Ku ingin menatap mata itu lebih lama, mengukir setiap garis wajah itu dalam sekepal prosa, membaitkan frasa teduh di alas talam suam tempat kita bersimpuh, dan mengintimidasi prasangka seiring berpautnya tatap kita di jarak sejengkal tangan...
Ku ingin menggurat sketsa lama dengan pensil tua, kepada lekuk denyut nadi yang tersingkap, mengaitkan arsiran kisah warna buram bermandi sedikit cahaya, dan mengakhirinya dengan cinta dan bangga.
Sungguh teduh, wajah itu di balik sketsa lensa bersayap dua. Seperti menegaskan diksi keagungan meski tanpa pijar dimensi warna-warni. Maafkan bila terlalu mengagumi. Tapi sungguh, tak ada alasan yang terjadi secara tiba-tiba.Â
Bila malam tiba, ku resap indahmu dari balik tatap mata itu. Kau terbangkan layangku dalam barisan pilar-pilar simposium metafisis yang tergurat di lintasan nalar, mengancam rasa bila tak menurutinya, dan lalu menyisakan lenguh panjang atas cara yang paling lazim dinisbatkan. Dan hanya karena itu pula, segalanya terlihat mungkin olehku meski ejekan kemustahilan didengungkan para penonton di luar sana.
Tatapmu menyelamatkan aku dari kisah tragis yang sebenarnya baru mulai ku ciptakan. Ya. Pesonamu bagai cahaya yang menerangi. Menerangi gelapnya ketakutan untuk bangkit dalam keberanian. Keberanian untuk menyisakan sedikit waktu berada di sisimu, menatapmu dalam cinta tulus tanpa kata, tanpa mimpi, tanpa pembelaan diri. Hanya itu yang bisa ku lakukan, meskipun kau tahu, ada banyak hal yang tersimpan di dalam sini untuk ku persembahkan padamu.
Benar bahwa, gejolak rasa dan logika seringkali membanting pintu tanpa alasan di raga dan jiwa ini. Bukan karena egoisme antroposentris yang menakar kuat, tapi karena hadirmu menamatkan segala skenario yang tersusun per episode menurut jam tayangnya. Sayang sekali, potretmu terlalu benar untuk membuatku berpaling, menampik kesejatian yang terpancar sungguh, bahwasanya ekpresi yang kau miliki menyembunyikan harta sekaligus dosa yang sangat masuk akal bagiku dan manusiaku.
Malam seakan memata-mataiku, menjaga kesadaranku agar dua jam kemudian dari sekarang, tatapmu itu bisa ku lumat habis dalam lelap, menghabiskan segalanya yang tersisa, menelanjangi kemanusiaanku dalam esensi yang sesungguhnya berbeda dari penampakkan riilku. Ya. Harusnya aku semakin berani menggantikannya, termasuk kehendak karena kebutuhanku, dan bukan karena hasratku. Juga untuk segala yang tertorehkan dan yang belum terjamah. Dan hanya karena alasan itu saja, ku harus kembali kepada oposisi yang telah lama ku tanggalkan di balik labirin berlamping usang.Â
Sampai di sana, kilasan-kilasan momen saling berbenturan. Menimbulkan penggalan-penggalan sejarah yang teruntai di daftar kenangan. Tatapmu menyadarkanku untuk melupakan, telah berapa banyak setiap kesempatan dan peluang yang harus ku perjuangkan, juga kekhawatiran akan akhir sebuah perjuangan.
Kau tahu, karena itulah, ku sering mencemaskanmu. Aku mencemaskan setiap menit yang berlalu pergi. Bahwa semoga saja tatap itu terus menyelamatkan aku dari setiap jam penerbangan jiwa dan raga di lintasan duniaku. Maaf, aku tak bermaksud bersikap kurang ajar. Tetapi karena pahitnya kekecewaan yang datang selalu terlambat, membuatku mencoba untuk menempatkan aku dan manusiaku di sisi etis yang sungguh riil. Sehingga terhadap prosa estetis-romantis ini, ku mohon lupakanlah, bila itu hanya membuatmu kurang menghormati kejujuran.
Benar bahwa demi sebuah idealisme, ku harus menggadaikan sekelumit ego yang saling bertalian. Bahkan, semenjak tatap itu kau layangkan, aku sering meminta maaf pada diriku sendiri untuk tidak memberitahumu mengenai kejutan yang ku siapkan. Setidaknya, aku bisa melupakan diriku sendiri, berbagi keheningan denganmu di saat kata-kata tidak ku butuhkan. Aku mau menerima segala konsekuensi yang akan menghampiri, termasuk mulai cemas, akan berubahnya tatap mata itu.
Aku sadar, pilihan memang tidak semudah mengatakannya. Apalagi, bila melibatkan rasa yang cenderung lebih suka sekali disenangkan, daripada disakiti. Sedangkan untuk berpikir, seringkali dianggap berat untuk dipikirkan. Tapi tak mengapa. Bukankah atas cara itu, kita berdua akhirnya berjumpa dalam jejak-jejak yang mengacaukan akal dan rasa di setiap denting detik dan menit? Suka atau tidak, aku harus bertahan terhadap semua proses hidup yang membekas di nalar ini, termasuk segumpal rasa aneh yang menjalar setiap dentang waktu karena tatapmu.Â
Kau benar-benar menghancurkan duniaku, tanpa permisi, tanpa perjanjian untung maupun rugi, juga janji akankah kita sehidup-semati dalam suka dan duka. Kau menempatkanku pada sisi runyam di antara bolehkah aku memperjuangkanmu, atau haruskah aku memperjuangkanmu. Sungguh, aku tak menampik setiap dilema ataupun ambigu yang seringkali menyusup di relung jiwa. Ku nikmati semua itu dalam kebingungan rasional, walaupun tiga jam sesudahnya tak ada jawab yang menggiurkan akal dan rasa untuk bersatu menaklukan arti tatap indahmu itu.Â
Ku mohon, ucap saja sebait kata. Atau bila terlalu berat, beri saja tanda sederhana. Hanya dengan alasan itu, sangatlah mungkin bagiku untuk mengakui bahwa hadirmu membuatku kenyang akan setiap prosa dan kata tanpa kata. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H