Mohon tunggu...
Iwal Falo
Iwal Falo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan siapa-siapa, hanya berusaha menjadi yang terbaik

Menjadi diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Urgenkah Eksistensi RUU HIP?

22 Juni 2020   14:52 Diperbarui: 25 Juni 2020   11:05 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Itulah Pancasila yang kita pelajari dan nilai – nilainya kita amalkan sejak dahulu sampai sekarang sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan sumber dari segala sumber hukum yang ada dan berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi landasan, panduan dan pedoman resmi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai ideologi bangsa, Pancasila merupakan cita – cita dan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang mana menempatkan nilai – nilai Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, sumber dari segala sumber hukum bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.

Beberapa pekan terakhir, di tengah upaya pemerintah, masyarakat dan berbagai pihak untuk bersinergi melawan Corona, publik dibuat gaduh dengan usulan Rancangan Undang – Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang telah masuk dalam Prolegnas tahun 2020 – 2024 sebagai RUU inisiatif DPR.

Dasar pemikiran atas usulan RUU HIP adalah bahwa saat ini belum ada undang – undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.

Publik Indonesia bereaksi keras, berbagai elemen dan unsur masyarakat menolak keras usulan tersebut. Melihat penolakan yang begitu keras dari berbagai elemen masyarakat Indonesia terhadap RUU HIP, sontak anggota DPR dan fraksi – fraksi di DPR yang awalnya menyetujui justru berbalik arah ikut menolak keberadaan RUU HIP tersebut. Ada yang tadinya menolak sejak awal, malah lebih kencang bersuara. Artinya, tidak ada urgensi atas kehadiran RUU HIP.  

Mengapa publik menolak RUU HIP? 

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap RUU HIP :

Pertama : urgensi penyusunan RUU HIP yang selanjutnya akan menjadi UU HIP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, tidak ada suatu keadaan mendesak yang mengharuskan pembuatan atau penyusunan peraturan perundang – undangan tentang Pancasila itu sendiri.

Kedua : Pancasila merupakan dasar negara, ideologi negara dan sumber dari segala sumber hukum namun bukan dasar hukum.

Dalam konteks ini, UUD 1945 lah yang merupakan dasar hukum tertinggi di negara ini. Hal ini sejalan dengan Teori Norma Hans Nawiasky yang dikenal dengan die Stuferordnung der Recht Normen.

Dalam teori ini, dijelaskan jenis dan tingkatan aturan sebagai berikut :

1. Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental negara/abstrak/sumber hukum;

2. Staatsgrundgesetz (Aturan dasar/aturan negara/konstitusi/UUD);

3. Formell gesetz (Undang – Undang); 4. Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana Peraturan Pemerintah – Peraturan Daerah).

Kedudukan Pancasila berdasarkan teori Hans Nawiasky di atas UUD 1945 (sumber dari segala sumber hukum) namun bukan merupakan dasar hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang – undangan.

Karena dasar hukum tertinggi dalam hierarki adalah UUD 1945 sesuai pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Sehingga dapat dipahami bahwa Pancasila bukan dasar hukum melainkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Oleh karena itu Pancasila tetaplah Staatsfundamentalnorm yang bersifat abstrak dan universal. Jangan ditarik ke dalam ruang yang sempit.

Karena dengan demikian maka Pancasila hanya akan ditafsir, dipahami dan diimplementasikan sebagai alat hukum semata bukan dasar negara, bukan ideologi negara dan bukan pula sumber dari segala sumber hukum.

Ketiga : tidak dicantumkannya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai konsideran perumusan RUU HIP padahal Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan mengikat. Ini merupakan cerminan bahwa bangsa ini terutama pengusul RUU HIP lupa akan sejarah bangsa Indonesia.

Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila telah meliwati berbagai ujian berat. Salah satunya adalah upaya PKI untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.

Lagi pula berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, kedudukan Tap MPR berada di atas UU. Artinya, Tap MPR mestinya menjadi salah satu landasan hukum dan dasar berpikir dalam penyusunan RUU.    

Keempat : penyederhanaan Pancasila menjadi trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan (pasal 7, ayat 2).

Selanjutnya, trisila diperas lagi menjadi ekasila, yaitu gotong royong (pasal 7, ayat 3). Padahal, lima sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Di awal tulisan ini, sengaja saya cantumkan Pancasila dan kelima silanya agar kita kembali fokus pada nilai – nilai Pancasila yang telah ada sejak dahulu hingga saat ini.

Sejarah menceritakan bahwa perumusan Pancasila telah melewati perdebatan intelektual dan emosional yang panjang dan mendebarkan, mulai 1 Juni, 22 Juni, hingga 18 Agustus 1945. 

Dengan demikian, sila-sila dalam Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945 merupakan rumusan final. Artinya, untuk sampai pada rumusan Pancasila yang disepakati, dibutuhkan pengorbanan yang luar biasa.

Kelima : aneh saja, di tengah carut – marutnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat gempuran dan serangan bertubi – tubi dari virus corona, DPR malah memunculkan inisiatif RUU HIP yang amat sensitif dengan kehidupan masyarakat dan menimbulkan multi tafsir.

Seharusnya DPR bersama pemerintah dan masyarakat bahu membahu menangani dampak sosial ekonomi akibat virus corona.

Melihat derasnya arus penolakan masyarakat terhadap RUU HIP, pemerintah meminta DPR untuk menunda pembahasan RUU HIP.

Untung saja ada penolakan masyarakat, bagaimana bila tidak ada penolakan belum tentu pemerintah menunda pembahasan RUU HIP. Dan sudah seharusnya bukan saja menunda tetapi DPR membatalkan hak inisiatif atas pengusulan RUU HIP.

Kehadiran RUU HIP hanya akan menciptakan multi tafsir terhadap ideologi Pancasila serta menumbuhkan konflik ideologi dan kepentingan.

Kalaupun DPR dan Pemerintah berniat untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP ini maka diperlukan kajian yang mendalam dengan melibatkan berbagai unsur dan elemen masyarakat agar semuanya menjadi terang benderang.

Bagaimana implementasi nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat?

Saat ini publik beramai – ramai menolak RUU HIP dengan berbagai argumen. Hal ini menandakan kecintaan kita pada Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa.

Namun perlu disadari dan direnungkan, sudah sejauh mana kita menghayati dan mengamalkan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?

Di sana sini masih terdapat praktek – praktek kehidupan bermasyarakat yang berada di luar nilai – nilai Pancasila seperti korupsi, terorisme, radikalisme, ketidakadilan dan fenomena degradasi moral lainnya.

Bukan tidak mungkin, kemerosotan moral sebagaimana tersebut di atas merupakan dampak dari kurangnya penghayatan dan pengamalan nilai – nilai Pancasila.

Lebih buruk lagi bila yang dihayati dan diamalkan bukan nilai – nilai Pancasila sebagai ideologi negara melainkan ideologi lain yang terbungkus dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Meskipun demikian, RUU HIP bukan solusinya.

Pada konteks inilah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki peran yang sangat strategis dibantu oleh berbagai elemen bangsa untuk mensosialisasikan dan mengawal implementasi nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Selain itu, DPR dan Pemerintah seharusnya memperkuat, mempertajam dan mengawal penghayatan dan pengamalan nilai – nilai luhur Pancasila melalui peraturan perundang – undangan yang sudah ada agar kehidupan masyarakat benar – benar mencerminkan nilai – nilai Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan sumber dari segala sumber hukum.

SALAM...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun