Berbincang dengan 2 sahabat secara terpisah. Keduanya tak ada menampakkan trauma, tapi ternyata keduanya di masa lalu pernah mengalami pelecehan seksual. Sahabat saya yang satu, digerayangi oleh tukang majalah langganannya sambil membaca majalah kesayangannya saat balita. Ia sama sekali tidak faham perlakuan kurang ajar sang pelaku itu adalah hal yang tidak diperbolehkan. Untung sang Ibu melihatnya dan menghentikan perbuatan sang tukang majalah. Meski tak terlihat, tapi ternyata ia masih menyimpan trauma ketakutannya. Ia takut melepaskan anaknya sendiri. Ia pun mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk menjaga anak-anaknya agar tidak akan pernah mengalami pelecehan seperti yang pernah ia dapatkan.
Ada lagi sahabat saya yang digerayangi gurunya yang paling galak saat dipanggil untuk maju didepan kelas. Modusnya, disuruh menyanyi. Lalu saat sahabat saya menyanyi, sang guru pun menggerayanginya. Tidak ada yang tahu, karena meja sang guru menutupi aksinya. Sahabat saya itupun tetap bungkam tidak berani menceritakan kejahatan sang guru. Bahkan sampai saat ini, di usianya yang sudah lewat 40 tahun, ia masih menyimpannya dalam-dalam. Padahal jika pada waktu itu ada satu kata saja yang terlontar darinya mengenai kelakuan sang guru, saya jamin sang guru sudah “habis” . Hal ini pula yang menyebabkannya perhatian dan concern dengan kasus-kasus pelecehan seksual pada anak. Kemarahan yang tersisa sejak kanak-kanak itu yang membuatnya ingin membantu menyelamatkan anak-anak lain.
Seperti halnya apa yang terjadi pada sahabat saya ini, pelecehan seksual terjadi juga pada keponakannya. Diawali dengan kegalauan karena keponakannya yang suka rewel dan uring-uringan tanpa sebab yang jelas, membuat pertanyaan besar bagi sang Nenek yang sangat mengenalnya. Lalu akhirnya meluncurlah pengakuan dari si kecil ini bahwa ia sering dipegang kemaluannya oleh sopir antar jemputnya. Kebetulan antar jemput tersebut adalah antar jemput resmi dari sekolah. Dari situ, sang Nenek akhirnya meminta Ibu sang anak untuk memberitahu pihak Koperasi sekolah yang dipercaya untuk mengelola antar jemput tersebut. Tapi apa jawaban Koperasi? Mereka malah tidak suka dengan laporan ini dan marah dengan alasan bahwa laporan dari keluarga sahabat saya ini bisa berimbas si sopir antar jemput kehilangan piring nasinya. Astaga.. Kenapa tidak memikirkan keselamatan dan masa depan anak-anak? Dari situlah maka akhirnya Ibu si anak ini berinisiatif memberitahu ibu-ibu lain yang anaknya ikut dalam antar jemput tersebut. Dan taukah anda apa jawaban ibu-ibu yang lain? Sama persis dengan jawaban Koperasi Sekolah. Mereka tidak suka dengan maksud baik si Ibu ini yang ingin membantu menghindarkan kawan-kawan anaknya dari pelecehan seksual. Malah ganti si Ibu ini yang diomeli habis-habisan karena mereka tidak percaya dan tidak suka dengan langkah si ibu yang mereka anggap bisa mematikan piring nasi si sopir antar jemput dan menganggap si ibu ini berbohong.
Begitulah kehidupan. Aneh. Dan saya melihatnya seperti sebuah ironi. Dimana niat baik ingin menyelamatkan orang lain, dimana keinginan untuk menolong orang lain dianggap sebagai suatu langkah yang salah. Kepedulian tidak dihargai dan lebih sibuk dengan egoisme. Bagaimana kepedulian bisa tumbuh? Masyarakatnya sendiri menolaknya dan tidak menerima kepedulian orang lain. Malah kepedulian itu terkadang dianggap sebagai suatu ancaman, suatu bualan bahkan terkadang dianggap terlalu mencampuri hak pribadi mereka. Hmm.. untuk kasus pelecehan seksual, apalagi terhadap anak, hal tersebut saya rasa bukan satu hal main-main. Ini masa depan, baik untuk anak itu sendiri maupun untuk masa depan generasi bangsa.
Seperti halnya juga para aktivis yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, seringkali mereka mendapat cemoohan. Aksinya memunguti dan mengumpulkan sampah, kemarahannya terhadap pencemaran lingkungan, usaha kerasnya untuk melindungi alam dari eksplorasi yang berlebihan inipun seringkali mendapat tanggapan sinis, cemoohan bahkan kadang menjadi korban dari masyarakat materialis yang tidak peduli dengan alam. Seperti halnya kematian pejuang lingkungan almarhum Salim Kancil yang melawan penambangan pasir Lumajang. Bahkan karena keserakahan, maka orang-orang yang tidak suka dengan perjuangan Salim Kancil pun tega menghabisi nyawanya. Demikian pula dengan Munir, aktivis HAM. Kepeduliannya dan perjuangannya telah sanggup membuat orang-orang yang tidak suka atau bisa jadi terancam dengan sepak terjangnya telah mengantarkannya menjadi korban racun sianida dan kehilangan nyawanya.
Coba lihat dan renungkan. Harus menunggu berapa banyak lagi orang-orang baik yang peduli sesama dan lingkungan kita biarkan berjuang sendiri, bahkan hingga kehilangan nyawanya demi membela kebenaran atau kehilangan nyawanya karena kepeduliannya yang begitu besar kepada anda, saya dan lingkungan? Betapa egoisnya kita. Seperti halnya kita yang hanya berteriak-teriak mencemooh LGBT tapi tidak berjuang menolong agar tidak ada lagi LGBT-LGBT baru yang muncul. Berjuang dan membela anak-anak korban kekerasan dan pelecehan seksual saja tidak anda lakukan, tapi anda hanya bisa berkoar-koar keras mencemooh mereka para kaum LGBT. Rasanya lucu melihatnya. Ironis...
Apa yang anda inginkan tidak jatuh begitu saja di pangkuan anda. Jika anda tidak mau banjir, tapi tidak berjuang melakukan sesuatu, itu sama saja dengan bohong. Anda mungkin sedang berkhayal atau mengalami halusinasi atau salah persepsi. Ayo, kita awali semua ini dengan reformasi terhadap diri kita sendiri. Orang Jawa bilang nggrayahi jithoke dhewe dhisik. Mulailah peduli. Punya rasa empati. Kita harus bersama-sama mengatasi semua permasalahan ini. Kita tidak bersama anak-anak kita 24 jam. Siapa yang akan menjaga anak-anak kita saat kita tidak ada di dekat anak-anak? Tentu saja lingkungan kita. Orang lain di sekitar anak-anak. Kalau kita sendiri tidak peduli dengan anak-anak orang lain, bagaimana mereka mau peduli dengan anak anda? Ayo bergerak. Kita lawan bullying dan pedofilia. Jangan ngarep masuk surga tujuh turunan kalau masih mau terima uang haram supaya diam atau supaya berbohong atau supaya tidak melakukan sesuatu yang harusnya bisa kita lakukan untuk menyelamatkan banyak anak-anak kecil yang tak berdosa dan perlu pertolonganmu. Atau diam saja tidak melakukan apa-apa walau anak-anak itu kita tau bahwa kita bisa menolongnya tapi kita enggan. Apa tidak mikir kalau kita tidak hidup sendiri... kita punya sepupu, anak, adik, cucu, keponakan, tetangga, atau siapa saja yang orang terdekat kita yang juga bisa jadi korban? Anda pikir apa yang terjadi pada korban tidak bisa terjadi pada anda? Hmmm...kalau demikian jalan fikiran anda, sepertinya jalan fikiran anda harus direbonding.
Banjir di Sidoarjo ini kesalahan kita bersama. Tidak mungkin bisa Sidoarjo mengatasinya tanpa bekerjasama dengan daerah-daerah lain di sekitar Kabupaten Sidoarjo yang turut bergerak bersama mengatasi banjir. Ini semua perlu dukungan dari pemerintah Kabupaten dan seluruh masyarakat. Mari kita mulai dari diri sendiri. Hal kecil saja bisa sangat membantu. Mulai dari kita belajar untuk tertib membuang sampah ditempatnya, tidak begitu saja menutupi seluruh tanah kita dengan bangunan dan kita masih memberikan tempat untuk resapan, menggiatkan kembali kerja bakti, mencoba melakukan langkah-langkah baru seperti halnya membuat Biopori atau mengelola sampah atau hal-hal lainnya, bisa menjadi pemantik yang bermanfaat menularkan hal baik ini ke masyarakat yang lain. Ayo berubah menjadi lebih peduli dan berempati. Kita benahi semua ini bersama-sama.
BUKAN KAMU ATAU SAYA. TAPI KITA... AYO BERJUANG, JANGAN HANYA DIAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H