Tahun 1926, Arendt pindah ke universitas Heidelberg untuk belajar di bawah Karl Japers. Setelah Hitler berkuasa di Jerman, Arendt memilih untuk pindah ke Polandia, Swis dan Paris-Prancis. Di sana, selama 6 tahun ia bekerja sebagai pendamping para pengungsi. [4]
Pada tahu 1941, Arendt keluar dari Paris, dan pindah ke New York, Amerika Serikat. Di Amerika, Arendt terlibat dalam pembuatan jurnal-jurnal sosial. Di New York ia mengajar di beberapa Universitas di Amerika. Arendt menjadi professor filsafat politik di Amerika. Beberapa tulisannya seperti: the origins of Totalitarianism, Eichmann in Jerusalem, dan Human Condition.[5]
Apa itu banalitas kejahatan
Banalitas kejahatan adalah istilah yang dipakai oleh Hanna Arendt untuk mengungkapkan sebuah kritik terhadap positifisme hukum. Istilah ini muncul ketika Arrendt mendengar pembelaan Eichman yang tidak merasa bersalah terhadap pembantaian yang dia lakukan terhadap kaum Yahudi. Eichman menyatakan bahwa: "Eichman hanya merasa bersalah dihadapan Tuhan, bukan di hadapan hukum,"[6] Apakah tidak cukup bukti untuk menyatakan Eichman bersalah sehingga dia merasa tidak melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi. Eichman menyatakan bahwa   Â
terkait pembunuhan orang-orang Yahudi, saya sama sekali tidak melakukannya. Saya tidak pernah membunuh orang Yahudi, atau non Yahudi. Saya tidak pernah membunuh manusia. saya juga tidak pernah memberi perintah membunuh orang Yahudi atau non-Yahudi; saya sama sekali tidak pernah melakukannya," atau sebagaimana dia kemudia memperjelas pernyataannya," itu terjadi begitu saj ...bahwa saya tidak pernah sekalipun melakukannya"-karena tidak diragukan ia bisa saja membunuh ayahnya sendiri jika ia menerima perintah melakukan itu[7]. Â Â Â
Eichman bahkan dengan lantang berbicara bahwa dia justru harus mendapatkan kehormatan dari Negara, karena ketaatannya sebagai warga Negara. Inilah yang kemudian disebut oleh Arend sebagai banal. Banal karena rasionalitas dihancurkan dihadapan kekuasaan. Banalitas kejahatan dengan demikian menunjuk pada ketundukan rasio pada kuasa.
Rasio tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan kekuasaan. Seperti halnya Eichman merasa tidak bersalah di hadapan hukum positif, karena dia bertindak atas sebuah perintah.
Ketaatan pada perintah Negara adalah sebuah keharusan. Bahkan Eichman lebih jauh mengatakan bahwa: "Tentang kesadaran, ia ingat betul bahwa ia mempunyai perasaan tidak enak hanya jika ia belum melakukan apa yang diperintahkan padanya-yakni, dengan gairah besar dan perhatian paling teliti, mengirim jutaan pria, wanita, dan anak-anak ke kematian mereka."[8] Eichman justru merasa bersalah, bahkan mungkin merasa berdosa sekiranya dia tidak melaksanakan perintah pembunuhan.
Hanna Arendt menyebut ini sebagai banalitas kejahatan. Karena manusia tidak lagi mau tunduk pada rasionalitasnya, tetapi hidup berdasarkan perintah. Secara etimologi sendiri, "banalitas"[9] dari kata kerja ban yang bisa berarti perintah, menyatakan. dari Proto-Jermanik  bannan "memberitakan, perintah, melarang" Karena itulah kata banalitas tidak hanya sekedar menunjuk pada perintah untuk melakukan kejahatan, tetapi juga sebuah pemberitaan akan kejahatan.
Banalitas bahkan dapat ditafsirkan sebagai hilangnya kesadaran manusia dalam bertindak, karena dia tidak lagi otentik dirinya sendiri. Dalam bahasa yang lain manusia tidak lagi menjadi dirinya sendiri atau manusia menampilkan diri dalam ketidak otentikannya. Atau banalitas juga bisa bermakna kejahatan yang dianggap sebagai sebuah kewajaran.Â
Banalitas kejahatan tidak hanya menunjuk pelaku kejahatan sebagai orang yang tidak otentik, tetapi juga kritikan atas positifisme hukum. Di mana positifisme hukum, bisa membuat manusia lolos dari jeratan hukum atas dasar ketidaksadaran manusia. Manusia seperti tidak mengenal dirinya. Pertanyaannya adalah apakah Eichman sadar dengan apa yang dia katakan.