Ada sebuah legenda dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yaitu asal mula Erau. Erau adalah sebuah acara adat yang digelar setiap satu tahun sekali. Mulanya Erau diadakan pada saat Aji Bantara Agung Dewa Sakti menginjakkan kaki di tanah dan mandi pertama kali di sungai. Aji Bantara Agung Dewa Sakti merupakan anak keturunan Dewa kayangan.
Pada zaman dahulu, di sebuah dusun yang Bernama Jaitan Layar. Terdapat petinggi dusun yang tidak memiliki anak padahal umur mereka sudah sangat tua. Walaupun demikian, mereka tidak pernah putus asa untuk mendapatkan seorang anak. Berbagai macam usahapun telah mereka lakukan. Hingga mereka bertapa di suatu tempat dan memohon kepada sang maha kuasa. Petinggi itu juga sampai menjauhkan diri dari kerabat dan warga sekitar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Hingga suatu saat doa mereka terkabul . malam harinya, mereka mendengar ada keributan di halaman rumah mereka. Di sekitaran rumah yang gelap tiba-tiba menjadi terang-benderang. Akhirnya sang istri menyuruh suaminya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar.
Petinggi itupun keluar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, ia sangat terkejut ketika melihat ada 7 Dewa yang berdiri di halaman rumanhya dan ada sebuah batu raga mas t=yang berisi seorang bayi. Bayi itu diselimuti kain yang berwarna emas dan kedua tangannya menggenggam benda. Tangan kanannya membawa sebutir telur ayam dan di sebelah kirinya membawa keris emas.
Petinggi itu merasa sangat senang sekali. 7 Dewa tersebut berpesan kepadanya utnuk merawat dan tidak menyia-nyiakan bayi tersebut. Selain itu selama 40 hari, bayi tersebut harus dipangku secara bergantian oleh saudara dan kerabat dekat petinggi itu. Bayi itu tidak boleh di letakkan di atas tikar. Jika ingin memandikannya, tidak boleh menggunakan air saja namun harus menggunakan air dan bunga. Selanjutnya ketika bayi itu ingin berjalan di atas tanah untuk pertama kalinya, harus diadakan erau. Bayi itu harus menginjak kepala manusia dan kerbau yang masih hidup dan juga yang telah mati. Begitu pula ketika bayi itu ingin mandi di sungai untuk pertama kalinya.
Petinggi tersebut menyanggupi semua pesan Dewa itu. Dia sangat berterimakasih karena mendapatkan seorang anak Dewa. Lalu 7 Dewa itu pergi dan ia langsung membawa masuk bayi tersebut untuk diperlihatkan kepada istrinya. Setelah mendengar cerita suaminya, ia begitu senang dan bersyukur karena menadapatkan bayi laki-laki yang sehat. Namun ketika bayi itu menangis dan kelaparan. Ia tidak memilik air susu, tetapi berkat bantuan dari para Dewa, ia memiliki air susu untuk diberikan kepada bayi itu.
Pada saat hari ke-3, tali pusar bayi itu putus. Kemudian rakyat ,merayakannya dengan menyalakan meriam sapu jagad sebanyak 10 kali. Kemudian selama 40 hari, bayi yang telah diberi nama Aji Bantara Agung Dewa Sakti dipangku bergiliran.
Disaat Aji Bantara Agung Dewa Sakti tersebut beranjak dewasa, dia ingin bermain bersama teman-temannya dan mandi di sungai seperti anak-anak lain. Kemudian petinggi itu teringat pesan Dewa itu lalu mengadakan perayaan erau. Dalam perayaan itu diadakan acara tijak tanah. Aji Bantara Agung Dewa Sakti di arak keliling dan kakinya di pijakkan di atas kepala manusia dan kerbau yang masih hidup dan telah mati. Kepala kepala itu di tutup dengan kain kuning. Kemudian ia di arak ke tepian sungai dan dimandikan. Masyakrakat juga ikut mandi bersama. Setelah selesai, ia di bawa kembali menuju rumah orang tuanya. Di sana ia diberi baju kebesaran. Lalu Aji Bantara Agung Dewa Sakti di arak kembali menuju halaman rumahnya dengan menggunakan paying agung dan lagu gamelan Gajah Perwata serta meriam sapu jagad.
Setelah acara tersebut selesai, selanjutnya diadakan acara erau. Erau diadakan selama 7 hari 7 malam dengan berbagai macam makanan dan minuman secara meriah serta besar-besaran. Dalam acara itu, diundang juga petinggi-petinggi dari negeri lain.
Aji Bantara Agung Dewa Sakti setelah dewasa menikah dengan putrid Karang Melenu, kemudian diangkat menjadi raja di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama. Setelah dia dinobatkan, erau kembali diadakan. Semenjak itu erau dilaksanakan sebagai pengangkatan raja-raja selanjutnya.
Â
Nilai moral: pantang menyerah dan terus berusaha; menepati janji.
Nilai budaya: setiap tahun masyarakat sekitar memperingati erau karena telah menjadi adat bagi mereka dalam pengangkatan raja-raja pada kerajaan tersebut.
Nilai agama: pada cerita itu tokoh masih mempercayai adanya dewa-dewa yang dapat menolong mereka.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H