Ku petik biola berdawai dua,
Saat senja mulai berwarna 'mendua'.
Sayang merdunya tak seindah suara.
Ibarat mahkota tak bersanding tiara.
Sejenak ku pandang biola dua dawai.
Keluh kesah, terus mengintai.
Meski jiwa berpadu rasa telah ku rantai,
Merdunya masih pula terbantai.
Ku mainkan kembali biola berdawai dua.
Kali ini, jiwa dan raga ku rangkai bersua.
Ada hening yang tak pernah tua.
Ada damai yang kian teduh jua.
Denting biola berdawai dua membahana,
Mengisi ruang di tingkap-tingkap nirwana.
Berpadu harmoni yang terpana,
Memberi hidup bagi raga yang fana.
Ku letakkan biola berdawai dua,
pada tempatnya yang seperti gua.
Ada kagum yang mendua,
Akan kisahnya yang tak sempurna.
Sejenak ku mengerti,
Akan arti denting bunyi.
Ibarat raga dan jiwa yang sehati,
Selalu bernyanyi meski hidup serasa sunyi.
Kini ku pahami, kisah dalam biola berdawai dua.
Seperti insan yang tergerus usia,
tumbuh dan menua,
namun tetap hidup tak sia-sia.
Karena apa yang mengenyangkan raga,
belum tentu mengenyangkan jiwa,
dan karena apa yang memuaskan mata,
belum tentu memuaskan dahaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H