Mohon tunggu...
Ivone Dwiratna
Ivone Dwiratna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang hamba TUHAN

Believe, Belajar, Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sidoarjo: Banjir, Bullying dan Pedofilia. Apa Hubungannya?

16 Februari 2016   05:54 Diperbarui: 16 Februari 2016   21:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sidoarjo, sejak Jumat 5 Februari 2016 sampai dengan hari ini masih dipenuhi genangan air di berbagai tempat. Bahkan Sidoarjo dinyatakan Tanggap Darurat Banjir di Selasa 9 Februari 2016 kemarin. Bagaimana banjir ini bisa terjadi? Banyak teori disampaikan para pihak. Ada yang menyalahkan Pemerintah Kabupaten lalai. Mengapa sekarang penuh perumahan, kurangnya resapan, pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan, tidak melakukan pengerukan sungai-sungai, tidak mempersiapkan pompa, tidak mengantisipasi banjir yang beberapa tahun ini terus terjadi, bahkan juga menyalahkan bilamana Pemerintah Kabupaten tidak merencanakan Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Sidoarjo dengan baik.

Sedangkan dari pihak lain ada yang menuding bahwa semua ini adalah akibat dari banjir kiriman dari Mojokerto dan kota-kota lain disekitar Sidoarjo, sehingga Sidoarjo terkena akibatnya. Apalagi saat ini sedang terjadi air laut pasang yang menyebabkan debit airpun melimpah ruah menggenangi Sidoarjo.

Tapi, ada yang masyarakat lupa. Terlihat banyak orang membuang sampah sembarangan, tidak melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar, menebangi pohon-pohon peneduh yang ada di sekitar rumah, menutupi tanah di halaman rumah dengan bangunan dan tidak memberikan tempat untuk resapan air. Pembalakan hutan di berbagai daerah marak, demikian pula dengan kebakaran hutan yang terjadi. Masyarakat masih tidak ramah terhadap lingkungan dan tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan serta kepedulian terhadap sesama. Selama tidak terganggu, selama tidak terkena banjir, maka biarpun sekeliling terkena banjir, peduli amat??!!

Itulah watak. Kita semua turut bersalah disini. Teringat di benak saya, saat anak-anak saya membuang sampah begitu saja. Atau saat saya membuang sampah seenaknya. Kita salah, tidakkah kita sadari? Kita tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan lingkungan. Kita hanya pikirkan diri sendiri. Saat bencana asap akibat kebakaran hutan melanda kemarinpun kita tidak peduli. Yang penting jangan kita yang matanya harus pedih kena asap dan tidak bisa bernafas.

Banjir ini bukti bahwa kita bukan hanya perlu reboisasi, kerja bakti, rumah pompa, tata kota yang baik dan lain-lain. Tapi kita perlu reformasi mental! Bisa kita mulai dari diri saya dan anda dulu. Mengapa saya katakan harus reformasi mental? Coba kita lihat di facebook atau grup-grup sosmed yang ada. Ada saya temukan keluhan orang tua yang anaknya dipukul oleh pendidiknya. Komentar-komentar atas kisah tersebut beragam. Ada yang menyarankan untuk kroscek pada pendidiknya langsung, komplain pada sekolah, ada yang menyarankan untuk lapor ke Polisi, bahkan ada yang menyalahkan si ortu. Ada pula yang mengatakan kalau anaknya laporan demikian (dipukul pendidiknya), maka malah hukumannya akan ditambah lagi oleh si ortu. Supaya anaknya bisa jadi anak yang baik dan tidak salah didik maka tidak salah bilamana sesekali si anak mendapatkan hukuman pada fisiknya. Kalau sedikit-sedikit anak dipukul pendidiknya terus lapor ortu, maka menurut mereka anak tidak akan bisa dididik dengan baik. Untuk saran yang mereka berikan pada yang bersangkutan, saya harus menarik nafas dalam-dalam.

Ada pula saya baca, mengenai seorang wanita yang menanggapi curhatan di sosmed mengenai seorang ibu yang anak perempuannya cerita tentang pelecehan seksual terhadap anaknya. Dimana salah satu pendidiknya suka menyenggol payudara dan membelai-belai rambut siswi di sekolah tersebut. Wanita tersebut ternyata beberapa puluh tahun yang lalu pernah menjadi korban pelecehan seksual. Dan tidak ada saksi atas kejadian tersebut (#Hmmm... mungkinkah saat pelaku akan/ saat/ setelah melakukan tindak asusila akan memanggil orang untuk menjadi saksi? Apa harus tunggu ada saksi baru bisa menangkap pelaku?). Dan saat melaporkannya malah dibilang menfitnah dan pelaku malah berbalik menuding macam-macam pada si korban. Sehingga akhirnya korban yang malah kalah dan sang pelaku melenggang begitu saja. Si Ibu yang di masa lalunya pernah menjadi korban inipun akhirnya trauma. Ia menjadi sedemikian protektif pada anak perempuannya, bahkan demi melindungi anak-anak perempuannya, ia rela mengundurkan diri dari pekerjaannya demi menjaga anak-anaknya.

Mentalitas bangsa seperti apa yang sedang kita bangun untuk generasi kita selanjutnya? Membiarkan kejahatan di depan hidung terjadi begitu saja. Bahkan mungkin, saat sebenarnya bisa melakukan sesuatu untuk menangkap si pelaku kejahatan, tapi malah kita diam saja? Terlena karena rupiahkah? Malas terlibatkah? Malas repotkah? Terlalu sibukkah? Tidak ada waktukah? Malukah? Takutkah? Atau karena tidak mau pedulikah?

Itu berarti kita lupa. Hidup itu hanya perjalanan sementara. Kehidupan kita yang kekal ada pada alam setelah kematian. Apa bekal kita agar kita bisa hidup kekal bersama Allah di surga? Amal baik dan ibadah tentu saja. Sekecil apapun yang kita perbuat, Allah mengetahuinya. Terlintas di benak saya cerita Christo anak saya yang paling kecil. Seperti yang telah saya tulis dalam tulisan saya “100 Hari Menuju Sakaratul Maut” di www.kompasiana.com/ivonedwiratna ; Christo pernah bercerita bahwa ia melihat sebuah buku besar sekali, yang tingginya lebih tinggi dari rumah dua lantai. Dia bilang itu buku Engkong (Papa saya dipanggil Engkong oleh Christo). Dan Hantu hitam (=Malaikat maut) membacanya juga sebelum melaksanakan tugasnya. Dalam penglihatan anak saya, buku itu memang sungguh ada, jadi cerita yang saya dengar saat  Sekolah Dasar, bahwa ada malaikat-malaikat yang mencatat perbuatan kita di dunia ini sedetil-detilnya adalah benar.

Apa yang kita cari? Menjadi tidak peduli karena sudah “PW” (Posisi Wu enak) atau berjuang melakukan sesuatu untuk hidup dan generasi yang lebih baik?

Kita tidak hidup sendiri, kita punya anak, saudara, keponakan dan nantinya pun kita akan memiliki cucu. Tentunya akan kita lindungi dan kita jaga mereka. Bayangkan jika hanya karena semua tidak peduli, lalu seorang pelaku pedofilia (orang dewasa yang mengalami kelainan/gangguan pada jiwanya, sehingga orientasi seksualnya pada anak-anak) bebas melenggang begitu saja. Tidak diperbaiki  jiwanya, tidak juga dijatuhi hukuman atas perbuatannya. Dia akan bebas mengganggu dan menyakiti banyak anak-anak lainnya. Itu yang anda mau?

Lakukan saja, maka saat anda sedang tidur enak, sedang bekerja, sedang hangout dengan teman-teman anda, atau bahkan sedang asyik update status, bisa saja saat itu atau suatu saat nanti anak anda, keponakan anda atau cucu anda mungkin sedang digrepe orang, berjuang sendiri dalam ketakutannya melawan pedofil. Ironis.

Berbincang dengan 2 sahabat secara terpisah. Keduanya tak ada menampakkan trauma, tapi ternyata keduanya di masa lalu pernah mengalami pelecehan seksual. Sahabat saya yang satu, digerayangi oleh tukang majalah langganannya sambil membaca majalah kesayangannya saat balita. Ia sama sekali tidak faham perlakuan kurang ajar sang pelaku itu adalah hal yang tidak diperbolehkan. Untung sang Ibu melihatnya dan menghentikan perbuatan sang tukang majalah. Meski tak terlihat, tapi ternyata ia masih menyimpan trauma ketakutannya. Ia takut melepaskan anaknya sendiri. Ia pun mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk menjaga anak-anaknya agar tidak akan pernah mengalami pelecehan seperti yang pernah ia dapatkan.

Ada lagi sahabat saya yang digerayangi gurunya yang paling galak saat dipanggil untuk maju didepan kelas. Modusnya, disuruh menyanyi. Lalu saat sahabat saya menyanyi, sang guru pun menggerayanginya. Tidak ada yang tahu, karena meja sang guru menutupi aksinya. Sahabat saya itupun tetap bungkam tidak berani menceritakan kejahatan sang guru. Bahkan sampai saat ini, di usianya yang sudah lewat 40 tahun, ia masih menyimpannya dalam-dalam. Padahal jika pada waktu itu ada satu kata saja yang terlontar darinya mengenai kelakuan sang guru, saya jamin sang guru sudah “habis” . Hal ini pula yang menyebabkannya perhatian dan concern dengan kasus-kasus pelecehan seksual pada anak. Kemarahan yang tersisa sejak kanak-kanak itu yang membuatnya ingin membantu menyelamatkan anak-anak lain.

Seperti halnya apa yang terjadi pada sahabat saya ini, pelecehan seksual terjadi juga pada keponakannya. Diawali dengan kegalauan karena keponakannya yang suka rewel dan uring-uringan tanpa sebab yang jelas, membuat pertanyaan besar bagi sang Nenek yang sangat mengenalnya. Lalu akhirnya meluncurlah pengakuan dari si kecil ini bahwa ia sering dipegang kemaluannya oleh sopir antar jemputnya. Kebetulan antar jemput tersebut adalah antar jemput resmi dari sekolah. Dari situ, sang Nenek akhirnya meminta Ibu sang anak untuk memberitahu pihak Koperasi sekolah yang dipercaya untuk mengelola antar jemput tersebut. Tapi apa jawaban Koperasi? Mereka malah tidak suka dengan laporan ini dan marah dengan alasan bahwa laporan dari keluarga sahabat saya ini bisa berimbas si sopir antar jemput kehilangan piring nasinya. Astaga.. Kenapa tidak memikirkan keselamatan dan masa depan anak-anak? Dari situlah maka akhirnya Ibu si anak ini berinisiatif memberitahu ibu-ibu lain yang anaknya ikut dalam antar jemput tersebut. Dan taukah anda apa jawaban ibu-ibu yang lain? Sama persis dengan jawaban Koperasi Sekolah. Mereka tidak suka dengan maksud baik si Ibu ini yang ingin membantu menghindarkan kawan-kawan anaknya dari pelecehan seksual. Malah ganti si Ibu ini yang diomeli habis-habisan karena mereka tidak percaya dan tidak suka dengan langkah si ibu yang mereka anggap bisa mematikan piring nasi si sopir antar jemput dan menganggap si ibu ini berbohong.

Begitulah kehidupan. Aneh. Dan saya melihatnya seperti sebuah ironi. Dimana niat baik ingin menyelamatkan orang lain, dimana keinginan untuk menolong orang lain dianggap sebagai suatu langkah yang salah. Kepedulian tidak dihargai dan lebih sibuk dengan egoisme. Bagaimana kepedulian bisa tumbuh? Masyarakatnya sendiri menolaknya dan tidak menerima kepedulian orang lain. Malah kepedulian itu terkadang dianggap sebagai suatu ancaman, suatu bualan bahkan terkadang dianggap terlalu mencampuri hak pribadi mereka. Hmm.. untuk kasus pelecehan seksual, apalagi  terhadap anak, hal tersebut saya rasa bukan satu hal main-main. Ini masa depan, baik untuk anak itu sendiri maupun untuk masa depan generasi bangsa.

Seperti halnya juga para aktivis yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, seringkali mereka mendapat cemoohan. Aksinya memunguti dan mengumpulkan sampah, kemarahannya terhadap pencemaran lingkungan, usaha kerasnya untuk melindungi alam dari eksplorasi yang berlebihan inipun seringkali mendapat tanggapan sinis, cemoohan bahkan kadang menjadi korban dari masyarakat materialis yang tidak peduli dengan alam. Seperti halnya kematian pejuang lingkungan almarhum Salim Kancil yang melawan penambangan pasir Lumajang. Bahkan karena keserakahan, maka orang-orang yang tidak suka dengan perjuangan Salim Kancil pun tega menghabisi nyawanya. Demikian pula dengan Munir, aktivis HAM. Kepeduliannya dan perjuangannya telah sanggup membuat orang-orang yang tidak suka atau bisa jadi terancam dengan sepak terjangnya telah mengantarkannya menjadi korban racun sianida dan kehilangan nyawanya.

Coba lihat dan renungkan. Harus menunggu berapa banyak lagi orang-orang baik yang peduli sesama dan lingkungan kita biarkan berjuang sendiri, bahkan hingga kehilangan nyawanya demi membela kebenaran atau kehilangan nyawanya karena kepeduliannya yang begitu besar kepada anda, saya dan lingkungan? Betapa egoisnya kita. Seperti halnya kita yang hanya berteriak-teriak mencemooh LGBT tapi tidak berjuang menolong agar tidak ada lagi LGBT-LGBT baru yang muncul. Berjuang dan membela anak-anak korban kekerasan dan pelecehan seksual saja tidak anda lakukan, tapi anda hanya bisa berkoar-koar keras mencemooh mereka para kaum LGBT. Rasanya lucu melihatnya. Ironis...

Apa yang anda inginkan tidak jatuh begitu saja di pangkuan anda. Jika anda tidak mau banjir, tapi tidak berjuang melakukan sesuatu, itu sama saja dengan bohong. Anda mungkin sedang berkhayal atau mengalami halusinasi atau salah persepsi. Ayo, kita awali semua ini dengan reformasi terhadap diri kita sendiri. Orang Jawa bilang nggrayahi jithoke dhewe dhisik. Mulailah peduli. Punya rasa empati. Kita harus bersama-sama mengatasi semua permasalahan ini. Kita tidak bersama anak-anak kita 24 jam. Siapa yang akan menjaga anak-anak kita saat kita tidak ada di dekat anak-anak? Tentu saja lingkungan kita. Orang lain di sekitar anak-anak. Kalau kita sendiri tidak peduli dengan anak-anak orang lain, bagaimana mereka mau peduli dengan anak anda? Ayo bergerak. Kita lawan bullying dan pedofilia. Jangan ngarep masuk surga tujuh turunan kalau masih mau terima uang haram supaya diam atau supaya berbohong atau supaya tidak melakukan sesuatu yang harusnya bisa kita lakukan untuk menyelamatkan banyak anak-anak kecil yang tak berdosa dan perlu pertolonganmu. Atau diam saja tidak melakukan apa-apa walau anak-anak itu kita tau bahwa kita bisa menolongnya tapi kita enggan. Apa tidak mikir kalau kita tidak hidup sendiri... kita punya sepupu, anak, adik, cucu, keponakan, tetangga, atau siapa saja yang orang terdekat kita yang juga bisa jadi korban? Anda pikir apa yang terjadi pada korban tidak bisa terjadi pada anda? Hmmm...kalau demikian jalan fikiran anda, sepertinya jalan fikiran anda harus direbonding. 

Banjir di Sidoarjo ini kesalahan kita bersama. Tidak mungkin bisa Sidoarjo mengatasinya tanpa bekerjasama dengan daerah-daerah lain di sekitar Kabupaten Sidoarjo yang turut bergerak bersama mengatasi banjir. Ini semua perlu dukungan dari pemerintah Kabupaten dan seluruh masyarakat. Mari kita mulai dari diri sendiri. Hal kecil saja bisa sangat membantu. Mulai dari kita belajar untuk tertib membuang sampah ditempatnya, tidak begitu saja menutupi seluruh tanah kita dengan bangunan dan kita masih memberikan tempat untuk resapan, menggiatkan kembali kerja bakti, mencoba melakukan langkah-langkah baru seperti halnya membuat Biopori atau mengelola sampah atau hal-hal lainnya, bisa menjadi pemantik yang bermanfaat menularkan hal baik ini ke masyarakat yang lain. Ayo berubah menjadi lebih peduli dan berempati. Kita benahi semua ini bersama-sama.

BUKAN KAMU ATAU SAYA. TAPI KITA... AYO BERJUANG, JANGAN HANYA DIAM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun