Mengkaji Lebih Dalam Tentang Aulia' Dalam Surat Al Maidah 51
Indonesia merupakan negara besar. Umat Muslim adalah tulang punggungnya, karena jumlahnya yang mayoritas. Tetapi karena tulang punggungnya tidak berkualitas, maka walaupun berjumlah besar, tetap saja tidak ada apa-apanya atau nyaris selalu menjadi pecundang di segala bidang.
Umat Muslim memiliki dasar Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang luar biasa, yaitu Al Quranul Karim. Sayangnya, dalam bahasa Arab pun, sangat sedikit Umat Muslim Indonesia yang menguasai, apalagi Bahasa Al Quran yang bernilai sastra sangat tinggi. Karena itu kebanyakan Muslim Indonesia buta Isi Al Quran. Sehingga, walau Bukti-bukti Kekuasaan Allah terpampang jelas di depan mata, di seluruh muka bumi, termasuk dalam berbagai corak peradaban dunia, Umat Muslim tak mengetahui.
Untuk menutupi kekurangan atas penguasaan Bahasa Al Quran, ada yang mengupayakan penerjemahan dan tafsir Al Quran, tapi sayangnya banyak sekali kesalahan dalam terjemahan dan tafsir sekarang, yang tak dihiraukan ulama' sampai saat ini. Malah banyak ulama' yang mengajak untuk fanatik terhadap terjemahan dan tafsir yang penuh kesalahan itu. Mereka tak tahu, kalau pembuat terjemahan dan tafsir itu, ilmunya kurang komplit.Â
Idealnya penerjemahan dan tafsir harus dilakukan seorang/sekelompok orang yang pengetahuan agamanya luas, ahli hikmah atau filsafat, ahli bahasa/budaya/sastra Arab, ahli bahasa/budaya/sastra Indonesia, serta ahli sejarah yang lurus dan benar menurut kriteria Al Quran. Orang/semua ahli tersebut harus merupakan orang yang betul-betul ilmuwan yang jujur, cerdas, dapat dipercaya, dan obyektif. Sebagai ilmuwan, mereka tak boleh terpengaruh oleh dinamika politik atau segala macam bentuk pemaksaan dari pihak manapun.
Namun, dalam penerjemahan dan tafsir Al Quran yang sekarang, selain orang/sekelompok orangnya tidak komplit dengan semua keahlian tersebut, terasa kental sekali intervensi politik dan kekuasaan dalam karyanya. Salah satu kesalahan intervensi politik yang sampai mencuat ke permukaan ialah kasus Al Maidah 51 yang mengandung kesalahan terjemahan pada kata auliya', yang diartikan sebatas pemimpin. Padahal, terjemahan kata auliya' sebenarnya adalah wali, penanggung, atau pemimpin yang lurus, amanah, dan tanggung jawab.
Tidak bisa semua pemimpin, meskipun beragama Muslim dikatakan sebagai auliya'. Apalagi, di negeri ini, banyak sekali yang mengaku Muslim, jadi pemuka masyarakat ternyata tidak lurus, tak amanah, dan tak bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan. Parahnya, sebagian dari mereka menggunakan Al Maidah 51 untuk membohongi masyarakat.
Surat Al Maidah 51 dan surat-surat yang lain tak boleh digunakan kampanye, karena tidak ada wali Allah yang mengaku wali. Derajat kewalian yang sebenarnya hanya ada Di Mata Allah. Orang hanya bisa berusaha melihat dan meraba-raba atas keberadaan mereka dari kesempurnaan din (pribadi), ahlak, atau ibadahnya. Orang yang sangat mulia, paling baik, dan tidak bercacat kelakuannya, lahir maupun batin itulah wali Allah. Jika ada orang seperti itu, sebaiknya masyarakat memilihnya jadi pemimpin, agar negeri makmur dan sejahtera secara merata.
Namun biasanya, orang seperti itu agak takut dijadikan pemimpin, karena kawatir kemegahan, sanjungan, dan puji-pujian akan melenakannya. Tapi ada juga dari orang seperti itu yang memang Dikaruniai Allah keteguhan dan kesabaran luar biasa berkat IlmuNya untuk menjadi pemimpin yang auliya', supaya bisa menuntaskan Urusan-urusanNya di dunia. Dengan kata lain, dia seperti Kepannjangan Tangan Ilahi yang hakikatnya seperti nabi. Namun, haram hukumnya, jika mereka dianggap nabi.Â
Mereka cukup dianggap pemimpin yang shaleh, dan tidak boleh dipuji dan disanjung berlebihan apalagi dikultuskan. Segala yang dilakukan mereka semata berkat Kuasa dan Kehendak Allah. Tapi tak mungkin juga KuasaNya DikaruniakanNya pada orang yang kualitas dirinya tak bagus. Sudah jadi KehendakNya, Dia hanya akan Memberikan KuasaNya pada orang yang mau berusaha dan mengupayakannya.
Itu artinya derajat kewalian merupakan sesuatu yang harus diupayakan dan diperjuangkan, agar KuasaNya Diberikan, KehendakNya Ditunjukkan. Tapi sekali lagi, tidak ada wali yang mengaku sebagai wali. Derajat kewalian hanya ada Di Mata Allah. Orang hanya bisa berusaha meraba-raba mereka dengan melihat kesempurnaan ahlak, ibadah, atau ketakwaannya. Apabila ada orang yang sengaja menggunakan Surat Al Maidah sebagai alat politik dan kampanye berarti secara tidak langsung dia berani mengaku sebagai wali. Allah tidak akan Tinggal Diam atas pengakuannya tersebut dan pasti akan Mengujinya. Jika ternyata dia tidak sesuai dengan pengakuannya, maka dia akan masuk dalam golongan orang paling munafik dan kafir diantara orang yang munafik dan kafir.
Untuk orang semacam itu, jika Umat Muslim benar agamanya dan meneladani Af'al Allah, mereka harus menjatuhinya hukuman yang lebih buruk dari pelaku kejahatan biasa. Misalnya terhadap koruptor, jika dia koruptor bukan Muslim cukup dijatuhi hukuman sesuai Undang-udang, tetapi jika dia Muslim, apalagi pernah mengaku sebagai auliya dalam kampanye, maka hukumannya harus lebih berat dan berlipat. Misalnya umat Muslim harus memberinya hukuman tambahan seperti haram umat menerima dia dan anak turunnya bekerja di tempatnya atau menjalin kerja sama dengannya.Â
Mereka harus diboikot sampai hasil korupsinya habis. Apabila perlu, sampai mereka hutang-hutang dan tak sanggup membayar seperti yang dialami negara ini. Dengan begitu tidak akan ada Umat Muslim yang menjadi onak dalam daging. Dan itu merupakan hukuman yang adil menurut Al Quran, karena hukuman untuk orang tahu lebih berat daripada hukuman untuk orang yang tidak tahu.
Sebaliknya, orang-orang beragama lain, jangan semua divonis buruk atau kafir. Di antara orang beragama lain, ada orang-orang yang berlaku lurus, tidak memusuhi Umat Muslim, amanah atas amanat yang diemban, juga bertanggung jawab. Walau mereka, tidak mengaku sebagai Muslim atau penganut Ajaran Al Quran, tetapi jika mereka tetap beriman pada Allah (Tuhan Yang Maha Esa) dan selalu berbuat baik, serta menjauhi keburukan dan kejahatan, mereka memang tak bisa dikatakan Muslim sepenuhnya, sebab tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir, tak sholat lima waktu, dan tidak membayar zakat, tetapi mereka bisa jadi termasuk auliya' atau wali Allah juga. Tapi Yang Maha Tahu soal itu hanya Allah. Yang Maha Tahu benar atau tidaknya iman dan kemusliman seseorang juga hanya Allah. Maka biar itu jadi urusan masing-masing pribadi dengan Allah.
Dalam menilai orang jangan melihat agamanya, tapi lihat benar atau tidak ucapan dan kelakuannya. Orang percaya dan mau meneladani Rasulullah adalah suatu bentuk kebaikan, melakukan sholat lima waktu juga kebaikan, berzakat kebaikan. Tapi kalau ada orang yang tidak melaksanakannya jangan dianggap buruk. Mereka cukup dianggap bukan orang Muslim atau Muslim yang tidak sempurna. Kemudian tetap hormati pilihannya. Baik, buruk, atau kurangnya seseorang dalam menunaikan kewajiban, orang itu sendiri yang merasakan untung-ruginya.Â
Maka fokus saja menunaikan kewajiban sendiri dalam menanam banyak-banyak kebaikan dan menjauhi keburukun. Boleh jika mau menambah kebaikan dengan mengingatkan atau mengajak seseorang berbuat kebaikan dengan cara yang baik, tetapi jangan memaksa. Memaksa dan mengingatkan dengan cara yang buruk adalah keburukan. Maka jangan campur adukkan keduanya.
Namun seringkali, Umat Muslim Indonesia masih merasa bingung hendak menjadi pengikut siapa atau auliya' yang mana, yang dijadikan panutan dan pembimbing, yang patut diikuti dan bisa dijadikannya penjamin/pemberi syafaat. Padahal, sesungguhnya amat jelas Disebutkan dalam Al Quran, yang bisa menjamin keselamatan seseorang adalah ibadah dan amal baiknya sendiri atau seberapa banyak perbuatan baiknya dan kebersihannya dari dosa. Rasulullah pun, tidak bisa memberi syafaat. Kalau ada orang yang berkata bisa memberi syafaat atau mengatakan Rasulullah akan memberi syafaat, yang diucapkannya itu bertentangan dengan Al Quran atau Firman Allah. Yang bertentangan dengan Firman Allah berarti berasal dari bisikan setan dan iblis.
Sementara, kalau yang harus diikuti hanya Petunjuk Allah yang sesuai Al Quran. Yang pantas dijadikannya teladan hanya Rasulullah sebagai gambaran hidup ayat-ayat Al Quran, karena ahlak beliau adalah Al Quran. Kalau dalam keilmuan, Umat Muslim harus benar-benar obyektif, paham betul benar dan salah, juga kurang-lebih pada ilmu siapa saja, dari mana saja. Tidak boleh ada satu orangpun yang dikultuskan atau dipuja-puji berlebihan, sebab Rasulullah pun tidak boleh diperlakukan begitu. Ilmu apapun atau dari manapun boleh diterima dan dipelajari dengan pedoman pokok Al Quranul Karim. Karena itu wajib hukumnya bagi seorang Muslim mengetahui dan memahami Al Quranul Karim.
Sekali lagi, wajib hukumnya bagi seorang Muslim mengetahui dan memahami Al Quranul Karim. Kalau seorang Muslim mempelajari dari terjemah dan tafsir, cari terjemah dan tafsir yang benar, tepat, lurus, dan obyektif atau yang tak mengandung banyak kesalahan dan pelanggaran terhadap ayat-ayat Al Quran itu sendiri, tak bertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lain, juga tidak bertentangan dengan Hakikat Yang Maha Ada atau Tuhan itu sendiri.Â
Tapi untuk saat ini, terjemahan dan tafsir dalam Bahasa Indonesia, belum ada yang benar-benar valid dan obyektif. Oleh sebab itu, belum bisa dibenarkan sepenuhnya, tapi jangan disalahkan sepenuhnya juga. Namun meski begitu, jangan sampai menggantungkan kebenaran pada ulama', karena kebanyakan ulama' berpedoman pada terjemahan dan tafsir yang mengandung kesalahan itu. Lebih-lebih saat ini, banyak ulama' yang iman dan agamanya amburadul. Banyak yang mengaku Muslim, ternyata hanya orang munafik yang menghancurkan umat dari dalam seperti ulama' yang memanfaatkan jasa jin atau koruptor yang mengaku beragama Muslim. Padahal, ketika seseorang sudah terbuai bujuk rayu jin atau berani melakukan korupsi, imannya hancur-lebur, karena tahu Diawasi Allah malah nekat berbuat dosa. Agamanya pun sirna, karena amal baiknya bisa tidak cukup untuk mengganti dosa besarnya atau dosanya pada orang banyak.
Patut digaris bawahi, walaupun bukan tiga dosa besar yang dilakukan, kalau dosa terhadap orang banyak, termasuk dosa besar. Oleh sebab itu, takutlah pada Allah wahai para ulama', jangan sekedar memikirkan keuntungan materi dan kemashuran semata. Yang harus dilakukan seluruh umat dan ulama' sekarang adalah bahu-membahu memperbaiki dan menyempurnakan terjemahan dan tafsir yang ada, agar iman dan pribadinya lurus dan benar. Cukup hentikan sampai di sini, segala dosa dan kedzaliman, yang berupa kebohongan terhadap umat. Selama ini, karena adanya kefanatikan buta, ketemu orang yang menuruti nafsu, maka berbagai kesalahan terjemahan dan tafsir dibiarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H