Beberapa hal yang memperkuat bukti bahwa Ayat-ayat Al Quran telah dikorup adalah setelah munculnya terjemahan Al Quran itu, Pak Harto langsung berubah haluan dari penganut kepercayaan menjadi kemuslim-musliman sampai coba menambah nama menjadi Haji Muhammad Suharto. Kemudian pada saat yang sama, pimpinan MUI pusat, Pak Hamka tiba-tiba mundur. Lalu muncul kritik sosial dari Pak Arwendo Atmowiloto, yang membuatnya dijebloskan ke dalam penjara, karena disalahpahami umat menghina Nabi Muhammad, sebab menempatkan Presiden Suharto sebagai orang nomor satu sedang Nabi Muhammad jauh di bawahnya. Tapi kalau dipikir-pikir dengan mengaitkannya pada situasi politik pada saat itu, sesungguhnya penempatan menurut hasil survei itu merupakan kritik untuk mengingatkan umat ini, yaitu "Kenapa umat Muslim yang jumlahnya 200 juta waktu itu lebih takwa kepada Pak Harto daripada ke RasulNya?" Tapi itu hanya sederetan peristiwa di masa lalu, yang jadi gejala atau tanda persoalan sesungguhnya, yaitu adanya penyimpangan dan kesalahan dalam terjemah Al Quran pada saat itu.
Apa indikasi atau gejala kesalahan penterjemahan Al Quran oleh Kementerian Agama di masa Orde Baru itu? Perterjemahan Al Quran, tidak boleh dipotong-potong, ditambahi atau dikurangi, lebih-lebih disimpangkan seperti yang terjadi pada arti atau makna kata auliya dalam Al Quran. Sementara dalam terjemahan Al Quran yang ada, yang hingga saat ini merujuk pada terjemahan di masa Orde Baru, Al Quran telah dipotong-potong, ditambah-tambahi kata dalam kurung serta ditambahi berbagai keterangan yang sifatnya terlalu mendogma dan coba mengarahkan pemahaman umat. Termasuk dalam pemaknaan kata auliya tersebut, sebenarnya banyak sinonim artinya, tetapi yang dipilih malah yang menguntungkan penguasa atau umat muslim secara tidak adil di negeri yang berazaskan Pancasila. Itupun, arti atau makna yang ditampilkan juga tak benar-benar mewakili arti istilah itu atau ada keterangan yang seperti sengaja disembunyikan.
Makna dan arti kata auliya yang sesungguhnya adalah kekasih Allah, wali, penopang, penanggung jawab, kawan karib yang rela melakukan apa saja dan berkorban apa saja, dan pemimpin atau pemuka orang-orang yang baik atau benar-benar bertakwa atau dengan kata lain orang yang paling bertakwa di mata Allah sehingga pantas menjadi pemuka orang-orang yang bertakwa. Jadi, salah besar jika auliya di Al Quran diartikan pemimpin, lebih-lebih jika dianggap semua pemimpin adalah auliya Allah. Auliya Allah atau pemimpin orang-orang yang bertakwa bukan sekedar pemimpin, tetapi pemimpin yang sangat bertakwa melebihi takwanya orang biasa. Atau orang yang kadar takwanya paling banyak.
Karena itu, sesungguhnya, tidak semua pemimpin adalah auliya orang yang bertakwa atau orang yang bisa dihandalkan untuk membawa rahmat, kebaikan, dan perbaikan bagi alam semesta. Pemimpin orang-orang yang bertakwa atau auliya Allah yang bisa menjadi rahmat dan membawa rahmat bagi seluruh alam adalah orang yang kadar takwanya paling banyak. Dalam arti yang kebaikannya paling banyak, kesalahannya amat kecil sekali, yang bila perlu tak ada sedikitpun kesalahannya. Hal ini patut sangat dicamkan betul. Karena itu, ada pemimpin-pemimpin seperti Adolf Hitler, Suharto, dan lain-lain, yang sesungguhnya ialah pemimpin orang-orang segolongan dengan dirinya, tetapi Sengaja Dipilih Allah untuk memimpin masyarakat luas, berdasarkan keinginan masyarakat itu sendiri sebagai ujian, bahkan bisa jadi hukuman untuk masyarakat itu sendiri karena dosa dan kesalahan yang mereka buat sebelumnya. Tentu saja Adolf Hittler dan Suharto seorang pemimpin, tetapi bukan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Mereka penjahat lalim yang gagal menyatukan kepemimpinan duniawi dengan kepemukaan atas orang-orang yang beriman dan bertakwa. Dan mereka sesungguhnya adalah ujian sekaligus cobaan bagi masyarakatnya. Makanya Dikatakan, apabila ada pemimpin lalim Direstui Allah untuk memimpin suatu umat, berarti Allah Ridho atas kehancuran umat itu.
Karena itu, hati-hati dan waspadalah. Jangan-jangan kita adalah umat yang selalu terancam untuk Dimusnahkan Allah. Ada slentingan-slentingan atau sekedar katanya dari mulut ke mulut (tutur tinular) dari dulu kala, bahwa Pulau Jawa ini akan tenggelam, tetapi entah itu kapan. Mungkin itu hanya ramalan atau berita-berita kabur yang dibawa setan. Tetapi alangkah baiknya jika kita ingat, bahwa Allah tidak akan Mengubah suatu kaum, kecuali kalau umat itu mau berusaha mengubah dirinya sendiri. Karena itu, sebaiknya segenap masyarakat ini seharusnya sadar untuk senantiasa memperbaiki diri dan terus membangun kualitas diri jadi orang baik atau orang yang amat bertakwa, agar bisa dipimpin oleh wali dan auliyaNya atau orang paling baik atau orang yang paling bertakwa di kalangan mereka sendiri. Secara masuk akal, kalau sebagian besar masyarakat negeri ini baik, maka mereka akan memilih orang terbaik sebagai pemimpinnya. Kalau sebagian besar umat negeri ini buruk, yang indah dan tampak hebat di mata mereka, hingga dipilih sebagai pemimpin, tentulah orang yang terburuk.Â
Untuk ukuran saat ini, bagi masyarakat Jakarta, ada tiga pasangan calon pemimpin. Atas ketiganya, masyarakat Jakarta sendiri yang hendaknya menentukan, mana yang terbaik, yang bisa mereka jadikan kekasih, penanggung, kawan yang selalu pro dan loyal pada masyarakat, serta mampu menegakkan kebaikan dan kebajikan. Soal ini tak ada kaitannya dengan agama dan kepercayaan seseorang, karena saat ini banyak orang yang mengaku Muslim, tetapi kelakuan dan sepak terjangnya malah sangat bertentangan dengan Ayat-ayat Al Quran.Â
Sementara itu, di antara para ahli kitab atau pewaris kitab yang mengajarkan kebaikan dan kebajikan, ada banyak yang konsisten dalam berjuang mengamalkan kebajikan yang didalaminya. Atas kedua kelompok ini, bagi umat Muslim, orang yang mengaku Muslim, tetapi sepak terjangnya bertentangan dengan ajaran Al Quran, lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnya. Sedang umat agama lain yang masih beriman pada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu berlaku baik dan bajik, hendaklah diperlakukan secara baik, karena Allah pun menghargai segala kebaikan dan kebajikan mereka. Tetapi memang, bagi umat Muslim dalam memilih seorang pemimpin, idealnya memilih yang beriman kepada Allah semata dan penegak kebaikan dan kebajikan, yang bukan semata menegakkan aturan agama yang diartikan secara sempit. Idealnya, pemimpin yang auliya bagi umat Muslim adalah pemimpin yang beriman pada Allah semata, arid bijaksana, adil, berperikemanusiaan, menghargai HAM, tidak punya kesalahan dan tindak kejahatan, serta sangat agamis atau taat pada aturan-aturan agamanya.
Jadi, kalau dilihat dari dua figur, umpama yang maju jadi pemimpin adalah Pak Ahok dan Pak Rizieq Shihab, sebagai Muslim saya lebih memilih Pak Ahok, karena saya agak yakin Pak Ahok lebih beriman kepada Allah dan punya semangat menegakkan kebaikan dengan cara dan jalur yang benar daripada Pak Rizieq Shihab. Bagi saya, Pak Rizieq Shihab tidak lebih dari tukang jual agama dengan imbalan dukungan padahal pengertian agamanya dipersempit oleh dirinya sendiri, sehingga tak bisa memimpin apalagi membimbing masanya.
Itu adalah penilaian saya pribadi, masyarakat boleh menerima, boleh tidak, boleh punya penilaian berbeda dengan penilian pribadi saya itu. Tetapi secara obyektifnya, dengan berusaha menyerang kesana-kemari, tampak sangat jelas ke mana arah angin yang dibawa Pak Rizieq. Soal isu agama dan kultural yang dibawanya, di Jaman Presiden SBY Pak Rizieq dan FPInya sudah pernah selalu melakukan sweeping-sweeping dengan tanpa hak menggunakan kekerasan. Yang paling mencolok, mereka menggebuki masa pendukung aksi kebangsaan pada 1 Juni 2008 di Monas. Soal isu PKI yang mereka hembuskan, mungkin karena dia dekat dengan keturunan Pak Sarwo Edi, yang dihantui PKI, maka jadi tertular ke arah situ.Â
Tetapi memang, Presiden Jokowi di awal kekuasaannya sudah menyinggung soal pengusutan kejahatan HAM, juga secara khusus minta maaf kepada para korban keganasan Orde Baru pada oknum PKI dan keturunannya, maka pemerintahan yang berkuasa sekarang membuka peluang penyerangan ke arah itu. Dan bila dikait-kaitkan, semua akan bermuara di satu titik, yaitu Pilkada DKI. Tidak berhasil membawa-bawa atnis dan keturunan, karena Pak Ahok adalah keturunan Tionghoa, disangkut-pautkan antara orang-orang Cina dan keterlibatannya dengan PKI di jaman Orde lama.
Karena itu, soal ini masyarakat harus benar-benar jeli. Hal yang paling pokok untuk diperhatikan dalam Pilkada Jakarta adalah siapa atau mana pasangan calon pemimpin yang tujuannya benar-benar ingin membangun Jakarta, programnya jelas, dan sanggup memimpin dan menata Jakarta jadi masyarakat yang beradab, adil, dan makmur, serta tidak ruwet atau pantas dijadikan suri teladan bagi seluruh daerah di Indonesia, itulah yang seharusnya memimpin Jakarta.Â