Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menjadi Konsumen Cerdas di Era Digital

14 April 2018   23:56 Diperbarui: 15 April 2018   01:33 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah pasar potensial bagi produk asing. Dengan jumlah penduduk 262 juta (BKKBN, 2017), Indonesia memiliki aset yang terus memberi nafas ekonomi produk dalam negeri untuk terus hidup dan eksis.

Tantangan kini, di era digital, fenomena disrupsi yang telah mengubah bagaimana kita belajar, berinteraksi dan bekerja  dalam ruang maya, pada akhirnya membawa kita pada tatanan sosial budaya yang berbeda dari generasi sebelumnya, memberi alarm bahwa ada mindset yang harus diubah dan berpikiran jauh ke depan.

Sesuatu produk yang prospektus, bagi pengusaha memang membutuhkan waktu untuk dikenali. Namun jika dipahami dengan penuh objektifitas, maka konsumen adalah orang yang mengontrol dan memastikan kualitas produk terjaga.

Literasi produk bukan lagi sebuah kompetensi belaka, melainkan sebuah sikap bagaimana menempatkan diri untuk menghindari hal-hal yang jahat dan merugikan orang lain. Kita harus sadari bahwa menjadi konsumen cerdas butuh waktu dan jam terbang yang cukup. Saat kita berinteraksi dengan google, facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya, sebenarnya kita sedang menjadi konsumen dari keberadaan jejaring sosial tersebut.

Faktanya, berdasarkan Jumlah pengguna Facebook pada Maret 2016 hanya 82 juta pengguna per bulannya, sekarang 115 juta pengguna per bulannya dan jumlah pemakai Instagram di Indonesia yang mencapai 45 juta per bulan dan ini merupakan yang terbesar di Asia Pasifik (country director facebook Indonesia).

Menjadi konsumen cerdas bukan lagi sekadar membeli barang yang kelihatan, namun yang tidak kelihatan (belanja online) tentu membutuhkan keyakinan dan kepercayaan dari pelaku penjualan. 

Generasi Millennial memiliki daya beli lebih dari USD 200 miliar per tahun mulai tahun 2017, atau sekitar sepertiga dari total global, dan USD 1o triliun dalam masa hidup generasi ini. 

Konsumen cerdas Gen Z

Dimulai dari anak masuk SD. Disinilah, peran afeksi masih sangat berpengaruh dalam menajamkan sisi empati siswa dal;am melihat perkembangan zaman, yang kadang tak sesuai dengan harapan.

Sebagaimana disebutkan Pasi Sahlberg, bahwa 6 tahun pertama (sekolah dasar) dalam dunia pendidikan adalah bukan sukses di bidang akademik. Menurutnya, yang paling penting, yakni siap belajar dan menemukan passion. Sebagaimana membaca, prosesnya tergantung bukan pada kemampuan membaca teks, namun bagaimana memahami konteksnya dan ide antar kalimat, paragraf, hingga mampu menemukan simpulan.

Perubahan sosial budaya yang begitu cepat dalam teknologi memberi aksesibilitas informasi yang lebih baik terkhusus mereka yang lahir di zaman millenial. Mereka dikenal dengan native digital (Marc Prensky [2001a, 2001b]) atau generasi net, yang lahir setelah tahun 1990, yang baru saja masuk universitas dan dunia kerja yang akan mentransformasi dunia yang kita kenal ini, termasuk dunia pendidikan.

Dalam dunia persekolahan, suasana pembelajaran pun akan berubah. Guru tidak lagi dapat menganggap dirinya sebagai center of learning and teaching, yang ke-aku-annya akan mulai terdestruksi karena gaya belajar siswa yang sudah mulai berubah. Tapscott berargumentasi bahwa model pedagogi bagi generasi net telah mengubah pendekatan fokus guru yang berlandasarkan instruksi ke model fokus siswa yang berlandaskan kolaborasi (Jones and Ramanau 2009a).

Generasi Z tidak lagi membawa buku, namun membawa buku dalam tablet atau smartphone. 90 persen waktu mereka dihabiskan unuk membuka, menutup, melihat, dan berdiskusi dengan teman-temannya secara online, termasuk menstalking (memata-matai) siapapun. Generasi ini berlawanan dengan generasi silentdi tahun 40-an.

Di Australia, pendidikan konsumen sudah dimulai sejak tahun ke-9 dan  ke-10. Dalam "smart consumer 4", konsumen cerdas 4 bahwa masa depan yang  cerdas mengajarkan siswa menjadi konsumen yang bertanggung jawab  menggunakan berbagai masalah kehidupan nyata yang keberlanjutan. 

Kegiatan  difokuskan pada Kelas 9 dan 10 Matematika, Bahasa Inggris dan Sains  menyediakan berbagai tugas yang dapat digunakan dalam isolasi atau  bagian dari unit kerja yang lebih besar. Siswa terlibat dengan berbagai  peluang pembelajaran yang meliputi: merancang debat,  merencanakan  makanan dalam anggaran yang ditetapkan, dan melakukan investigasi untuk  mengefisiensikan energi peralatan rumah tangga. (https://www.moneysmart.gov.au/teaching/teaching-resources/digital-activity-smart-consumers-4-a-smart-future  diakses 14 April 2018). 

Dengan menjadi konsumen cerdas, maka  anak akan mulai terlatih untuk tidak sembarangan dalam membeli sesuatu,  baik online maupun offline. Generasi ini menjadi jembatan antara publik dan elite. Buku-buku teks akan kehilangan pamor, dibandingkan apa yang menarik di dalam jejaring sosial dan games online. Membaca, dalam konteks Gen Z, mereka bukan hanya membaca teks, namun juga membaca secara riil time permasalahan hidup. Gen Z memiliki option lebih cepat dibanding generasi sebelumnya, karena kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang sudah dimulai sejak berjejaring sosial, termasuk soal memilih produk dan jasa online yang sedang tren. 

Dalam harkornas.id  terkait hari konsumen nasional, dikatakan bahwa konsumen menjadi penentu kegiatan ekonomi serta konsumen cerdas yang cinta produk dalam negeri. Menjadi konsumen cerdas mengartikan bahwa sehebat-hebatnya kualitas barang asing, produk dalam negeri juga tak kalah penting dalam menggenjot dinamika pembangunan ekonomi. Peluang di era digital ini, bagaimana konsumen yang diwakili generasi Z yang merupakan generasi post millennial mampu mengubah perilaku menjadi lebih memanusiakan terhadap pasar dalam negeri yang masih lesu, di tengah menggebunya investasi asing di Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun