Bagaimana jejak pendidikan di Indonesia? Apakah proses belajar-mengajarnya sama seperti sekarang atau berbeda? Mungkin Anda, para pembaca, memiliki pertanyaan serupa.
Ternyata, pendidikan telah ada jauh sebelum manusia mulai berkomunikasi dan mendokumentasikan pengalaman mereka. Selama ribuan tahun, masyarakat primitif berkembang dari tahap eolitik, paleolitik, hingga neolitik. Di Indonesia, sejarah pendidikan dimulai pada zaman Hindu dan Buddha sekitar abad ke-5 Masehi, dan kemudian diadaptasi dengan ajaran Islam setelah masuknya Islam ke Nusantara. Pada abad ke-17, Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal untuk melatih tenaga kerja guna kepentingan perusahaan mereka. Meski kebijakan politik untuk memperluas pendidikan kepada masyarakat ada pada tahun 1808, realisasinya terhambat oleh jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda ke tangan Inggris. Pendirian lembaga pendidikan Islam juga memainkan peran penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, seperti yang tercatat dalam laporan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1831 dan 1885.
Pada awal abad ke-20, pemerintah Belanda mulai menerapkan sistem pendidikan Barat untuk penduduk pribumi. Sekolah model Belanda yang sudah ada sejak abad ke-17 awalnya hanya terbuka untuk keluarga Belanda di Maluku. Sekolah dasar pertama yang didirikan hanya terbuka untuk golongan Belanda. Konsep pendidikan Barat ini menarik perhatian anak-anak priyayi dan bangsawan pribumi karena dianggap bisa memberikan peluang kerja dengan gaji yang lebih baik dalam administrasi modern. Namun, sistem pendidikan ini juga bertujuan untuk mempertahankan status quo dan melatih anak-anak bangsawan agar menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda. Sistem pendidikan kolonial mencakup pendidikan dasar hingga menengah, namun kesempatan untuk mendapatkan pendidikan masih terbatas. Penerimaan siswa di sekolah Eropa didasarkan pada status dan gaji orang tua, sehingga menyebabkan diskriminasi. Untuk mengatasi keterbatasan lembaga sekolah, berbagai organisasi swasta seperti Zending, Misionaris, Muhammadiyah, dan Taman Siswa didirikan. Meski demikian, pemerintah Belanda mengawasi secara ketat dan mengklasifikasikan lembaga-lembaga sekolah swasta berdasarkan persyaratan tertentu.
Pada awal abad ke-20, pemerintah Belanda membagi sistem pendidikan menjadi beberapa kategori: sekolah yang disubsidi, disamakan, diakui, dan sekolah liar. Sekolah liar memberikan keleluasaan dalam penerimaan murid tanpa kriteria ketat, memungkinkan mobilitas vertikal bagi golongan pribumi. Sistem pengajaran kolonial terbagi menjadi pendidikan umum dan kejuruan, terutama untuk tingkat menengah ke atas. Sekolah kejuruan pertama adalah sekolah guru di Surakarta pada tahun 1852, diikuti oleh sekolah calon pegawai pangreh praja pribumi OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) pada tahun 1900. Untuk kebutuhan tenaga medis, didirikan sekolah dokter Jawa (STOVIA). Sekolah kejuruan lainnya seperti Sekolah Teknik, Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Dagang, dan Hukum juga didirikan dengan pengajaran dalam bahasa Belanda.
Perkembangan pendidikan di awal abad ke-20 menciptakan kelas menengah baru dan memunculkan pemimpin gerakan nasional. Sekolah seperti Kartini, Taman Siswa, dan Kayu Tanam berperan penting dalam tumbuhnya nasionalisme. Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa berhasil menggabungkan teori pendidikan modern dengan tradisi Jawa, sedangkan Mohammad Syafei dari Kayu Tanam menolak konsep pendidikan kolonial dengan mengajarkan kemandirian dan relevansi pekerjaan bagi anak-anak. Ide-ide mereka, terutama Mohamad Syafei, tetap relevan dalam pembangunan pendidikan di Indonesia hingga kini. Mungkin Anda tidak begitu familiar dengan nama "Mohammad Syafei"? Mari kita bahas sedikit. Ia adalah seorang yang turut berperan dalam pendidikan di Indonesia dan menjadi tokoh pahlawan di bidang pendidikan. Prinsip sistem pendidikan milik Mohammad Syafei yang terbilang sangat inovatif pada masa itu adalah Hook (otak), heart (hati), dan hand (tangan). Ia memiliki tujuan untuk memajukan sistem pendidikan yang saat itu sangat buruk.
Setelah mengenal perjalanan pendidikan di Indonesia, kembali ke topik pergerakan nasional. Pembahasan ini terkait dengan blog saya sebelumnya yang membahas pergerakan nasional dan dalam tulisan ini akan dibahas lebih dalam lagi. Pada abad ke-20, kebangkitan nasionalisme di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran dari para intelektual. Mereka menggunakan organisasi dan pemikiran yang terstruktur untuk merencanakan gerakan nasional. Pergerakan nasional adalah periode perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia dari tahun 1908 hingga 1945. Kelompok terpelajar muncul karena kebijakan politik etis dan sistem pendidikan kolonial Belanda. Sistem pendidikan yang disediakan Belanda membuka pola pikir masyarakat melalui pendidikan. Ini memudahkan para pelajar untuk mengajak masyarakat lain dalam gerakan nasional, yang bertujuan menciptakan persatuan dan kesatuan dalam semangat kebangkitan nasional. Dengan pola pikir yang terbuka, organisasi-organisasi pergerakan nasional dapat merumuskan strategi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Salah satu tokoh nasionalis dalam bidang pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara. Ia mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta, yang masih eksis hingga kini. Selain itu, dalam masa perjuangan, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan organisasi Indische Partij. Peranannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia antara lain melalui Budi Utomo pada 20 Mei 1908, di mana ia menjadi tokoh propaganda untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya persatuan sebagai bangsa Indonesia. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga terlibat dalam mendirikan Indische Partij bersama tokoh lain seperti Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Dari IP inilah Ki Hajar Dewantara sadar untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dimulai dari pendidikan. Kemudian ia membentuk komite Bumiputera, mendirikan Taman Siswa, dan menciptakan semboyan pendidikan "Tut Wuri Handayani". Isi dari "Tut Wuri Handayani" adalah:
- Ing Ngarsa Sung Tuladha (sang pendidik harus memberi teladan atau tindakan yang baik)
- Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide)
- Tut Wuri Handayani (seorang guru harus memberikan dorongan dan arahan)