"Bu, tehnya mau ditambah lagi?" Aku menawarkan.Â
Nyonya menggeleng pelan. Kepalanya masih di penuhi penasaran, bagaimana bisa pernikahan Amira, anaknya, dibatalkan. Surat permintaan maaf dari Amira ia genggam erat.
"Anak ini maunya apa sih? Sudah berpacaran selama sepuluh tahun, minta uang untuk menikah, malah seenaknya saja dia membatalkan." Geram Nyonya. Mungkin salahnya, tidak hadir ketika anak satu-satunya ini mengakhiri masa lajang karena Nyonya terlalu sibuk mengurus bisnis di luar negeri.
"Bu, maaf, apa yang dikatakan Amira dalam surat itu?" Aku bertanya dengan hati-hati. Nyonya melemparkan surat di genggamannya ke arahku, "baca saja sendiri." ujarnya ketus.
Aku mengambil surat dari Amira dan membaca isinya dalam hati. Tidak perlu dibaca semua, toh aku sudah dapat menebak isinya. Sebuah foto nampak terjatuh dari dalam amplop.
Foto Amira dan Andi, calon suaminya. Ralat, calon suamiKU.
Aku tersenyum puas, air siraman untuk pernikahan mereka bukanlah air biasa. Kini aku yang akan mendampingi Andi di pelaminan pada hari bahagiaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H