Mohon tunggu...
Ivan Yusuf Faisal
Ivan Yusuf Faisal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bukan jurnalis, hanya sharing. Rijks Universitêit de Gröningen, Ned

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Togog Menggugat

13 November 2017   01:51 Diperbarui: 13 November 2017   02:06 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa orang marah itu ibaratnya menggendong buto, menggendong raksesa. Apalagi calon istrinya yang selama Togog nganggur ini mukanya sudah ditekuk terus baru saja marah-marah soal rencana Togog. Togog mulai dibandingkan sana sini. Ditambah marah soal tentara Ngastina tadi, bisa-bisa istrinya histeris kalau melihat Togog ikutan marah, dan memnggunakan senjata pamungkasnya, air mata. Kalo bisa jadi gay, mungkin Togog ini milih nikahin Mbilung sahabatnya yang lebih pangerten ketimbang calonnya yang sekarang.

Soal rencana-rencana yang diutarakan Togog, ia malah didamprat calon istrinya. Tadi sekali, sebelum ada tetangga ribut yang pamer dia tentara Ngastina mau meminangnya, Togog pun permisi hendak pamit mau ke pasar biar ngga stres. Maksud Togog daripada dia ngganggur di rumah terus karena sudah tidak ada lagi oposisi, sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai lapangan pekerjaan, lebih baik dia keluar rumah. Ini agar calon istrinya tidak malu sama tetangga punya suami klentrak-klentruk ngga punya kesibukan hobinya ngganggu sang calon.

Eh, belum selesai kalimat pamitan sang Togog, calon istrinya sudah menyambar. "Buat apa pergi ke pasar???", "Di pasar itu sudah banyak orang. Sudah ramai. Ndak ada gunanya. Kalau Sampeyan mau ngramek-ngramekno tempat pergi ke tempat-tempat yang masih sepi. Ke dalam sumur. Ke dalam laut, yang jauh."

"Lho, Nduk, aku ini pergi bukan untuk ngramek-ngramekno pasar. Opo meneh mbadut. Dumeh aku lemu. Namanya pasar yo genah wae rame. Sing sepi iku nek gak kuburan yo atiku. Aku ini ke pasar justru mau menukarkan wool yang kamu belikan dulu, yang nggak pernah kepakai karena kurang anget, udah gitu sesak dibadan ndak bisa masuk. Padahal sekarang ini pas lagi nganggur, pasti sudah tidak kebeli lagi wool gini."

"Nggak usah ke pasar. Sampeyan itu kakean pertingsing, kakean polah. Wool kurang anget ndak usah ditukar. Siram lengo mambu wae terus tak sulut neng awakmu sing kakean janji nikahi aku. Kalo ndak muat dibadanmu, sekarang badanmu saja sini dikecilin! Aku deplok pake lumpang ambek bawang brambang!"

Wah, kalau calon istri Togog sudah seperti itu, dia tidak berani meneruskan pertengkaran. Togog hanya mencari akal lain. Ia bersama sahabatnya yang juga sama-sama kehilangan kerja akibat sirnanya kaum oposisi, yaitu Mbilung, kompakan. Suatu hari Mbilung berpakaian coklat ala PNS datang menjemput Togog plus membawakan seragam serupa. Togog pamit ke calon istrinya sudah keterima menjadi bilang kalo itu Toga Hakim, karena ia pernah janji kalo dia nggak diangkat jadi hakim di Ngastina atau Ngalengka atau di Pringgondani atau sukur-sukur keterima Hakim di Jonggring Saloka mengadili Dewa-Dewa yang sakgeleme.

Ah tapi sudahlah, wong ya Togog gagal bukan karena ngga adil ato goblok. Tapi karena paugerannya melarang. Mungkin Togog overqualified. Dia pun cengingisan. Ah masih ada tahun depan, windu depan, dasawarsa depan.

Lagi seru-serunya menghayal, Togog dibangunin Mbok de Sarpakenaka, si pemilik warung kopi. Diteguknya kopi terakhir, dan ia pun pergi dengan seragam PNSnya sambil nelongso, tapi agak cengengesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun