Korupsi. Kata itu tidak asing lagi di telinga kita. Menjadi populer bukan karena negara kita sudah terbebas dari perbuatan semacam itu. Sebaliknya, karena banyak pejabat yang sudah tertangkap menjadi pelakunya.
Korupsi adalah masalah bangsa yang kompleks. Bukan lagi sekadar persoalan hukum, tetapi telah menjadi sebuah kebudayaan. Berakar dan bercabang di seluruh lapisan masyarakat. Keberadaannya tidak terbatas hanya dalam organisasi sekuler saja. Organisasi yang berdiri atas nama agama pun tak luput dari yang namanya "korupsi".
Korupsi seperti sebuah penyakit menular. Tidak peduli pekerjaan, status, gender, dan usianya. Semua orang seperti tak punya daya untuk menahan serangan virus korupsi. Bukan hanya politikus yang bisa melakukannya. Kaum agamais juga banyak yang tertangkap melakukannya. Tokoh agama yang seharusnya memberi teladan juga terjebak dalam perbuatan seperti ini. Sekolah yang seharusnya mendidik juga banyak yang terperangkap dalam budaya yang korup. Praktik suap-menyuap, sogok-menyogok, atau tipu-menipu sudah menjadi "kebudayaan".
Kebudayan tersebut malah telah berupaya menoleransi perbuatan korupsi itu sendiri. Korupsi dipahami sebagai perbuatan mencuri, menggelapkan, atau menyuap. Maka kebudayaan korupsi membatasi definisi tersebut hanya untuk orang-orang yang "tertangkap" melakukannya. Artinya, selama pelaku belum tertangkap, perbuatan semacam itu belum disebut korupsi. Tentu saja ini salah besar. Tidak peduli sudah tertangkap atau belum, korupsi tetaplah korupsi.
Pemerintah sudah memberlakukan berbagai hukum untuk mencegahnya. Tetapi, aturan-aturan semacam itu tampak hanya menjadi obat bius yang bertahan beberapa lama. Setelah itu, kembali seperti biasa. Korupsi lagi, korupsi lagi, dan korupsi lagi.
Dalam menanggapi masalah seperti ini, diam bukan lagi solusi terbaik. Semua lapisan masyarakat harus ikut serta dalam penanggulangannya. Memberantas korupsi bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah tugas kita bersama.
Pemberantasan virus-virus korupsi harus dimulai sedini mungkin, sehingga penyakit ini tidak sampai menyebar kemana-mana. Dalam hal ini, lembaga pertama yang dapat menjadi wadah untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi adalah "keluarga". Di dalam keluarga, seorang pemimpin politik pertama kali dibentuk.Â
Di dalam keluarga, seorang tokoh agama pertama kali mendapatkan pengajaran. Di dalam keluarga, seorang pengusaha sukses mengalami pertumbuhan. Semuanya dimulai dalam keluarga. Jika nilai-nilai anti korupsi itu tidak ditanamkan dalam keluarga, bisa tebak seperti apa masa depan si anak?
Jika semua orang tua berkomitmen untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada anak-anaknya sejak dini, niscaya akan terbentuk generasi bangsa yang memiliki daya tahan kuat untuk melawan serangan virus-virus korupsi itu. Namun, realitas di dalam keluarga malah berkata yang lain.Â
Sadar atau tidak, banyak keluarga yang malah menanamkan nilai-nilai pro korupsi di dalam keluarganya sendiri. Pola didikan yang tidak tepat itulah, yang akhirnya membentuk generasi bangsa yang rusak. Â Berikut ini adalah 7 pola didikan orang tua dalam keluarga, yang malah secara sengaja membentuk generasi koruptif.
1. Orang Tua Ber"uang"