Allah telah mati dan kitalah pembunuhnya. Demikian kata orang gila kepada orang-orang yang ada di pasar. Dalam tafsiran Setyo Wibowo menjebut bahwa, orang-orang yang didatangi orang gila di pasar adalah orang-orang yang memang tidak mengenal Allah. Sehingga kelompok ateis tersebut justru menertawakan dan mengolok-olok orang gila tersebut karena mencari Allah yang mereka tidak percayai.Kata orang gila itu di mana Allah? Di mana Allah?Â
Para ateis yang ada disitu mengolok-olok si gila dengan perkataan: "Apakah dia hilang? Apakah dia tersesat seperti anak kecil? tanya yang lain. Atau mungkin dia bersembunyi? Apakah dia takut pada kami? Apakah dia pergi ke laut? Beremigrasi? Si gila tiba-tiba melompat dan dengan tatapan mata yang tajam menyebut Allah telah mati, dan kita adalah pembunuhnya (aku dan kamu adalah pembunuhnya).
Tuduhan si gila bahwa kita adalah pembunuh Allah, membuat orang-orang diam tidak mengerti. Para ateis yang ada disitu tidak menemukan makna, apa konsekuensi dari kematian Tuhan. Si gila kemudian membuang lampunya dan pergi meninggalkan orang-orang tersebut, sambil berkata: aku datang terlalu cepat, waktunya belum tiba. Pertanyaannya adalah mengapa para ateis ini seperti tidak mengerti dengan apa yang dikatakan si gila.Â
Apakah mereka memang tidak paham? Atau pura-pura tidak tahu? Nampaknya para ateis ini ingin mengatakan pada si gila, jika Tuhan sudah mati, mau apalagi! Toh kami masih mempunyai tuhan-tuhan lain seperti science, atau rasionalitas. Tuhan mati tidak ada dampaknya bagi kami. Kami punya tuhan yang lain. Tuhan sebagai kepercayaan telah mati, dan kitalah pembunuhnya, kata Nietzsche. Nietzsche ingin menyampaikan zaman baru, zaman nihilistik. Zaman di mana tidak adalagi pegangan apapun.
Ya, tidak ada pegangan, nihil! Bahkan zaman matinya Tuhan bagi Nietzsche adalah zaman kekosongan. Nietzsche dalam hal ini, tidak hanya mendeklarasikan sikap ateismenya, tetapi juga mengkritik secara habis ateisme yang masih mempunyai pegangan, atau fondasi. Bagi Nietzsche itu pun adalah sebuah keyakinan. Tuhan sudah mati, dengan demikian benar-benar bicara tentang nihilisme. Sebuah kekosongan yang tanpa pegangan.Â
Tetapi Nietzsche kemudian balik bertanya, "Bagaimana mungkin kita mengosongkan lautan? Siapa yang telah memberikan kepada kita spon (spange) untuk menghapus seluruh horison? Apa yang telah kita buat dengan melepas bumi ini dari matahari? Ke mana bumi ini sekarang berputar? Ke mana gerak bumi ini membawa kita sekarang?Â
Jauh dari segala matahari-matahari? Tidakka kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti? Terperosok ke belakang, ke samping ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada atas dan bawah? Tidakkkah kita sekarang menyassar-nyasar melalui kekosongan tanpa batas? Tidakkah kita rasakan hembusan kekosongan? Bukankah rasnya lebih dingin? Tidakkah rasanya menjadi malam dan semakin lama semakin malam?".
Pertanyaan-pertanyaan Nietzsche tersebut, menjadi sebuah refleksi mendalam bagi kaum ateis. Apa mungkin kita benar-benar kehilangan pegangan, seperti melepaskan bumi dari matahari, dan membiarkan bumi berputar tanpa arah? Apa mungkin mereka yang menyebut diri tidak bertuhan yang ada di pasar benar-benar tidak lagi mempunyai pegangan?Â
Atau mereka justru mempunyai matahari-matahari yang lain? Semua ini menjadi pertanyaan Nietzsche sekaligus sebuah kritikan yang pedas untuk mereka yang menyebut dirinya ateis, tetapi sesungguhnya masih mempunyai pegangan yang lain. Mereka melepaskan matahari, tetapi menggenggam matahari yang lain. Melepaskan Tuhan sebagai sebuah kepercayaan, tetapi menggenggam kepercayaan yang lain. Nietzsche menyebut dalam ecce homo bahwa: "Aku tidak menginginkan 'orang-orang yang percaya', aku pikir aku terlalu dendam untuk mempercayai diriku sendiri,..."[5]
Nietzsche tidak hanya mendeklarasikan Tuhan telah mati, tetapi Nietzsche menuduh kita sebagai pembunuh Tuhan. Pertanyaannya adalah, Tuhan seperti apa yang dimaksudkan oleh Nietzsche?Apakah Tuhan seperti dalam pandangan kaum monoteistik? Nampaknya kita dapat mengatakan bahwa Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche adalah Tuhan seperti itu. Setyo Wibowo menyebutnya sebagai: "Subjek transendental telah mati, karena subjek transendental dianggap menindas lalu muncul subjek-subjek kecil yang tak kalah anarkisnya yang juga menindas, sewenang-wenang, seenaknya sendiri".
[6]Subjek transendental adalah nama yang menjadi analog untuk Tuhan dalam agama-agama. Tuhan itu dianggap mati, dan telah digantikan oleh tuhan-tuhan yang lain yang sama anarkisnya dengan Tuhan kaum monoteis. Dengan demikian manusia tetap berada dalam sebuah kebergantungan pada yang lain, sekalipun telah melepaskan Tuhan yang dianggapnya sebagai Tuhan yang mengekang kebebasannya.