Pada awalnya, orang tua sering berpikir bahwa memanjakan adalah cara untuk mengasihi anak. Segala sesuatu yang "diminta" oleh anak dipenuhi, tanpa bertanya apakah yang diminta itu dibutuhkan atau tidak. Uang sering sekali menjadi jawaban atas segala permintaan dari anak. Lalu, apakah ini salah? Tentu saja jawabannya, orang tua punya cara masing-masing untuk mengasihi anak-anaknya.
Namun, sadar atau tidak, cara seperti ini malah sedang menanamkan nilai-nilai koruptif pada diri anak. Ketika uang selalu menjadi solusi atas keinginannya, jangan heran kalau anak bertumbuh dan selalu mengandalkan uang untuk mendapatkan yang ia inginkan. Mengandalkan uang menumpulkan daya  juang, sehingga dalam pikiran si anak, semua masalah dapat diatasi hanya dengan uang.
Ingin masuk ke sekolah favorit, bukan otak yang diandalkan, tapi uang. Ingin mendapatkan pekerjaan bagus, bukan kemampuan yang diutamakan, tapi uang. Semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, uang, dan uang. Karena itu, jangan heran, jikalau pola didikan semacam ini membentuk generasi bangsa yang tak lagi punya keengganan untuk melakukan praktik suap-menyuap. Segala cara dibenarkan agar yang diinginkannya dapat tercapai. Bukankah semuanya dimulai dari keluarga?
2. Orang Tua yang Pelit
Ekstrem lain dari memanjakan anak adalah orang tua yang terlalu pelit. Banyak orang tua berpikir bahwa pelit adalah salah satu disiplin untuk membuat anak bisa lebih berhemat. Tetapi masalahnya, orang tua kadang tidak sadar bahwa hemat dan pelit itu beda tipis. Apa yang diminta anak tidak diberikan, meski hal yang diminta itu sangat dibutuhkan oleh anak. Alasannya bukan karena tidak mampu, tetapi karena orang tuanya memang terlalu pelit.Â
Misalnya saja, sepatu anak sekolah sudah robek dan tidak layak pakai, ia meminta ganti pada orang tuanya, tetapi orang tuanya tidak mau menggantinya, karena alasan masih belum waktunya. Padahal, uang ada. Saat itu, mungkin anak tidak akan protes. Tetapi, yang pasti ia akan menyimpan keinginan itu.
Keinginan-keinginan yang tidak terwujud itu akan terus bertambah seiring usianya bertambah. Â Pada waktu ia dewasa, jika tidak diatasi, keinginan-keinginan yang sudah lama terpendam itu, akan berubah menjadi ambisi yang tidak bisa dibendung. Terlebih, ketika si anak bekerja di "tempat basah" , ia bisa jadi beringas untuk memenuhi keinginannya. Â Ambisi yang tak terbendung inilah yang sering sekali menjadi akar dari tindakan korupsi. Para koruptor menjadi rakus dan buas demi memenuhi keinginan mereka. Sepertinya, ada hal yang tidak terpuaskan dalam diri mereka, sehingga mereka ingin lagi, lagi, dan lagi. Bukankah semuanya dimulai dari keluarga?
3. Orang Tua Pilih Kasih
Pilih kasih tidak akan pernah membuahkan hasil yang baik. Kita ingat bersama kisah Yakub dan Esau. Kedua orang tuanya (Ribka dan Ishak) memperlakukan secara berbeda anaknya. Â Ribka lebih mengasihi Yakub, sedangkan Ishak lebih mengasihi Esau. Hasil dari pilih kasih itu tidak pernah memberi buah yang baik. Membeda-bedakan anak berdasarkan kebutuhan membawa anak pada perilaku-perilaku koruptif. Perilaku pertama, Yakub menjadi penipu dan akhirnya malah berujung pada dendam antara kakak beradik. Esau menjadi marah besar kepada adiknya.
Mental penipu itu dimulai dari pilih kasih yang dilakukan oleh orang tua. Â Ketika orang tua tidak adil dalam mengasihi anak, maka sama artinya kita sedang membentuk mental korup dalam diri mereka. Anak yang dikasihi berlebihan bisa menjadi anak yang sombong dan melakukan sesukanya. Sedangkan, anak yang menjadi korban pilih kasih, akan bertumbuh dalam rasa iri. Buahnya, bisa dalam bentuk persaingan-persaingan yang tidak wajar. Â Ia ingin menjadi lebih hebat dibanding orang lain. Ia tidak ingin dianggap remeh.
Bisa jadi, para koruptor menjadi sangat buas dalam memperbanyak kekayaan, karena tidak ingin kalah dari orang lain. Mereka ingin dikatakan hebat dan kaya. Akhirnya, korupsi pun dilakukan sebagai cara cepat untuk melakukannya. Â Sekali lagi, semuanya dimulai dari dalam keluarga.