Mohon tunggu...
Ivone Dwiratna
Ivone Dwiratna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang hamba TUHAN

Believe, Belajar, Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sri Ngiler

19 Oktober 2015   04:26 Diperbarui: 19 Oktober 2015   08:35 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Ivone Dwiratna M

Pernahkah anda mendengar nama Sri Ngiler. Mungkin di sekitaran tahun 1980 an, nama ini sering terdengar diantara orang-orang yang berada di pusat kota Sidoarjo. Dia adalah orang yang dulunya mendapat cap sebagai orang yang tidak waras. Berjalan-jalan kesana kemari tanpa tujuan, menyapa anak-anak kecil di kompleks sekolahan. Seingat saya, orang-orang bilang dia jadi tidak waras karena kehilangan anaknya. Entahlah, tidak begitu jelas kisahnya di masa lalu. Saya dan teman-teman takut kalau ada Sri Ngiler didekat kami. Tapi beberapa teman saya sering memanggil-manggil namanya dan menggodanya.Bagaimana menurut anda tentang Sri Ngiler ini? Tentu saja dengan kondisinya orang tidak akan pernah percaya dengan kata-katanya. Orang tidak waras yang kesana-sini tanpa tujuan. Saya sering melihatnya duduk di dalam sekolah saya. Ada bangku panjang dari batu-bata yang diplester dengan atap di sisi samping Sekolah Dasar kami yang menjadi favoritnya. Ia tidak pernah mengganggu. Hanya duduk diam mengamati kami.

Kebetulan saat itu saya masih kecil. Saya masuk SD di usia 5 tahun. Karena sudah bosan saja di bangku Taman Kanak-kanak. Di usia 3 tahun saya sudah bisa membaca. Di usia 4 tahun, bacaan saya sudah koran Opa dan majalah-majalah Opa. Opa saya memang orang yang sangat suka membaca. Opa langganan semua koran dan majalah. Pagi, siang dan sore..terus saja ada koran dan majalah yang dikirim. Bacaan Opa memang agak berat. Tapi saya sangat menyukainya. Di SD kelas 2, biografi Madame Currie sudah habis saya baca disamping komik dan bacaan lainnya. Jadi, singkatnya saya masuk SD dengan jiwa kanak-kanak yang bisa jadi belum matang. Saya masih teringat saat seorang kawan menegur saya karena makan di dalam kelas dan saya tidak tahu bahwa di SD saya tidak bisa makan dan minum seenaknya (thanks dr.Lidya..sudah mengingatkanku saat itu). Parahnya, saya belum tahu aturan itu. Kemudian, di SD itu saya juga menghadapi kenyataan bahwa saya tidak tahu dimana kamar mandi sekolah berada dan setelah mengetahuinya, sayapun masih takut ke kamar mandi. Selain gelap dan sepi, saya juga masih takut untuk ijin ke kamar mandi.

Di sekolah dasar itu saya juga kembali bosan, karena masih diajarkan pelajaran membaca. Saya sudah lancar membaca dan menulis. Dan saya bosan. Apalagi kawan sebangku saya anak laki-laki yang bandel (#colek Yus..). Semua terasa membosankan dan menakutkan. Mulailah saya rewel di sekolah. Saya tidak mau masuk kelas. Saya memilih untuk dekat di kaki kakak saya yang waktu itu sudah SD kelas 2. Cukup mengganggu dan memalukan. Tapi saya menyukai pelajarannya. Hal baru yang tidak saya temukan di kelas 1.

Kakak saya terganggu dengan kehadiran saya. Saya terus saja ingin bersamanya di dalam kelas. Hampir setiap hari saya seperti itu. Kalau saya ingat, wajar Kakak saya merasa kesal dengan saya. Karena saya seperti kembar siam yang selalu menempel padanya, bahkan saat ia di dalam kelas. Lalu suatu hari, Kakak saya marah pada saya dan tidak ingin lagi saya mengganggunya. Astaga, ia satu-satunya orang yang saya rasa bisa saya percaya dan membuat saya merasa aman di sekolah. Dengan segenap fikiran anak kecil, saya berusaha bertahan bersamanya, sedang Kakak saya ingin mendepak saya jauh-jauh dari sisinya. Lalu kami bertengkar. Sri Ngiler melihat kami bertengkar. Ia juga melihat Kakak saya memukul saya dan saya hanya bisa menangis. Semua ini tidak saya ceritakan pada Mama. Bagaimana hari-hari saya di sekolah. Saya tetap bersekolah, tapi tiap hari bagaimana saya di sekolah, apa yang saya alami, bagaimana saat Kakak saya dan saya bertengkar juga tidak saya ceritakan. Saya begitu sedih dan takut. Tapi saya tidak berani bicara. Saya takut dimarahi Mama Papa. Padahal hubungan saya dan Mama sangat dekat. Tapi Mama tidak tahu apa yang ada dalam fikiran dan hati saya itu. Saya takut dimarahi Kakak saya jika ceritakan semua ini pada Mama. Terbayang nasib saya akan semakin buruk lagi di sekolah bila Kakak saya marah. Saya merasa sendiri, tidak ada yang menolong saya. Dengan segala pertimbangan kanak-kanak di fikiran saya, saya memilih diam.

Jika saya ditanya mengapa diam... bukankah saya tinggal cerita ke Mama atau Papa? Entahlah...saya juga heran. Fikiran kanak-kanak yang tidak rasional. Seperti halnya anak kecil yang tiap hari tanpa bisa kita tahu alasannya selalu minta dibelikan penghapus atau pensil karena penghapus atau pensilnya hilang. Bahkan sampai dia dewasapun apa alasan mengapa pensil atau penghapusnya selalu hilang tiap hari itu tidak pernah terungkap. Atau anak-anak yang diancam tidak ada yang mau berteman dengannya, diancam dimasukkan kamar gelap atau diancam dimasukkan gudang saja sudah sangat ketakutan. Anak kecil miliki ketakutannya sendiri. Jalan fikirannya berbeda dengan orang dewasa. Kadang ketakutannya tidak rasional, tidak bisa kita ketahui alasannya. Anak kecil juga mampu menyimpan rahasia yang tidak ia ungkap, bahkan hingga ia dewasa.

Sri Ngiler adalah saksi bisu saya. Kerewelan saya, bagaimana saya, dia lihat. Sampai suatu saat, saya terkejut. Tiba-tiba Mama saya menanyai saya. Bagaimana bisa Mama tahu saya bertengkar dan dipukul Kakak? Padahal saya tidak menceritakannya sama sekali. Ternyata Mama tahu dari Sri Ngiler. Wanita yang selama ini dianggap semua orang sebagai wanita yang tidak waras. Dia tiba-tiba datang ke rumah saya dan memberitahu Mama. Lapor kalau saya bertengkar dan dipukul Kakak saya. Aneh kan? Bagaimana seorang Sri Ngiler bisa berfikir untuk menyelamatkan saya. Memang ia sering lewat didaerah rumah saya, tapi bagaimana mungkin seorang tidak waras tiba-tiba meluangkan waktunya berjalan beberapa kilometer untuk datang ke rumah saya dan melaporkan kejadian tersebut? Berkat Sri Ngiler, akhirnya Mama saya tahu bagaimana kondisi saya di sekolah. Mama melakukan banyak hal dan menolong saya. Selanjutnya, agar saya berani, Papa pun mengajari saya bela diri. Memasang sansak dan melatih saya dan kakak sendiri setiap hari. Bukan untuk berkelahi. Tapi hanya agar saya percaya diri bahwa saya sanggup menghadapi segala kondisi tanpa perlu menjadi kembar siam yang terus menempel Kakak saya.

Saya tidak habis pikir dengan Sri Ngiler. Bagaimana jika Mama waktu itu membiarkan saja cerita Sri Ngiler berlalu begitu saja? Membiarkannya dan tidak melakukan apa-apa untuk saya? Untuk ini, saya berterima kasih pada Sri Ngiler dan Mama. Puji Tuhan, setelahnya saya pun dibolehkan membaca buku-buku Kakak saya untuk memenuhi rasa haus saya akan pengetahuan baru, Mama pun berkomunikasi dengan guru untuk mencari solusi atas masalah saya waktu itu yang setiap hari ribet dengan ketakutan saya sendiri.

Dari Sri Ngiler saya banyak belajar, bahwa kita harus bijaksana. Kadang ada orang yang bermaksud menolong dan kita langsung bereaksi negatif. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi bila Mama mengacuhkan laporan Sri Ngiler. Bagaimana bila Mama diam dan tidak bertindak? Mungkin saya tidak bertumbuh seperti saat ini.

Apa yang ada di benak Sri Ngiler saat itu? Apa yang bisa kita petik dari Sri Ngiler? Empati... Kepedulian sosial...
Orang yang selama ini dicap tidak waras, ternyata meluangkan waktunya berjalan kaki 2-3 km untuk menolong saya yang bisa jadi semua orang tidak pernah berfikir bahwa ia bisa berfikir waras untuk menolong saya. Seorang yang dicap tidak waras ternyata punya empati. Hal yang kadang sudah tidak lagi dipunyai orang waras.

Puji Tuhan Allah kirimkan Sri Ngiler untuk menolong saya. Seperti apa saya saat ini jika saya dulu hanya anak yang beraninya hanya duduk di dekat kaki kakaknya? Seperti apa saya saat ini jika Mama saya tidak peduli dengan cerita Sri Ngiler dan tidak bertindak menyelamatkan saya? Toh Mama tidak melihat keanehan dan kejanggalan pada saya dan hari-hari saya setiap harinya... saya pun tidak mengeluh apa-apa padanya...

Bagaimana jika ada seseorang yang tidak anda kenal, tiba-tiba berkata ada bahaya yang mengancam anak anda? Bagaimana jika ada yang memberitahu jika anak anda dibully atau dilecehkan atau apapun itu? Anda diam tidak peduli? Atau marah dan menganggap orang yang berusaha menolong anda tidak waras? Atau merasa hebat banget nih orang kok bisa lebih tau dari orang tuanya dan menanggapinya dengan sinis? Atau melakukan cek dan ricek, bersikap bijak dan bertindak?
Waktu tak pernah bisa kembali. Biar hanya sedetik... Diam, tidak peduli dan sinis... atau bijaksana dan bertindak? Semua pilihan ada ditangan kita masing-masing. Langkah kita saat ini adalah untuk sekian tahun bahkan puluhan tahun ke depan. Hidup itu pilihan....

Mengabaikan, diam dan bisa jadi sekian puluh tahun lagi menyesali karena tidak bertindak..
Atau bertindak, berjuang untuk diri sendiri dan orang lain; apapun hasilnya... setidaknya sudah berjuang all out

Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, tanpa kita berjuang untuk itu. Tak ada rizki yang jatuh dari langit tanpa bekerja... tak ada perlindungan terhadap anak-anak kita tanpa kita berjuang untuk melindunginya. Jangan kira yang terjadi di Jakarta tak bisa terjadi di Surabaya, jangan kira yang terjadi di Bali tak bisa terjadi di Papua... Segala kemungkinan bisa terjadi.

Dimanapun itu, kapanpun itu, bagaimanapun itu....bullying, pelecehan dapat terjadi pada orang-orang yang kita kasihi tanpa kita bisa tahu. Siapa yang akan menolong kita mencegah semua ini terjadi? Empati dan kepedulian sosial. Orang lain akan awasi anak kita dan cegah ia dalam bahaya saat tak bersama kita. Demikian pula kita, awasi..waspadai..laporkan dan cegah ada yang menyakiti atau mengganggu anak-anak..meskipun itu bukan anak kita.

Tidak mudah untuk mengedukasi masyarakat mengenai hal ini. Putus mata rantai bullying dan pelecehan pada anak-anak dengan peduli. Karena efek bullying dan pelecehan yang tidak diatasi/ ditrauma healing itu bisa jadi muncul baru sekian puluh tahun ke depan. Ironisnya, trauma healing itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang menyadari anaknya atau orang-orang terdekatnya menjadi korban. Bagaimana seorang anak yang menjadi korban bisa ditrauma healing jika ortunya merasa tidak ada sesuatu yang terjadi pada anaknya meski orang lain melaporkan kepada mereka jika anaknya diganggu/disakiti orang? Pembiaran dan ketidakpedulian itu yang akibatkan maraknya pelecehan dan bullying saat ini. Korban-korban yang dibiarkan dan ditutupi akhirnya menjadi pelaku.

Mana mungkin anak kita bisa menjadi korban bullying atau pelecehan? Sedangkan anak-anak sudah berusia cukup besar dan tidak ada hentinya kita nasehati untuk lari, teriak dan lapor jika ada yang lakukan itu. Kita yakinkan pada anak bahwa kita akan “hajar” orang yang berani ganggu anak-anak. Sementara itu, di lingkungan sekolah atau tempat lainnya, ia harus menghadapi kenyataan ada “PREDATOR” yang berani melecehkannya, sedangkan kawan-kawannya atau bahkan orang dewasa di sekitarnya mendiamkannya. Ia juga melihat kawan-kawannya dilecehkan, juga tidak ada reaksi, kawannya juga tidak berani melawan. Bisa jadi sang predator mengancamnya akan memasukkannya ke gudang atau memukulnya. Maka dengan pikiran kanak-kanaknya mereka berfikir bahwa kalau dia beritahukan hal ini pada orang tuanya, orang tuanya akan mengamuk pada “PREDATOR”, lalu “PREDATOR” akan memasukkan si anak ke gudang atau memukulnya. Jadi, dia cari aman. Toh sekelilingnya juga diam, maka lebih baik dia diam dan bilang tidak ada apa-apa. Simple! Tapi bagi orang tua yang tidak peka, diam anak tadi menurut mereka adalah berarti si anak tidak diganggu kok. Selama anak masih dalam lingkungan yang berbahaya tersebut, bagaimana anak berani jujur? Biar setahun...dua tahun...sepuluh tahun pun mungkin anak-anak tidak akan berkata apa-apa meski mereka sebenarnya perlu pertolongan.

Trauma healing itu bukan hanya mensupport anak-anak yang menjadi korban, membelikannya apa saja yang membuatnya senang, menasihatinya dari A-Z, membekalinya dengan bekal agama yang kuat, menghiburnya, menyibukkannya, menyenangkannya, mendekatinya. Tapi mereka juga perlu contoh nyata dari orang tua yang bertindak. Yang berjuang dengan segenap hati dan kemampuannya untuk melindungi dan menegakkan harga diri sang anak. Anak perlu hadiah atas kejujurannya dan keberaniannya dengan perjuangan kita.

Apa yang ada di benak anda jika anda adalah anak anda dan melihat orang tua hanya diam tidak bertindak, menutupi bahkan tidak peduli atas laporan orang akan gangguan yang telah kita terima? Pasti sedih, kecewa dan terluka. Dengan menutupinya, anak jadi merasa ini adalah aib dan akankah kita membiarkannya memanggulnya seumur hidup? Berjuanglah! Tegakkan harga diri anak anda! Buktikan kepadanya anda melindunginya dengan sekuat tenaga. Bukan mencontohkannya lari dari kenyataan dan membangun dinding semu untuk anak anda seolah tidak ada apa-apa. Ajak anak anda melawan ketakutannya, ini bukan kesalahannya, menghapus air matanya, menegakkan kepalanya, membangun harga dirinya kembali. Ajarkan pada anak anda dengan perbuatan nyata. Bukan mimpi... uang anda tidak bisa membeli kebijaksanaan dan membayar penyesalan, tidak bisa mengembalikan waktu yang telah anda sia-siakan. Apa yang anda putuskan saat ini adalah penentu masa depannya. Berjuanglah, dampingilah, dengarkanlah mereka... karena mereka yang akan jalani masa depannya nanti dan bukan kita. Berjuang dan bukannya menunggu hasil perjuangan orang dengan menontonnya saja. Berjuang, lakukan banyak hal! Bergabung berjuang untuk anak-anak dan menunggu perjuangan orang akan menghasilkan hasil yang beda. Anak-anak kita belajar dan mengamati apa yang kita lakukan, apa yang kita putuskan. Apa yang kita lakukan ini adalah bagian dari langkah besar. Melindunginya dan seluruh anak-anak yang ada dengan gerakan kepedulian. Apa yang terjadi pada orang lain, belum tentu tidak dapat terjadi pada kita. Bisa cepat, bisa lambat. Bisa kena, bisa tidak. Apapun bisa terjadi tanpa kita tahu. Sedetik kedepan saja kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Akankah kita membiarkan anak-anak atau cucu kita dalam bahaya?

Bangunlah empati dan kepedulian sosial. Lebih aware pada sekeliling. Dengan langkah kecil ini, kita bisa menyelamatkan lebih banyak lagi anak-anak dari bahaya bullying, pelecehan atau apapun bentuk kekerasan pada anak. Lindungi, cegah, lawan dan laporkan. Jangan hanya diam. Karena diam adalah bentuk pengkhianatan, sebab anak-anak anda, saya dan kita semua adalah amanah Allah. Jawaban apa yang anda berikan pada Allah saat kita harus kembali kepada Allah?


Be wise....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun