Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Menengah dan Potensi Pemilih Pemula

19 Juli 2016   14:06 Diperbarui: 19 Juli 2016   14:12 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilu 2019 memang masih menghitung tahun, namun di sebagian besar daerah, pendidikan menengah merupakan jenjang yang sangat vital untuk mengenalkan siswa terhadap isu, kandidat, kebijakan, dan hak politiknya sebagai warga negara. Mata pelajaran kewarganegaraanpun dinilai sangat sangat strategis karena banyak menyinggung tentang politik kewarganegaraan.

Menurut Dapodikmen Kemdikbud sampai tahun 2015 akhir, jumlah siswa pada jenjang pendidikan menengah mencapai 8.837.413. Siswa yang sudah dapat dikatakan “anak muda” tersebut merupakan aset bangsa yang dapat mengubah tatanan sosial politik di masa depan sekaligus sasaran partai-partai untuk mendulang suara di pemilu 2019.

Permasalahannya di lapangan, demokrasi di tingkat pusat/kota tentu berbeda dengan demokrasi di tingkat lokal/daerah. Perlambatan demokrasi di tingkat lokal salah satunya dikarenakan dunia pendidikan tidak imun terhadap pengaruh dari kepala daerah atau partai penguasa. Tidak sedikit kepala sekolah/guru yang menjadi orang dekat kepala daerah yang memiliki potensi untuk mempengaruhi pemilih pemula. Untuk membidik pemilih pemula untuk pemilu tahun 2019, partai-partai besar bahkan sudah menyiapkan strategi untuk mengambil hati pemilih berdarah muda tersebut.

Meskipun desentralisasi politik terjadi dan diskresi (keleluasaan) lingkup dan volume politik lokal semakin meluas pasca ditetapkannya UU Otda ternyata tidak linier dengan perkembangan demokrasi di tingkat lokal. Perlambatan demokrasi yang serius ini dimulai dari represi-intimidasi penguasa yang hendak meniadakan hak rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan bersama dinamikanya. Faktanya, dalam data kementerian desa, ada sekitar 183 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal meskipun sudah lahir cukup lama sebagai kabupaten.

Dalam dunia pendidikan sendiri, guru yang kritis terhadap ketidakbenaran dianggap ancaman. Pendapat siswa yang merasa bahwa sekolahnya belum mengalami kemajuan pun dianggap aib yang memalukan. Kebebasan pun terbelenggu. Guru yang kritis, dikucilkan. Siswa yang mempermalukan sekolah/kepala sekolah/gurunya, dikeluarkan. 

Kritik terhadap kebijakan daerah dianggap ancaman, padahal isu-isu tentang pemilu dapat memicu daya kritis siswa untuk mengenalkan apa yang terjadi di daerahnya, mengapa itu terjadi, dan bagaimana pemda menyelesaikan persoalan tersebut. Praksisnya, guru hanya mengajar hal-hal yang normatif dan tidak seksis. Isu-isu yang memicu daya kritis siswa tidak diolah sebagai bentuk bekal bagi siswa ketika mereka 10-20 tahun lagi duduk sebagai bagian dari partai politik, aparatur sipil negara, dan calon kandidat DPRD/kepala daerah.

Di era Orde Baru, hambatan kebebasan berekspresi itu hanya muncul dari perangkat-perangkat kekuasaan negara. Namun kini, hambatan itu bisa muncul dari siapa saja: aparat keamanan, ormas, pasukan paramiliter, kelompok keagamaan, elite politik berpengaruh dan melalui tren media sosial, kepala sekolah bahkan rektor dapat dengan mudah mempidanakan siswa/mahasiswa. Yang kritis, ditindas. Yang berekspresi, kalau perlu dipidanakan.

Perilaku pemilih pemula di era digital

Pemilih pemula adalah pemilih potensial nan cerdas. Melalui media sosial, tren kebebasan berpendapat menjadi lebih terbuka dan horizontal. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyatakan, pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Dengan presiden, seorang siswa di ujung sabang dan merauke dapat langsung berkomentar tentang kebijakan pemerintah pusat yang dinilai merugikan. 

Tidak ada satupun manusia yang imun dengan perubahan ini. Namun apa yang terjadi belakangan ini, bahwa media sosial bermata dua, kritik dapat dianggap merugikan dan pencemaran nama baik jika tidak didukung data yang akurat dan ekspresi seseorang dapat menjadi modal/bukti “forensik” untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada seseorang/institusi. Melalui UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), sudah banyak mereka yang kritis dijebloskan ke bui. Di sepanjang tahun 2014 ada 44 orang yang terjerat Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang ITE itu. Tahun 2014 lalu menjadi tahun dengan jumlah korban UU ITE terbanyak.

Memperhatikan hal tersebut, maka pendidikan menengah menjadi jenjang yang sangat potensial untuk mendorong kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Darah muda, kata Rhoma Irama, benar adanya. Idealis, berapi-api, dan maunya menang sendiri. Inilah emosi anak muda/pemilih pemula yang sangat bersih nuraninya. Namun apa daya, jika kritik yang sarat emosi tersebut justru menjadi ancaman bagi sekolah dan mencemarkan nama baik seseorang/institusi.

Sebagai misal, pihak SMA Negeri Bungaraya, Kabupaten Siak, mengeluarkan 3 siswanya yang mengkritisi gurunya di facebook. Namun pihak sekolah menyebut, status FB para siswa itu hanya sebagai puncaknya, "murid terlambat dihukum, guru terlambat tidak dihukum". Siswa lainnya lantas ikut mengomentari dengan kalimat 'bakar'. Inilah yang membuat marah pihak sekolah dan membuat keputusan sepihak mengeluarkan siswa tersebut termasuk dua temannya. Kritik yang dilakukan siswa kepada guru dan sekolahnya lantas berlanjut pada keputusan secara sepihak yang dilakukan pihak sekolah. Dalam konteks ini, bahwa kritik yang dilontarkan kepada sekolah dimaknai sebagai bentuk penghinaan terhadap sekolah. Namun tidak lama setelah itu, Disdik mencopot kepala sekolah dari jabatannya.

Beberapa waktu lalu, rektor UNJ mengeluarkan mahasiswanya yang membuat status facebook bernada menghina, menghasut, dan memfitnah. Mahasiswa yang juga ketua BEM UNJ tersebut dinilai tidak etis dalam mengakomodir kepentingan mahasiswa. Meski tidak sempat diajukan ke PTUN, rektor dan mahasiswa tersebut akhirnya berdamai dan rektor mengaktifkan kembali status mahasiswa tersebut.

Guru transformatif

Menimbang hal tersebut, potensi guru dinilai sangat vital untuk merancang pembelajaran yang lebih dialogis terkhusus di pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang memuat tentang hak politik warga negara.

Potensi pemilih pemula yang berada di jenjang pendidikan menengah menghadirkan pemilih yang tidak mudah terbujuk rayu kampanye. Di Amerika, individu dengan pencapaian pendidikan yang yang lebih baik memiliki pengaruh yang lebih tinggi. Bahkan, menurut Nie, Junn, dan Stehlik-Barry (1996) menganggap fenomena tersebut "temuan penelitian terbaik tentang perilaku politik di Amerika”. Untuk beberapa hal, pencapaian pendidikan dapat menjadi mencerminkan status sosial atau motivasi pribadi dan kemampuan seseorang, tetapi beberapa studi menemukan bahwa pendidikan dapat meningkatkan jumlah pemilih (Dee, 2003; Sondheimer & Green, 2010).

Tim ICCE (2005:7) mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Masalahnya, pemilih pemula saat ini sangat bergantung pada tren sosial media untuk mendapatkan informasi. Idealnya,  guru pendidikan kewarganegaraan perlu juga bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan nyata dan mengembangkan mental yang kaya dan kuat pada siswa bertumpu pada guru transformatif tersebut.

 Siswa sudah cukup cerdas dan mandiri mencari informasi melalui internet, namun sekolah adalah jeda untuk memperkaya pengalaman dan pengetahuan siswa. Dengan kata lain, guru harus menjadi teman diskusi yang ramah dengan dengan berbagai istilah yang familiar dengan dunianya. Kebiasaan berdiskusi ini akan melahirkan keterbukaan dan keberanian siswa dalam mengekspresikan pemikiran dan nurani tanpa harus takut mengungkapkannya.

Guru PKn adalah miniatur personal yang menjadi contoh untuk mengajarkan siswa tentang pentingnya kritik untuk memperbaiki kondisi dan mutu belajar serta kepedulian siswa terhadap isu-isu politik yang berkembang di daerahnya. Untuk itu, mindset guru PKn bukan sekadar mengajar, namun juga menjadi pendidik demokrasi yang dapat melahirkan warga negara yang peduli dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs). Jelas, guru PKn memegang peranan penting dalam mengolah dan mengeksplorasi “darah muda” tersebut untuk dapat mengekspresikan kritik dengan bahasa yang santun dan elegan.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun