan politik merupakan ruang, wadah atau tempat orang-orang untuk melanggengkan keributan tak berujung. Di sinilah persepsi kebohongan politik mulai muncul sehingga tidak ada penilaian lain terhadap politik selain segala sesuatu yang buruk.

Dunia politik memang dekat dengan kesan kotor karena identik dengan upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan namun mengabaikan etika dan moral politik. Yang membuat dunia politik menjadi kotor dan menjijikkan adalah ketika para politisi mengabaikan etika politik. 

Tujuan mulia dari politik yang seharusnya bermuara pada pemenuhan kepentingan umum atau bersama diabaikan. Jelas di sini terlihat bahwa teori politik bergerak ke kanan, praktek politik bergerak ke kiri. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa politik praktis sering tak berteori. Kalaupun ada itu adalah teori masing – masing pribadi atau kelompok.

Dalam konteks pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, politik kebohongan dan kebohongan politikpun sulit dihindari. Saling menyerang antar pasangan calon kepala daerah seolah menjadi sajian menu utama baik di dunia maya maupun dunia nyata. Kebohongan, fitnah dan hoaks yang sangat kejipun tak terelakkan. Begitu pula berbagai intimidasi dan tekanan diarahkan kepada kaum lemah dan papa. 

Lucu memang bila dipikirkan dengan akal sehat. Masyarakat sebagai pemilik hak suara ditekan dan diancam untuk memilih paket A atau paket B atau paket C. Saya pernah berpikir, apa jadinya bila masyarakat secara beramai-ramai dan kompak untuk menolak dan tidak memilih calon pemimpin yang demikian.  

Memang berat untuk dimengerti bila masyarakat sebagai pemilik kedaulatan masih saja dibohongi dalam setiap hajatan demokrasi. Lebih sulit lagi untuk dipahami manakala masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak tahu telah dibohongi. Padahal penjajahan yang paling mengerikan ialah kebohongan yang bermula dari alam pikiran. Oleh karena itu, harus dilawan sejak dalam pikiran.

Berbohong akan menjadi nikmat bila tidak ketahuan, sebaliknya akan menjadi apes bila ketahuan. Friedrich Nietzsche, seorang Filsuf Jerman mengatakan : "I'm not upset that you lied to me. I'm upset that from now on I can't believe you." Saya tidak kecewa karena Anda membohongi saya. Saya kecewa karena sejak sekarang saya tidak mempercayaimu. Tidak perlu menunggu sampai hari pencoblosan tanggal 09 Desember 2020. Semoga pembohong tidak akan dipercaya rakyat. Tanpa dipercaya, siapa yang bakal memilih Anda menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah?.

Politisi pada umumnya tidak kehabisan akal untuk menutupi kebohongannya agar tidak ketahuan. Mereka sangat ahli memainkan seni berbohong. Kebohongan dibalut sedemikian rupa sehingga tidak gampang terungkap. Pembohong seperti inilah yang disebut pembohong sejati. Pembohong sejati sadar akan kebohongannya bukan keliru atau tidak disengaja. Pembohong sejati terus menerus berbohong dan selalu konsiten dalam berbohong. Pembohong sejati menjadikan kebohongan sebagai kebiasaan, tiada hari tanpa berbohong entah di dunia nyata maupun dunia maya.

Kiranya pernyataan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 AS menyadarkan kita: "No man has a good enough memory to be a successful liar." Tidak ada orang yang punya ingatan cukup baik untuk menjadi pembohong yang sukses. Hukuman bagi pembohong ialah harus mengingat semua kebohongannya. Siapa bisa? Tidak ada orang yang sempurna, termasuk sempurna sebagai pembohong. Suatu saat lupa akan kebohongannya dan terkuaklah karakter sebagai pembohong seperti yang dikatakan Lao Tzu, seorang Filsuf Tiongkok: "Perhatikan karaktermu, karena dapat menentukan nasibmu". Kalau sudah seperti itu, Siapa mau HELP?.

Untuk itu berpolitik secara santun dan bermartabat dengan menjunjung tinggi etika politik haruslah mendapat tempat yang mulia. Katakan benar bila itu benar, katakan salah bila itu salah. Jujur apa adanya dan jangan ada dusta. Karena jalan orang benar ialah lurus tanpa beban seperti kata Mark Twain, Pengarang novel AS: "If you tell the truth, you don't have to remember anything." Jika Anda mengatakan yang benar, Anda tidak harus mengingat apa pun. Sebab sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga.

Apakah kebohongan dilakukan juga oleh para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah menjelang Pilkada serentak tanggal 09 Desember 2020?. Silahkan renungkan dan jawab sendiri sesuai dengan apa yang anda lihat dan apa yang anda dengar. Saya bukan hakim untuk memvonis calon A atau calon B atau calon C berbohong.

Hajatan politik bersifat periodik, sementara kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan dalam membangun daerah, bangsa dan negara tidak akan berakhir selama kita hidup. Politik harus dijalankan secara santun dan bermartabat agar memberikan pencerahan dan pencerdasan bagi masyarakat sebagai pemilih. Dalam berdemokrasi, beda pilihan itu wajar. Yang terpenting adalah menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.

SALAM DEMOKRASI...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun