Namaku Thomas, aku mahasiswa semester 2 dan seorang penulis cerita. Ini adalah kisahku.
Sore itu, disaat aku di depan teras rumah sedang mendengarkan musik. Sambil duduk di kursi rotan yang panjang menatap lamat-lamat langit yang berwarna merah jambu. Ditemani secangkir kopi hitam dan suara adzan yang mulai berkumandang. Setelah kopi di cangkir sudah habis dan hanya menyisakan ampasnya aku masuk ke dalam rumah dan langsung disambut dengan aroma lezat masakan ibu. Perutku yang sudah keroncongan dengan cepat memanggil bapak dan kakak untuk segera menuju meja makan. Walau gelas sisa kopi masih di genggaman dan earphone masih menempel di telinga, aku bergegas duduk di kursi meja makan sambil menunggu bapak dan kakak. Setelah mereka semua sudah duduk di meja makan aku melepas earphone dan mengantonginya dan langsung memimpin doa makan.Â
Sesudah perutku terisi, aku menuju kamar dan menyalakan laptop untuk menulis cerita yang sudah menjadi kerjaanku. Suara dering mesin mulai terdengar tanda laptop akan segera menyala. Di kamar yang hanya berukuran 3x2 aku mulai duduk di kursi tempat biasaku bekerja dan tugas. Aku mulai membuka Microsoft word  dan mulai mengetik kata demi kata tentang ceritaku yang sudah ditagih oleh direktur koran tempatku bekerja. Deadline mengirim ceritaku adalah malam ini, maka dari itu dengan cepat aku mulai mengetik dan membuat cerita tentang kisah friendzone anak SMA. Dalam 30 menit aku selesai dalam membuat cerita lalu aku langsung mengirim ke atasanku. Dengan cepat email tersebut terkirim dan dengan cepat juga atasanku menjawab dan mengucap terima kasih.
Aku menutup laptopku, lalu menuju kasurku untuk rebahan sambil membaca buku, sekalian mencari inspirasi untuk cerita selanjutnya. Baru saja aku rebahan sebentar di kasur tiba---tiba suara dering notif hpku berbunyi "Tringg". Ternyata notif dari Litta yaitu teman perempuanku sejak SMA. Sebenarnya cerita yang ku buat tadi berasal dari kisah nyataku yang terjebak di zona pertemanan dengan Litta. Â Ia mengajak bertemu di kafe dekat kampusku. Dengan cepat aku membalas pesannya "Oke Lit 10 menit an lagi aku sampai disana". Layar handphone ku matikan lalu dengan cepat berganti celana jeans, kemeja yang Litta beri, menyisir rambutku, dan menyemprot parfum ke tubuhku sebab aku belum mandi. Lantas aku berpamitan dengan kedua orang tuaku lalu mengambil kunci motor vespaku. Memang lumayan aneh aku masih satu rumah dengan orang tua dan kakakku, sebab kampusku dekat dengan rumah jadi sekalian mengirit biaya daripada harus ngekos. Kakakku pun juga mendapat kerja sebagai PNS di sekolah dekat rumahku dan ia juga belum menikah.
15 menit setelah aku menjawab pesan Litta aku baru sampai di kafe yang sudah kami ia beri tahu. Aku turun dari motor vespaku mengantongi kunci motor dan bergegas masuk ke kafe karena aku sudah terlambat 5 menit. Sampai di dalam kafe yang cukup luas aku langsung disambut dengan live music sebab ini adalah malam Minggu. Mataku mulai mencari dimana Litta duduk, sambil jalan sedikit-sedikit aku akhirnya menemukannya dekat panggung live music. Dengan rambut panjangnya yang terurai, kaos dilapisi dengan cardigan, dan celana jeans yang kuberi saat ulang tahunnya. Ia ternyata juga sedang mencari-cari dimana aku, sampai kami saling tatap dan ia langsung memanggilku "Tomm sinii" suaranya yang menggemaskan langsung membuatku mendekatinya. Tapi saat aku mendekat ia tertawa dan keheranan, aku pun jadi bingung apa yang ia tertawakan. Sambil menutup mulutnya ia menunjuk kepalaku. Kedua tanganku langsung memegang kepala dan pantas saja ia tertawa, sebab aku masih menggunakan helm. Sontak aku langsung melepasnya dan ia bertanya "Kamu kenapa sih Tom, gerogi ketemu aku apa gimana? sampe lupa nglepas helmmu" dengan raut mukanya yang meledek. Lantas aku menjawab "Ga lah ngapain aku grogi ketemu kamu, ini tuh gara-gara tadi keburu-buru" aku balas dengan muka yang ketus. Tidak pikir panjang aku langsung duduk di depannya sebab ia memilih meja yang untuk dua orang saja. Walaupun ia masih meledekku aku hanya bisa diam dan malu sambil menaruh geram di hati.Â
Aku mulai memotong ledekannya dengan bertanya "Ada apa Lit kamu ngajakin ketemu? Kangen?"
 "Dih, geer" jawabnya dengan muka ketus.Â
" Aku ngajakin ketemu karna pengen liat aja cerita yang kamu bikin buat dimuat di koran" jawabanya.
"Ohh, kukira ngapain sampe minta ketemu segala bentar ku kirim lewat WA. Oh iya kamu mau pesen apa biar aku yang bayarin mumpung abis gajian." Lalu aku kirim ke WAnya dan memanggil pelayan.
Setelah pelayan tiba dimejaku aku memesan susu green tea dan roti bakar isi strawberry. Litta lalu berkata "Punyaku juga samain kaya dia mba biar keliatan romantis" katanya kepada pelayan kafe tersebut. Dalam hati aku berkata bagaimana aku tidak baper dengan anak satu ini kalau sikapnya yang kek gini. Lalu Litta mulai serius menatap layar handphone dan sudah mulai membaca ceritaku. Aku sambil menunggu pesanan membuka Instagram  sebab aku tahu jika ia sedang membaca memang tidak ingin diganggu. Tidak berlama-lama pelayan tadi balik ke mejaku dengan membawa pesanan yang telah dipesan dan aromanya sangat nikmat. Pas juga dengan Litta yang sudah selesai membaca ceritaku. Tapi wajah Litta tiba tiba menjadi kebingungan dan muram walau pesanan sudah di depan matanya, aku sontak bertanya "Kenapa Lit? Ceritanya bagus kan sampai kamu jadi terheran-heran gitu" tetapi aku juga baru ingat bahwa isi dari cerita itu adalah isi curhatku tentang hubungan pertemananku dengannya. Lantas Litta menjawab "Kenapa kamu ngga bilang dari dulu Tom kalo kamu suka sama aku? Aku tau maksud dari cerita ini walopun kamu belum njelasin" ia menjawab dengan rasa bersalah. Dengan mendengar kata-katanya barusan jantungku mulai berdegup dengan cepat sebab aku tidak memikirkan sampai jadi begini. Dengan suara gerogi dan takut aku menjawabnya "Aku belum siap Lit apalagi aku ngrasa kamu ngga suka denganku" lalu Litta menjawab "Asal kamu tau Tom aku sama sepertimu memendam rasa selama 4 taun ini dari awal kelas 10 karena aku takut kamu ngga suka denganku" ia menjawab dengan lirih. Aku kaget dengan jawabannya dan aku tambah gugup tapi lubuk hatiku berkata tembak saja apalagi situasinya bagus.
Akhirnya aku memberanikan diri walau aku belum siap mengatakan hal ini "Tetapi jujur aja Lit, aku sebenarnya udah ndaftar promosi panggilan dari awal kuliah karena aku ngerasa emang jadi romo udah jalanku" dengan terbata-bata aku berkata.Â
Muka Litta yang muram beralih jadi heran dan kaget lantas ia menjawabÂ
"Hah? Kamu kenapa ga cerita-cerita ke aku Tom, jujur aja kalo aku tau gini aku mendukungmu walau hati kecilku pasti ga rela" lantas aku menjawab
"Aku lagi nyari waktu yang tepat Lit, ini juga yang baru tau keluargaku doang" jawabku.
"Ya sudah Tom aku tetap mendukungku tetapi lebih baik kalo kita ngga usah kontakan lagi aja dari pada kamu keganggu dan aku juga ngga nyaman" jawabnya sambil pergi meninggalkan kafe, aku hanya bisa melihat punggungnya yang mulai menghilang dari kafe. Sebab aku tahu bahwa ini adalah kesalahanku sendiri. Sambil terdiam dan meratapi nasib aku meminta kepada pelayan tadi agar semua makanan dan minuman tadi dibungkus dan aku meminta notanya. Setelah masalah makanan dan minuman tadi beres aku pulang dengan perasaan yang hancur.
Sepanjang jalan aku hanya bisa meratapi nasibku dengan perasaan hancur aku mengendarai vespaku menuju rumah. Tapi untung saja aku masih bisa sampai di rumah dengan selamat padahal di sepanjang jalan aku sama sekali tidak fokus dalam berkendara. Sampai di rumah aku hanya menaruh bungkusan di meja makan dan langsung masuk ke kamar dengan mengabaikan pertanyaan dari ibu yang mulai bertanya-tanya ada apa denganku. Aku langsung merebahkan diriku di atas kasur dan mulai membuka galeri dimana tersimpan foto kami berdua dan fotonya sendiri. Secara tak sadar air mata mulai menetes dan mulai membasahi pipiku. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamarku dan mengenang segala peristiwa bersama Litta.
Hari berganti hari, hidupku masih terasa hampa dan mulai tidak teratur dari yang awalnya jalan berduaan tiap hari, menjemputnya tiap pagi, dan chatting tiap hari sekarang tidak begitu. Kini aku hanya seorang mahasiswa dan bukan penulis lagi sebab aku sudah dipecat dari menjadi penulis koran sebab aku tidak mengirim cerita selama 2 minggu. Sekarang yang ada di hidupku hanya sunyi tanpa ada suara dan canda tawanya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H