Mohon tunggu...
Ivy Soraya
Ivy Soraya Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Mudahnya Menyematkan gelar "Autis" "ADHD" or Whatsoever

15 Maret 2015   14:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat anakku berusia dua tahun, tak banyak kata yang bisa dia ucapkan, mungkin hanya mama dan beberapa kata sederhana lainnya. Tak hanya itu setiap kali dipanggil namanya pun dia hampir tak pernah menoleh kecuali jika saya ibunya yang memanggil. Tak pelak keadaan itu membuat saya khawatir, kekhawatiran yang lantas mendorong saya untuk menemui dokter anak. Apalagi pada usia tersebut juga dia cukup sering sakit-sakitan sehingga kesempatan untuk bertemu dokter anak sering sekali.

Dokter anak pertama yang kami temui adalah seorang dokter anak di Prince Court Hospital di Kuala Lumpur karena saat itu kami memang sedang berdomisili disana. Dokternya adalah seorang pria keturunan Cina, cukup komunikatif, ketika saya mengungkapkan kekuatiran saya karena anak saya terlambat berbicara dia tertawa, "Don't worry lah Boys usually late" kata dia. Sebenarnya tak puas sih dengan jawaban itu tapi berhubung dia mengatakan itu dengan santai akhirnya sayapun pulang.

Kesempatan bertemu dengan dokter anak selanjutnya adalah di rumah sakit ibu dan anak paling elit di bilangan Jakarta Selatan, artis-artis top banyak yang melahirkan disana, tak hanya itu dokternyapun kebanyakan lulusan Universitas Negeri terbaik di negeri ini. Dokternya seorang perempuan, ketika masuk saya langsung mengungkapkan kekuatiran saya bahwa anak saya belum bisa berbicara, dan kemudian hanya mau berinteraksi dengan orang-orang tertentu. Kemudian dia menaayakan beberapa hal yang saya asumsikan sebagai ciri-ciri anak dengan autisme, misalnya apakah dia tidak suka dipeluk, saya jawab dia suka banget dipeluk, apakah dia menghindari memandang mata lawan bicara, saya jawab tidak juga dia suka memandang mata lawan bicara tapi hanya orang-orang yang dia sukai, misalnya ibunya, bapaknya, orang-orang baru yang dia temui tetapi berwajah menarik, kemudian dia mengajukan beberapa pertanyaan lagi yang sebagian besar saya jawab tidak. Dia juga mencoba memanggil nama anak saya dan anak saya tidak bereaksi, baru ketika saya yang memanggil dia spontan menoleh dan tersenyum.  Dari hasil interview kurang lebih 10 menit itu dia kemudian memberikan wejangan yang menyiratkan bahwa anak saya mengidap autism, misalnya dia mengatakan "Iya ibu kebanyakan orang tua memang denial atas kondisi anaknya, tapi kan kita juga harus memikirkan masa depan anak kita, apalagi anak ibu laki-laki, tetangga saya ada loh yang anaknya autis sekarang sudah berumur 19 tahun, ngga pernah mandi, kasian kan orang tuanya". Tak lupa dia juga menuliskan surat rujukan untuk bertemu dokter H di Kelapa Gading, katanya beliau expert dalam menangani anak-anak yang memiliki masalah perilaku. Ketika menulis rujukan itu dia juga sekilas memperhatikan anak saya yang bermain dengan telepon mainan, di telepon mainan itu anak saya ngoceh dengan bahasa yang tidak bisa dimengerti, kemudian dokter tersebut berkata "Tuh kan bu itu salah satu ciri-cirinya, ngomong bahasa planet" kata dia. Saya pun pergi meninggalkan ruangannya dengan penuh tanda tanya, kalo anak kecil ngoceh di telepon bukannya itu tandanya anak itu mengerti fungsi telepon? perkara bahasanya bahasa planet ya namanya juga belum bisa ngomong ya jelaslah asal ngoceh saja. Dari situ saya bertekad untuk tidak pernah menggunakan jasa rumah sakit ini lagi, diberi label autis hanya dengan observasi beberapa menit membuat saya sakit hati.

Dokter ketiga adalah dokter anak di sebuah klinik khusus anak-anak di daerah Wangsa Maju Kuala Lumpur, dokternya perempuan bangsa Melayu, sudah cukup berumur, tampak sangat bijak. Ketika saya menceritakan kekuatiran saya, dia menyuruh saya menceritakan aktivitas saya dengan anak sehari-hari, selama saya bercerita dia juga memperhatikan gerak-gerik anak saya yang sibuk bermain di ruangannya. Kemudian dia bilang "Mom, you don't have to worry, when you describe your daily activity with him, there is no problem with your kid, as for the delay, some kid are experience delay, just give him some time'" katanya, Saya pun pulang walaupun tentu tetap tidak puas dengan jawabannya.

Kali keempat adalah dengan psikolog, kami mengunjungi seorang psikolog yang berpraktek di rumahnya di Kemang Timur Jakarta Selatan, dia menginterview kami satu per satu, suami saya, saya lalu baru anak saya. Anak saya yang tidak terbiasa berdua dengan orang asing di ruangan yang asing pun mengamuk. Walhasil hasil observasi dia adalah anak saya ADHD alias Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Dan diagnosa dia itu hanya berdasarkan interview selama sejam dengan kondisi anak saya yang mengamuk karena uncomfortable. Dia pun membekali kami dengan surat rujukan untuk pergi ke sebuah klinik terapi di MT Haryono.

Kamipun pergi ke klinik tersebut setelah booking sebelumnya, disana kami bertemu dengan psikolog lagi yang sudah cukup berumur, kali ini anak saya sudah ada kemajuan dia sudah bisa berbicara beberapa patah kata, hanya saja dia hanya berbicara kata-kata berbahasa Inggris. Dia menyuruh kami masuk ke ruang observasi yang dilengkapi dengan beberapa mainan, selama bermain anak saya ditemani seorang terapis sementara saya berbicara dengan psikolog. Lucunya selama observasi dia hanya sekilas-sekilas melihat anak saya yang sedang bermain, fokus utamanya hanya, aduh siapa yah terapis yang bisa bahasa inggris, terus aja begitu sampai waktu observasi habis. Hasilnya tak ada analisa apa-apa yang cukup berarti, saya pun pulang.

Saya juga membawa anak saya tes alergi yang mahal sekali, plus tidak tega juga melihat dia meronta-ronta diambil darah, sebab katanya anak dengan autisme biasanya juga alergi terhadap beberapa zat misalnya casein atau gluten, hasilnya tak ada alergi apapun kecuali alergi kerang-kerangan.

Selanjutnya saya memasukan anak saya ke sebuah klinik terapi di Dewi Sartika Cawang, seperti biasa dia diobservasi, kali ini hasil observasinya sedikit berbeda, tak ada kata ADHD maupun autis, yang ada yang mengobservasi malah penasaran dengan IQ anak saya karena konon keliatan sangat tinggi. Sayapun tak begitu memikirkannya, yang jelas langsung saya daftarkan terapi untuk bulan itu karena kebetulan kami sudah bermaksud untuk kembali tinggal di Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal di Kuala Lumpur.

Anak saya menjalani terapi selama tiga bulan di klinik tersebut, disaat yang bersamaan dia juga mulai masuk play group di sebuah Play Group Montessori, tak hanya itu, karena kini kami tinggal di Indonesia kesempatan anak saya untuk bertemu dengan anak-anak seusianya tinggi sekali. Misalnya setiap hari di rumah eyangnya dia selalu bertemu sepupunya, kemudian di sekolah dengan teman-temannya, lalu di sekitar rumah juga banyak anak kecil. Sehingga dia berinteraksi dengan banyak orang setiap harinya.

Kini anak saya sudah hampir lima tahun, sudah lancar berbicara walapun dalam bahasa inggris, setiap ada yang memanggil namanya dia akan menoleh,sudah bisa bercakap-cakap dengan sempurna dengan teman-teman seusianya, selalu memandang wajah lawan bicara, sudah bisa menulis, membaca, mewarnai, dll sebagaimana anak normal. Sekarang saya tak pernah kuatir lagi, walaupun sampai sekarang saya tidak pernah tahu apakah anak saya benar-benar pernah mengidap autism atau ADHD ataukah hanya karena situasi dulu ketika kami tinggal di Kuala Lumpur dimana kebanyakan waktunya hanya dihabiskan bersama baby sitter dan tv sehingga kurang stimulasi. Yang jelas saya kecewa berat dengan orang-orang yang memberikan label autis atau ADHD dengan observasi beberapa menit saja. Terbukti dengan interaksi yang intensif dengan usia sebayanya, anak saya sangat normal sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun