Mohon tunggu...
iva umu maghfiroh
iva umu maghfiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Terbuka

Saya adalah seorang perempuan yang gemar menulis dan ingin selalu berbagi kebahagiaan dengan siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dampak Penggunaan Teknologi Kesehatan pada Hubungan Dokter dan Pasien

16 Agustus 2024   08:25 Diperbarui: 16 Agustus 2024   08:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/illustrations/dokter-rsud-kesehatan-medis-6701410/

Hubungan antara dokter dengan pasien seiring berkembangnya teknologi kesehatan telah mengalami banyak dampak baik yang bagus maupun buruk dan berikut ini beberapa di antaranya:

Mempermudah akses kesehatan

Salah satu bentuk perkembangan teknologi kesehatan yang sedang marak hari ini adalah dibukanya aplikasi maupun situs pelayanan kesehatan yang memungkinkan pasien mengakses kesehatan dengan lebih mudah. Misalnya, melakukan reservasi di rumah sakit secara daring, atau malah melakukan konsultasi kesehatan secara daring yang memungkinkan untuk diakses kapan dan di mana saja. Selain itu perkembangan internet juga semakin memudahkan orang untuk mengakses pengetahuan soal kesehatan, seperti yang terjadi pada masa Covid19 beberapa tahun silam, di mana kitab isa membeli obat-obatan secara daring dan sejenisnya.

Efisiensi dan terjangkau

Masih menyambung pada poin satu, mudahnya akses kesehatan ini juga semakin menekan efisiensi dalam penanganan kesehatan. Dokter bisa melayani lebih banyak orang, dan pasien yang jauh bisa tetap punya kesempatan konsultasi dengan dokter. Intinya di sini siapapun dan di manapun bisa terjangkau, bisa menjangkau dan bisa memanfaatkan waktu lebih efisien.

Namun sayangnya, teknologi ini tidak hanya memudahkan tetapi juga memiliki sisi lain. Mudahnya akses kesehatan tidak hanya membuat masyarakat semakin bagus pengetahuannya tetapi juga menyulitkan mereka untuk melakukan verifikasi informasi. Seperti kejadian yang beberapa waktu lalu ramai, yaitu seorang konten creator di Tiktok yang membuka pengobatan 'psikologi' berbayar dan ternyata dia bukanlah psikolog maupun psikiater yang punya kompetensi untuk menangani pasien.

Menyebabkan hubungan lebih ke bisnis dan tidak dekat secara emosional.

Poin ini sebenarnya masih berhubungan dengan kedua poin sebelumnya, di mana dalam konsultasi daring yang dilakukan antara dokter dan pasien menjadi tidak dekat secara fisik dan emosional. Padahal tidak semua penyakit bisa ditangani dengan konsultasi virtual, banyak juga jenis penyakit yang mengharuskan observasi langsung, yang harus dicek secara langsung oleh dokter. Padahal menurut Parson, dalam menyembuhkan pasien terkadang dokter harus melibatkan hal yang bersifat sangat pribadi, selain kontak fisik dokter juga bisa menanyakan hal-hal pribadi yang tidak diungkapkan kepada orang lain oleh si pasien yang kemudian membuat hubungan keduanya tercipta yang namanya ketergantungan emosional. Yang mana ini tidak akan atau paling tidak sangat sulit terjadi dalam pengobatan atau konsultasi virtual.

Biaya mahal dan tidak merata

Teknologi kesehatan nyatanya tidak hanya ada pada 'aplikasi' semacam itu tetapi juga perkembangan alat-alat kesehatan seperti peralatan kesehatan untuk penyakit jantung, adanya alat virtalisasi medis dan lain sebagainya. Yang tentu membutuhkan biaya mahal. Beruntung kita di Indonedsa memiliki sistem yang bernama BPJS dan itu sangat memudahkan sekali meskipun seringkali pada praktiknya masih ditemui beberapa kekurangan. Namun, yang jelas teknologi semacam ini butuh biaya mahal dan sayangnya, keberadaannya juga tidak merata di setiap fasilitas kesehatan.

Seperti yang baru saja saya alami, saya diharuskan mencabut gigi bungsu tetapi dikarenakan tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas untuk melakukan operasi kecil ini, maka akhirnya saya harus ke rumah sakit lain yang cukup jauh dan mengantre lama untuk mendapatkan giliran sebab jumlah pasien di sana sangat banyak dan tidak memungkinkan bagi dokter untuk melakukan banyak pembedahan dalam waktu cepat. Selain itu, jumlahnya alat medis dan dokter yang tidak seimbang dengan pasien juga akhirnya membuat waktu kiita berkonsultasi dengan dokter menjadi terbatas sebab harus segera berganti pada pasien lain.

Memberi banyak pilihan pengobatan

Seiring perkembangan teknologi hal ini semakin melahirkan inovasi kesehatan. Di mana dokter hari ini telah bisa memberikan banyak pilihan pengobatan kepada pasiennya. Misalnya, pada orang dengan penyakit gagal ginjal dilakukanlah kegiatan cuci darah dan pencangkokan ginjal (yang tentu tidak mudah di dapatkan) yang rasanya mustahil di lakukan pada beberapa masa sebelum ini, bahkan sekarang para dokter dna ilmuan sedang berupaya supaya manusia bisa mendapatkan ginjal buatan atau malah menerima ginjal dari Babi. Rasanya, kala itu masih sangat jauh tapi para dokter dan ilmuan tidak menutup mungkinkan kala itu, sebab beberapa tahun lalu sempat ada pasien mati otak yang tubuhnya telah diberikan eksperimen untuk menerima donor ginjal Babi dan bisa bertahan. Dan benar saja pada tahun 2024 ini, seorang pria bernama Richard Slayman di Amerika Serikat menjadi manusia pertama yang berhasil hidup sehat setelah menerima donor dari ginjal babi.

Masalah nilai dan etika.

Kasus Richard tentu akan menimbulkan masalah dalam nilai dan etika di masyarakat. Seorang manusia yang menerima rekayasa genetic dari organ tubuh binatang tentu menimbulkan banyak perdebatan terutama dalam aturan hukum dan agama. Terlebih bagi kita yang merupakan masyarakat mayoritas muslim, hal semacam ini sepertinya akan sulit diterima oleh masyarakat kita. Dan menimbulkan banyak pro dan kontra.

Timbulnya masalah kebijakan sosial

Salah satu kebijakan sosial yang menimbulkan masalah karena teknologi kesehatan adalah aborsi dan penggunaan ibu pengganti. Tidak semua negara mengizinkan adanya praktik aborsi dan ibu pengganti. Terutama di negara mayoritas islam seperti Indonesia, rasanya hal semacam ini akan terus menjadi perdebatan panjang dan tidak mungkin diterapkan. Bahkan saat korban pelecehan seksual 'meminta' izin aborsi saja awalnya juga timbul pertentangan dari masyarakat. Beruntung, kemudian pemerintah masih 'memberi' keringanan untuk aborsi di mana di Indonesia sendiri ada beberapa kondisi di mana seorang ibu boleh mengaborsi janin dalam kandungannya.

Penggunaan Big Data dan Analitik

Big data dan analitik dalam bidang kesehatan semakin hari semakin berkembang guna menunjang analisis epidemiologi, mempermudah penelitian kesehatan, memantau penyakit serta mengambil kesimpulan yang terbaik di bidang kesehatan demi membantu merencanakan kebijakan kesehatan dan pencegahan penyakit.

Rekam medis bocor

Salah satu penggunaan big data ini adalah adanya rekam medis pasien. Di mana dokter dapat melakukan pertimbangan dengannya tetapi sayangnya, rekam medis ini bisa bocor. Terutama di Indonesia yang sistem keamanannya masih sangat lemah. Hal ini tentu dapat sangat berbahaya dan bisa merugikan pasien.

Ketergantungan pada teknologi.

Dalam mengadopsi perkembangan teknologi kesehatan seringkali terjadi ketergantungan berlebihan terhadap teknologi yang digunakan dan mengabaikan aspek-aspek lain penting lainnya dalam melakukan perawatan kesehatan seperti yang saya bahas di poin-poin awal. Dokter dalam hal ini dituntut untuk mempertahanakan keseimbangan antara teknologi dan interaksi manusia dalam melakukan pelayanan kesehatan dengan cara meningkatkan literasi digital, lebih melindungi privasi dan data pribadi kesehatan pasien.

Referensi:

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2yx9x4gk7o

https://www.hukumonline.com/klinik/a/aspek-hukum-tentang-isurrogate-mother-i-ibu-pengganti-lt4c562a3b4bba4/ 

https://teknologi.bisnis.com/read/20220107/84/1486327/jutaan-data-pasien-rs-indonesia-bocor-ini-kronologi-lengkapnya 

https://tirto.id/aborsi-masih-tabu-hukum-indonesia-membatasinya-secara-ketat-dhMS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun