Mohon tunggu...
ivan sampe buntu
ivan sampe buntu Mohon Tunggu... Dosen - Aku Mencintai Maka Aku Ada

Hidup itu hanya sebuah petualangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teodise (Pembenaran Tuhan): Dialog dengan Leibniz di Masa Pandemi Covid-19

16 Juni 2020   08:30 Diperbarui: 16 Juni 2020   08:44 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan tentang realitas kejahatan di dunia bukanlah pertanyaan yang baru muncul di dunia post modern. Pertanyaan ini pertama kali ditanyakan oleh Filosof Epikuros (341-270 Sm). Pertanyaan Epikuros, Jika Tuhan itu Mahakuasa dan Mahabaik, mengapa Ia tidak menghilangkan kejahatan dari muka bumi? 

Epikuros memberi jawaban problematis, Jika Allah tidak dapat mencegah kejahatan, maka Ia tidak sepenuhnya berkuasa. Jika Allah tidak mau mencegah kejahatan, maka Ia tidak sepenuhnya baik. Jika Allah mau dan mampu mencegah kejahatan, maka kenapa kejahatan ada? Tidak ada jawaban atas pertanyaan terakhir. Mengapa Allah yang bisa dan mampu mencegah kejahatan tidak melakukannya.

Jika pertanyaan ini diajukan dalam situasi yang sedang dilanda oleh bencana pandemi covid 19, maka mungkin kita pun bingung untuk memberi jawab. Atau mungkin kita punya jawaban yang berbeda-beda. Tetapi jika sekiranya pertanyaan ini diajukan pada Agustinus dan Thomas Aquinas (di abad pertengahan), maka mereka akan menjawab; kejahatan bukanlah sesuatu (a thing), melainkan tiadanya sesuatu (nothing). 

Dengan kata lain Tuhan sebagai pencipta pengada tidak dapat menjadi penyebab kejahatan. Kejahatan hadir bukan karena Tuhan, tetapi karena ketidak hadiran kebaikan. Seperti halnya gelap ada karena tidak adanya terang. Demikianlah kejahatan bukanlah pengada (being) melainkan merupakan tiadanya kebaikan.

Pandemi covid 19 adalah bencana (malum Physicum bukan malum Morale) yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Apakah Tuhan menghendakinya? Melihat pandangan Agustinus dan Aquinas, maka nampaknya Tuhan pun tidak menghendakinya. Untuk masuk lebih dalam, maka kita akan melihat bagaimana Leibniz filsuf abad pencerahan, yang bergulat dengan konsep teodise mengurai hal ini.              

Memahami Teodise Leibniz di Masa Pandemi

Leibniz sendiri membagi kejahatan dalam tiga bagian, kejahatan metafisis, kejahatan fisik, dan kejahatan moral. Kejahatan metafisis yang terlihat pada ketidak sempurnaan dunia, mengakibatkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia. Kejahatan fisik dilihat pada bencana alam, penderitaan manusia serta penyakit yang mematikan. Sedangkan kejahatan moral, dilihat pada kejahatan manusia yang dilakukan atas kehendak bebasnya.

Pertama, kejahatan metafisis. Leibniz terkenal dengan ungkapannya bahwa, Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia terbaik dari semua kemungkinan dunia yang lain. Tetapi Leibniz sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa dunia ini sudah sedemikian sempurna. Dunia ini tidak mungkin sempurna sebagai ciptaan, karena hanya Allah yang sempurna. 

Dunia itu bukan Tuhan seperti dalam panteisme, karena itu dia tidak sempurna. Ketidak sempurnaan inilah yang menyebabkan terjadinya keburukan dan penderitaan. Franz Magnis menyebut, "karena itu sudah jelas bahwa kemungkinan untuk menderita termasuk kodrat manusia."     Kedua, kejahatan fisik. Kejahatan fisik akan mewujud dalam penderitaan, kemalangan, dan dukacita. Penderitaan tersebut bisa disebabkan oleh bencana alam atau wabah penyakit seperti covid 19. 

"Leibniz berpendapat bahwa penyebab utama kejahatan fisik adalah kejahatan moral. Yang disebut kejahatan moral adalah dosa, yaitu kesalahan yang dilakukan manusia atas dasar kehendaknya sendiri" (Vicentius Damar, Kejahatan Dalam Dunia Yang Terbaik). Penderitaan manusia hari ini, jika ditanyakan pada Leibniz, maka dia akan menjawab bahwa, pandemi covid 19 sesungguhnya disebabkan oleh adanya kejahatan moral manusia.

Ketiga, Kejahatan moral. Dalam kejahatan moral, unsur kebebasan dari subjek pelaku menjadi sangat penting. Tanpa kebebasan tidak ada kejahatan moral, tidak ada dosa. Kejahatan moral adalah sesuatu yang secara sadar dan sengaja melawan apa yang benar dan baik. Tindakan ini akan menyebabkan penderitaan bagi orang lain pun bagi pelaku. Kehendak bebas ini menjadi gerbang kejahatan manusia. "kehendak bebas manusialah yang merupakan celah bagi masuknya kejahatan di dunia ini, khususnya kejahatan moral yang lalu menyebabkan penderitaan makhluk rasional" (Vicentius Damar).      

Memahami konsep kejahatan dalam pandangan Leibniz memudahkan kita untuk melihat, dan menjawab pertanyaan epikuros ttg kejahatan. Jika Tuhan itu Mahakuasa dan Mahabaik, mengapa Ia tidak menghilangkan kejahatan dari muka bumi? Jawabnya bukan Allah tidak mau dan tidak mampu, bukan juga Allah mampu tetapi tidak mau, atau Allah mau tapi tidak mampu. Untuk memahami ini, Leibniz pernah menolak pandangan kaum fideis yang menganggab bahwa Tuhan dapat turun langsung dalam menghilangkan kejahatan dan penderitaan di muka bumi ini. Leibniz menyebut, keterlibatan langsung Tuhan dalam dunia ini hanya terjadi lewat Mukjizat.  

Lewat mukjizat, Tuhan dapat mengubah hukum-hukum alam sesuai keinginannya. Tetapi apakah mukjizat dapat diatur sesuai kehendak manusia? Kata Leibniz, Mukjizat terjadi karena kehendak Tuhan sendiri, sehingga tidak ada faktor eksternal yang mempengaruhi. Karena itu mukjizat tidak dapat diatur oleh manusia, di mana akan terjadi, dan kapan waktunya! Mukjizat itu adalah cara Allah menghadirkan dirinya dalam keseharian manusia, tetapi kehadiran itu tidak tergantung pada keinginan manusia, tetapi kehendak Allah sendiri. Kehadiran langsung itu dapat dilihat pada mukjizat.

Pertanyaannya, sekiranya Allah tidak hadir dalam menolong manusia, apakah ini berarti ia kehilangan kemahakuasaannya sebagai Allah? Apakah ia kehilangan kemahabaikannya? Leibniz meminta kita untuk kembali melihat fakultas dalam diri Allah ( Rasio, kehendak dan kuasa). Fakultas yang dipunyai Allah tidak mungkin menuntunnya melakukan apa yang bertentangan dengan keniscayaan moral dan keniscayaan logis. Allah justru telah kehilangan kemahakuasaannya ketika dia tidak bebas dalam memilih apa yang dia akan lakukan, termasuk hal yang bukan terbaik. Tentu Tuhan bebas memilih apa yang paling baik sesuai kebijaksanaan ilahi yang dimiliki-Nya.    

Mengapa Tuhan tidak menghentikan penyebaran covid 19? Maka pertanyaan ini absurd, karena menempatkan posisi Tuhan seolah olah hanya mempunyai satu pilihan, dan tidak memberi ruang kebebasan kepada Tuhan. Pilihan Tuhan hanya satu, yakni menghentikan Covid 19 agar kemahakuasaan dan kebaikannya dapat terlihat. 

Tidak ada hubungan kemahakuasaan Tuhan dan covid 19. Karena covid 19 itu bukan being, dia adalah non being. Jika Leibniz mengikuti tradisi abad pertengahan, maka Leibniz akan menjawab; covid 19 itu ada, karena ketiadaan sesuatu. Jadi codiv 19 itu tidak pernah akan ada, jika ada vaksinnya. Seperti halnya gelap itu ada karena tidak ada terang. Terang adalah being dan gelap adalah non being. Sehingga jika being itu telah ada, maka non being segera akan berakhir.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun