Mohon tunggu...
Ivan Ramadhan
Ivan Ramadhan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

games

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Impelementasi Mekanisme Pengaduan Masyarakat Terhadap Kasus Bullying: Analisis Kebijakan Publik

15 November 2024   17:52 Diperbarui: 15 November 2024   17:59 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstract: Bullying is a common problem that continues to arise in society. Bullying behavior can have a fatal impact on the victim's physical or psychological condition. From year to year, bullying cases have received a lot of attention from several parties, especially the government, educational institutions and community organizations. Therefore, the relevance of the role of public policy analysis in bullying cases is very important. Several policies must be enforced to follow up on the many cases of bullying that occur, in order to create a safer and more comfortable environment for all in society. All levels of society should increase their sensitivity by participating in preventing bullying, whether it is done to themselves or others around them. This research is intended as a form of research in implementing reporting procedures for bullying cases. With the hope, we can find a solution to reduce the number of bullying cases, and produce an area that tends to be safer. This research uses the literature study method. This research method was carried out by analyzing scientific journals, books and documents related to bullying cases. As a result, procedures for public complaints regarding bullying cases can be found through public policy analysis.

Keywords: bullying, implementation, public policy

 

Abstrak: Perundungan adalah salah satu permasalahan umum yang terus merekah di lingkungan masyarakat. Perilaku perundungan dapat berdampak fatal bagi kondisi fisik ataupun psikologis korban. Dari tahun ke tahun, kasus perundungan telah memperoleh banyak perhatian dari beberapa pihak, terutama pemerintah, lembaga pendidikan, serta organisasi masyarakat. Oleh karena itu, keterkaitan peran analisis kebijakan publik dalam kasus perundungan sangatlah penting. Beberapa kebijakan harus ditegaskan untuk menindaklanjuti banyaknya kasus perundungan yang terjadi, guna menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi semua masyarakat. Semua lapisan masyarakat hendaknya meningkatkan kepekaan mereka dengan cara turut berpartisipasi mencegah terjadinya perundungan baik itu dilakukan untuk diri sendiri maupun orang lain di sekitar mereka. Penelitian ini ditujukan sebagai bentuk penelitian dalam penerapan tata cara pelaporan terhadap kasus perundungan. Dengan harapan, dapat menemukan penyelesaian untuk mengurangi angka dalam kasus perundungan, dan menghasilkan kawasan yang cenderung lebih aman. Penelitian ini menggunakan metode studi literatur. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis jurnal ilmiah, buku, dan dokumen yang berkaitan dengan kasus perundungan. Hasilnya, dapat ditemukan tata cara pengaduan masyarakat terhadap kasus perundungan melalui analisis kebijakan publik.

Kata kunci: Perundungan, Implementasi, Kebijakan publik

Pendahuluan

Kasus perundungan dalam masyarakat tampaknya mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat yang tiada habisnya. Perundungan tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja, melainkan terjadi hampir di seluruh lapisan elemen masyarakat.

Gejala kriminalitas ini dikaitkan dengan proses dinamisme perkembangan yang ada pada masyarakat dan kebudayaan, yaitu proses disintegrasi dan reintegrasi. Dalam pergerakan kedua proses tersebut ada sebuah nilai-nilai dan moral-moral di masyarakat jika diteliti kembali lalu mengabaikannya seolah-olah pengaruhnya telah menghilang: ini dinamakan oleh Durkheim sebagai "anomi". Terkait dengan hak tersebut, norma-norma, terutama norma tentang langkah-langkah memperoleh tujuan akan digoncangkan dan menyebabkan meluasnya mentalitas kriminal sedemikian rupa (Polak, 1991).

Dalam Psikologis, perundungan merupakan ekspresi yang bersifat merendahkan, bersikap kasar atau berperilaku kurang sopan, mempermalukan serta mengucilkan (Darmayanti et al, 2019). Perilaku perundungan terjadi karena adanya kesenjangan sosial antara kekuasaan pelaku dan korban, sehingga korban mengalami kerugian atau penindasan. Menurut ICRW, Indonesia berada di urutan pertama dalam kasus perundungan yang terjadi di sekolah dengan persentase 83%. Banyaknya kasus perundungan di sekolah menjadikan siswa lebih mudah untuk melakukan tindakan mengintimidasi, melecehkan, mengucilkan, dan menindas satu sama lain.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa: "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."

Perundungan dibagi menjadi (2) bentuk, yaitu verbal dan fisik. Perundungan verbal merupakan perilaku yang sengaja dilakukan untuk mengejek dan mengolok-olok orang lain baik secara fisik maupun perilaku, sehingga hal tersebut dapat diakibatkan merendahkan kedudukan seseorang. Sementara, perundungan secara fisik adalah perilaku kekerasan yang sengaja dilakukan kepada orang lain yang dirasa lebih lemah dari pelaku, sehingga muncul rasa sakit atau cacat pada korban.

Semua tindakan pasti selalu menghasilkan dampak, begitu juga dengan tindakan perundungan. Menurut Iswan Saputro dampak tindakan perundungan bagi korban sangat beragam, di antaranya korban akan lebih mudah merasakan emosi, mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, kurangnya kepercayaan pada diri sendiri, mengalami masalah pada kondisi fisik seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), tremor, atau mimisan, menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan membentuk sebuah hubungan, mengalami gangguan mental.

Perundungan juga mengakibatkan dampak bagi pelaku, yaitu pelaku akan membiasakan pola yang impulsif, berkurangnya rasa empati pada, tindakan agresif yang semakin meningkat, munculnya watak mengabaikan norma atau aturan dalam berperilaku, serta pelaku akan memperoleh reaksi negatif dari lingkungan sekitarnya (Nurmayani, 2024).

Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki banyak keanekaragaman. Oleh sebab itu, Indonesia mempunyai banyak potensi dan peran yang sangat penting dalam mengampanyekan perdamaian di dunia. (Gunawan Santoso, Salsabilla et al., 2023)

Beberapa teori dapat memberikan solusi untuk Indonesia dalam memperoleh sebuah kebijakan yang strategis terkait partisipasi dalam organisasi internasional dan implementasi kebijakan guna mencapai tujuan perdamaian serta keamanan global (Utama et al,. 2023). 1). Teori Realisme: Teori ini mengatakan bahwa setiap negara berpartisipasi dalam organisasi internasional guna mencapai kepentingan nasional masing-masing. Oleh karenanya, Indonesia dapat bergabung dengan organisasi tersebut untuk mengupayakan kepentingan nasional serta memublikasikan perdamaian dan keamanan global (Gunawan Santoso, Damayanti, et al., 2023). 2). Teori Liberalisme: Teori ini lebih fokus pada pemecahan persoalan untuk meminimalisir permasalahan internasional melalui institusi dan hukum internasional. Dalam konteks ini, Indonesia dapat menggunakan institusi dan perjanjian internasional untuk membantu mempropagandakan perdamaian dan keamanan global (Gunawan Santoso et al., 2015). 3) Teori Konstruktivisme: Teori ini menegaskan pada pentingnya makna pertukaran antara negara dalam hubungan internasional. Peran indonesia di sini adalah membentuk pemahaman bersama dan konfederasi dengan negara lain dalam memasarkan perdamaian dan keamanan global. 4). Teori Keamanan Manusia: Teori ini menyatakan bahwa pentingnya memublikasikan keamanan dan kesejahteraan manusia sebagai hal yang utama dalam hubungan internasional. Indonesia adalah negara yang memiliki kepentingan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan keamanan manusia, oleh karenanya Indonesia dapat menjalankan organisasi internasional alat untuk mencapai tujuan tersebut (Gunawan Santoso, Rahmawati, ct al., 2023)

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan studi literatur untuk menggali dan memperoleh informasi seputar fenomena perundungan dan mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kasus perundungan. Studi literatur adalah sekumpulan kegiatan untuk mengumpulkan data yang dimulai dari daftar pustaka, bacaan, dan lain sebagainya yang berguna untuk pengelolaan bahan penelitian (Zeed, 2008). Dalam metode ini, peneliti akan mengumpulkan data terkait dengan perundungan melalui pencatatan, kajian pustaka, ataupun bacaan yang berkaitan dengan tata cara pelaporan masyarakat terhadap kasus perundungan. Dengan cara ini, metode studi literatur memiliki tujuan untuk meningkatkan aspek teoritis dan aspek praktis sehingga peneliti dapat dengan mudah menemukan informasi dan data dari beberapa bacaan yang telah dikumpulkan.

Hasil dan Pembahasan

Tindakan perundungan adalah bentuk kekerasan yang sudah sejak lama terjadi di lapisan masyarakat. Perbuatan ini dapat menyebabkan kerusakan fatal bagi fisik maupun mental baik secara disengaja maupun tidak disengaja yang dilakukan oleh perorangan ataupun suatu kelompok. Perundungan dapat terjadi secara sistematis layaknya sebuah warisan yang diberikan dari senior untuk juniornya dari tahun ke tahun. Akan tetapi, perundungan dapat juga diartikan dalam segi istilah sebagai kemauan untuk menyakiti secara senang hati oleh pelaku dan akan mengakibatkan kerugian yang berat bagi korbannya.

Seperti yang kita ketahui dampak kerugian dari perundungan akan sangat berpengaruh pada korban. Kasus perundungan juga dapat menjadi masalah serius yang menganggu kehidupan seseorang. Hal ini akan menyebabkan rasa tidak aman di lingkungan sekitar yang menyebabkan kerusakan pada kesejahteraan mental mereka. Dalam penanganan kasus perundungan dibutuhkan norma-norma sosial seperti norma kesusilaan serta norma keadilan yang dapat memberikan tanggapan yang efektif dan adil dari lingkungan sekitar. 1). Norma Kesusilaan: sebagai fondasi etika sosial adalah norma yang meringkus nilai-nilai moral dan etika yang disambut baik oleh masyarakat sebagai acuan tindakan yang baik dan benar. Dalam kasus perundungan ini, norma kesusilaan meminta setiap individu memiliki perilaku empati, menghormati berbagai perbedaan, dan menghindari perilaku yang menimbulkan kerugian serta melukai orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Ketika norma ini dilaksanakan secara permanen, setiap individu memiliki kecenderungan untuk menghargai setiap perbedaan dan memiliki rasa enggan untuk merendahkan serta mengintimidasi orang lain. 2). Norma Keadilan: sebagai perlindungan untuk korban dan hukuman untuk pelaku yaitu norma yang digunakan sebagai penuntut supaya masing-masing individu memiliki hak diperlakukan secara hormat, bermartabat selama proses hukum dan norma sosial. Dalam kasus perundungan, norma keadilan menetapkan bahwa korban perundungan memiliki hak untuk dilindungi dan memperoleh keadilan.

Coloroso (2007) menyimpulkan bahwa perundungan memiliki empat macam jenis, yaitu: 1). Perundungan Fisik: perundungan ini adalah bentuk perundungan yang terlihat dan mudah dikenali dibandingkan dengan bentuk-bentuk penindasan lain. Tindakannya dapat berupa serangan secara fisik yang dilakukan secara langsung, contohnya menendang, memukul, mendorong, menyikut, meninju, mencekik, menggigit, mencakar, memiting, serta dapat juga dilakukan dengan meludahi korban penindasan yang menyebabkan kerusakan atau kehancuran pada pakaian serta material lain milik korban. 2). Perundungan Verbal dan Non-Verbal: perilakunya dapat berupa bisikan didepan korban yang tidak dikenali. Contohnya seperti mencela, memberi julukan nama tanpa persetujuan korban, mengkritik tanpa pertimbangan yang akan menyakiti perasaan korban, memfitnah, menghina, dan tindakan sejenisnya. Sementara, perundungan non-verbal bentuknya dapat berupa penghinaan melalui bahasa tubuh secara langsung, contohnya menatap sinis korban, memberikan raut wajah yang merendahkan, mengabaikan lawan bicara, membuat gerakan mengalihkan pandangan serta gerakan tubuh yang bersifat mengolok-olok korban. Penindasan dalam bentuk ini dapat difungsikan untuk mengasingkan atau menolak orang lain secara disengaja. Perundungan non-verbal bentuknya dapat berupa bisikan di depan korban yang tidak dikenali. Contohnya seperti: mencela, memberi julukan nama tanpa persetujuan korban, mengkritik tanpa pertimbangan yang akan menyakiti perasaan korban, memfitnah, menghina, dan tindakan sejenisnya. 3). Perundungan Seksual: jenis perundungan ini memiliki dua bentuk, jika bentuknya lisan dapat berupa makian atau kata-kata yang kurang sopan terhadap organ vital. Sedangkan, jika bentuknya fisik dapat berupa kesengajaan menyentuh area seksual milik korban. 4). Perundungan di dunia Maya atau cyber bullying dapat berupa korban yang secara terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku dari media sosial. Contohnya, membuat website yang berisi hal tidak pantas untuk korban, sebagai contoh happy slapping yaitu video yang berisi konten mempermalukan korban lalu disebarluaskan, meneror korban dengan telepon terus menerus, meninggalkan pesan voicemail yang kejam, dan hal lain yang serupa.

Tindakan perundungan tidak pernah diajarkan untuk dilakukan di masa kanak-kanak ataupun saat sudah memasuki usia dewasa. Setiap individu tidak dilahirkan dengan tujuan untuk menjadi pelaku dalam perilaku kejahatan terutama perundungan. Seperti halnya kebiasaan tidak disengaja yang telah dilakukan sehari-hari, tentunya perundungan juga bisa muncul karena dipicu oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebab utama perundungan adalah hubungan dengan keluarga, jika orang tua atau anggota keluarga di rumah mempunyai sifat gemar memaki, tidak pernah memberikan apresiasi melainkan membandingkan anak kandung dengan anak orang lain, ataupun melakukan kekerasan fisik, maka sang anak dari orang tua tersebut akan berspekulasi bahwa tindakan-tindakan tersebut adalah suatu perilaku yang dapat dinormalisasikan dalam suatu relasi atau untuk mencapai hal yang ia inginkan. Sehingga, kemungkinan besar anak tersebut akan mempraktikkannya pada orang lain. Selain itu, hubungan dengan teman sebaya juga menjadi faktor penting dalam memicu perundungan. Beberapa penyebab yang muncul di antara teman sebaya adalah timbulnya rasa cemas dan perasaan rendah diri dari pelaku, adanya persaingan yang tidak realistis, serta dendam yang muncul karena antagonisme atau pengalaman masa lalu sebagai korban perundungan. Sering kali pelaku perundungan merasa tidak mampu mengolah emosinya dengan sehat, sehingga dia melampiaskan kepada orang lain. Tak kalah penting, Dampak dari sosial media juga berperan dalam perilaku perundungan, terutama pada masa anak-anak. Anak-anak rentan terpengaruh saat melihat adegan-adegan kekerasan di media sosial karena mereka masih memiliki kecendereungan untuk membedakan antara adegan film dengan kehidupan sehari-hari.

Di beberapa negara, salah satunya Norwegia terdapat beberapa program yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa perundungan: oleh pemerintah Norwegia program tersebut dinamakan Olweus Bullying Prevention Bullying (OBPP). Terdapat 4 prinsip yang dipegang teguh dalam OBPP, yaitu orang dewasa yang berada di sekolah harus menunjukkan kehangatan dan kepentingan terhadap murid-murid, meletakkan batas ketegasan terhadap perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, konsisten menghindari perilaku menghukum yang menimbulkan konsekuensi negatif dan bersifat merusak, dan bertindak sebagai model yang dapat ditiru. Sementara itu, pemerintah Indonesia belum melaksanakan program yang berskala nasional untuk mencegah atau mengurangi peristiwa perundungan di kawan pendidikan dan kawasan yang jangkauannya lebih luas. Dewan Federasi Serikat Guru Indonesia pun belum menyanggupi ketentuan aturan peran guru agar bersikap lebih berani menindaklanjuti pelaku perundungan. Doni Koniesema, Dewan Pertimbangan Federasi Guru Indonesia menyatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menanggulangi dan memutus rantai kekerasan di sekolah, yaitu: 1). Kebijakan anti perundungan dan kekerasan harus dilaksanakan di sekolah. 2). Memberikan pendidikan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari siswa, staff, guru, dan orang tua agar dapat menganalisis perilaku kekerasan. 3). Menerbitkan prisedur pelaporan tindakan perundungan dan kekerasan di sekolah. 4). Sebagai antisipasi siswa dan guru harus mempelajari cara menyikapi tindakan kekerasan. 5). Penyaluran kecenderungan tindakan agresif dengan menyalurkan minat, bakat, dan ketrampilan yang dimiliki oleh para siswa. Terkait dengan tidak adanya program anti perundungan di Indonesia, hendaknya terdapat beberapa upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mencegah perundungan, yaitu dengan cara pendekatan norma hukum yang terkait dengan perundungan dan pendekatan perilaku. Pendekatan Norma Hukum: Upaya pencegahan perundungan tepatnya di institusi Pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti: Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 tahun 2016 (Permendikbud 18 tahun 2006) tentang pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru yang menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru.

Menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak 2014). Pertimbangan diaturnya masalah kekerasan disebebabkan karena "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945". Ketentuan ini menekankan komitmen pemerintah untuk melindungi anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di lingkungan manapun.

Melalui Pasal 1 UU Nomor 35 Tahun 2014, yang dimaksud dengan kekerasan adalah "Setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemukulan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum." Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak anak di sekolah juga ditambahkan di Pasal 9 dan Pasal 25 UU Perlindungan Anak 2014. Pasal 9 ayat (1a) setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Hak anak ini kembali dipertegas dengan adanya ketentuan yang memberi kewajiban kepada masyarakat, termasuk di sini adalah para akademisi untuk ikut serta dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak (Pasal 25). Pelaku pelanggaran atas hak-hak anak dapat dipidana penjara dan pidana denda.

Pendekatan Perilaku: tindakan yang diambil adalah institusi pendidikan khususnya sekolah menengah pertama di Jawa Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan UNICEF melalui program Roots. Program Roots adalah program global yang mencegah terjadinya kekerasan di kalangan teman sebaya yang berfokus pada usaha membentuk kondisi yang aman di sekolah dengan mengaktifkan peran siswa sebagai Influencer atau Agents of Change.

   Mengutip pendapat dari Gunawan Santoso, et al., (2021) dalam penerapan ini, Indonesia dapat mengusulkan konstribusi yang bersifat relevan dalam menciptakan perdamaian dunia di abad 21 serta mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai negara yang berperan aktif dalam perdamaian dan keamanan global. Penerapan dari analisis keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional untuk perdamaian dunia di abad 21 dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu: 1). Membangun tim penelitian atau kelompok kerja dari beberapa ahli luar negeri dan dalam negeri untuk melakukan investigasi dan refleksi yang komprehensif terkait peran serta partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional untuk perdamaian dengan melihat tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia. 2). Menyelenggarakan seminar nasional dan internasional yang membahas isu-isu global dalam substansi keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional guna mendapatkan perdamaian di dunia abad 2. 3). Mengeratkan hubungan kerjasama dengan organisasi internasional seperti ASEAN, PBB, dan sebagainya dalam memasarkan perdamaian dan keamanan di dunia. 4). Meningkatkan peran Indonesia sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan antar negara dan kelompok di seluruh dunia. 5). Menguatkan keikutsertaan Indonesia dalam misi perdamaian internasional dengan berkontribusi dalam menjaga perdamaian dan penyelesaian permasalahan di negara lain. 6). Memajukan kerjasama regional di antara negara-negara yang ada di Asia Tenggara dan yang lain guna menciptakan kawasan yang damai dan stabil. 7). Mengokohkan keamanan regional dan internasional untuk membantu memberantas ancaman keamanan global seperti terorisme dan peredaran senjata secara ilegal.

Kesimpulan

Penelitian ini menganalisis fenomena bullying yang marak terjadi di lingkungan masyarakat dan sekolah di Indonesia. Bullying adalah perilaku mengejek, mempermalukan, atau menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban, bullying terjadi dan membuat korban tertekan secara psikologis dan emosional. Seperti dilansir International Center for Research on Women (ICRW), di Indonesia, hampir 83% anak-anak pernah mengalami bullying di sekolah. Hal ini menjadikan masalah ini perlu mendapat perhatian serius dan berkelanjutan karena kasusnya dianggap paling banyak di Indonesia. Di ranah hukum, bullying melanggar hak asasi anak yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh kembang, dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Bullying terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu bullying verbal, bullying fisik, bullying nonverbal, dan bullying seksual. Bullying yang bersifat verbal melibatkan ejekan dan hinaan, sedangkan bullying fisik melibatkan penggunaan kekerasan. Selain itu, bullying non-verbal dapat terjadi dalam bentuk gerakan yang menghina, sedangkan bullying seksual dapat berupa ucapan dan tindakan yang tidak senonoh. Dampak bullying pada korban sangat merusak; termasuk gangguan emosional, hilangnya rasa percaya diri, masalah konsentrasi, dan gangguan fisik termasuk sakit perut dan gemetar. Ada juga perasaan terisolasi di antara para korban yang juga merasa sulit bersosialisasi dengan orang lain. Di sisi lain, pelaku bullying juga menderita konsekuensi negatif termasuk peningkatan agresi, hilangnya empati, perilaku impulsif yang menghambat kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial. Meskipun di tengah banyaknya tantangan dan hambatan seperti perbedaan kepentingan antara negara-negara lain, Indonesia tetap mempunyai partisipasi aktif dalam organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, dan GTCF untuk mengupayakan kepentingan nasional dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan dunia di tingkat global. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memiliki beberapa peraturan undang-undang yang berkaitan dengan kasus kekerasan kriminal khususnya kasus perundungan.

 

Daftar Pustaka

Andryawan, Y., Harun, O. P., Venessa, C., Hiumawan, E. J., & Georgiana, M. (n.d.). Analisis tindak pelaku bullying di sekolah terhadap pembentukan karakter dalam masyarakat.

Fitriana, M. N. F. A. A., & Fauzi, A. (2023). Analisis tindak perundungan siswa sekolah dasar dan upaya penanggulangannya. Yustisia Tirtayasa: Jurnal Tugas Akhir, 3(3), 287-295.

Hafid, R. B. M. R. R., Hazarina, R., Anwar, N., & Haikal, M. (2024). Implementasi norma kesusilaan dan keadilan terhadap tindakan bullying. Jurnal Media Akademik (JMA), 2(6).

Harahap, F. A., & Sampurna, A. (2024). Membangun kesehatan mental generasi alpha: Urgensi konseling dalam mengatasi tantangan bullying di era sosial media melalui komunikasi empati. Jurnal Indonesia: Manajemen Informatika dan Komunikasi, 5(2), 1179-1185.

Marasaoly, S. (2022). Pencegahan perundungan (bullying) terhadap siswa SD dan SMP dalam implementasi kota peduli HAM di Kota Ternate. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, 9(2), 94-112.

Nurmayani, S. P. (2023). 7 dampak bullying bagi psikologis korban dan pelaku. KlikDokter. Diakses dari https://www.klikdokter.com/psikologi/kesehatan-mental/dampak-bullying-korban-dan-pelaku pada 19 Oktober 2024.

Rukmana, V. (2022). Perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku bullying anak di bawah umur. Jurnal Education and Development, 10(2), 78-83.

Santoso, G., Karim, A. A., & Maftuh, B. (2023). Kajian keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional untuk perdamaian dunia di abad 21. Jurnal Pendidikan Transformatif, 2(1), 157-170.

Saraswati, R., & Hadiyono, V. (2020). Pencegahan perundungan/bullying di institusi pendidikan: Pendekatan norma hukum dan perubahan perilaku. Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan, 1(1).

Sulisrudatin, N. (2018). Kasus bullying dalam kalangan pelajar: Suatu tinjauan kriminologi. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 5(2).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun