Mempertanyakan soal kemajuan dari sebuah prasarana umum, rasanya tidak ditemukan sama sekali pada angkot di seluruh Indonesia. Mobil yang berwarna-warni ini dengan angka yang mewakili rute masing-masing, dinilai mengalami penurunan yang signifikan atas ketertarikan masyarakat untuk menggunakannya sebagai mobilitas kehidupan sehari-hari.
Semenjak pandemi menghantui masyarakat memiliki ketakutan untuk beraktivitas di luar rumah. Melansir dari Databoks, Badan Pusat Statistik (2020) memaparkan sebesar 23,21 persen responden menyatakan bahwa mereka memilih angkot sebagai pilihan kendaraan dalam beraktivitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa harganya pun terjangkau dan merakyat, akan tetapi belum memperhatikan kenyamanan, keamanan, dan protokol kesehatan.Â
Minimnya ruang dalam angkot tersebut menyebabkan sulit sekali untuk menjaga jarak antar penumpang sehingga tidak dipungkiri akan terjadinya kasus-kasus kejahatan di dalam angkutan ini. Melansir dari Databoks, Badan Pusat Statistik (2020) memaparkan bahwa sebesar 24,94 persen dari masyarakat pernah mengalami pelecehan di transportasi tersebut. Berdasarkan data tersebut, pemerintah seharusnya membuka mata lebar-lebar untuk memajukan angkot sebagai transportasi umum yang memperhatikan kenyamanan dan keamanan kepada masyarakat.Â
Apalagi, pemerintah juga memaksa kita untuk memaklumi tarif angkot yang disebabkan adanya kenaikan harga BBM. Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, meminta masyarakat untuk memahami bahwa kenaikan harga BBM tidak hanya menyebabkan biaya operasional lebih berat, melainkan juga menimbulkan peningkatan harga perawatan angkot. Saya rasa dengan kenaikan tarif angkot seperti itu, dimana penyebab utamanya dari kenaikan harga BBM, akan dimaklumi apabila disertai dengan perubahan yang signifikan.Â
Mengesampingkan aspek kritik terhadap transportasi umum ini, rasanya kurang sekali kalau tidak disertai sebuah solusi. Mobilitas angkot yang begitu tinggi terkadang memiliki ketertarikan untuk berhenti sembarangan sehingga membuat keadaan lalu lintas menjadi macet. Sudah seharusnya, pemerintah membuat lahan pemberhentian angkot agar mengurangi kemacetan.Â
Kemajuan angkot di seluruh Indonesia seharusnya mulai menggunakan basis aplikasi sebagai menjaring masyarakat. Invasi dunia berbasis aplikasi tidak bisa dianggap sepele karena pengaruhnya memiliki jangkauan yang begitu luas. Sempat terbersit di dalam benak saya sistem pemesanan yang berdasarkan dari rutenya. Setiap angkot pastinya memiliki angka sebagai lambang yang mewakili rute-rute di setiap wilayah. Nantinya, di dalam aplikasi tersebut terdapat radar yang menandakan kehadiran angkot di sekitar wilayah tersebut. Selain itu, terdapat juga rekomendasi angkot dan rutenya yang mampu mempersingkat waktu kepada para pengguna. Lalu, sistem pembayarannya akan menerapkan cashless sehingga penggunaan kode QR sangat diperlukan.
Selagi angkot akan bergantung pada aplikasi, kendaraannya pun perlu dicek kualitasnya, baik dari kaki-kaki hingga tempat duduknya. Nantinya, tidak akan ada lagi angkot yang mogok secara tiba-tiba di jalan dan juga tidak mengganggu pengguna jalan lainnya. Dengan begitu, angkot akan dikategorikan sebagai sarana transportasi umum yang menyajikan kemajuan kepada masyarakat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H